Bab 97Yuda tampak gagah saat berdiri bersisian di sampingku dengan wajah bahagianya. Sesekali pria itu melirik ke arahku, tapi tetap kuabaikan. Meski aku tersenyum di depan para tamu, nyatanya ketika melihat sosok pria yang sekarang telah menjadi pendamping hidupku ini, hatiku kembali tersayat pedih.Bayangan bibir merahnya beradu dengan bibir Yanti waktu itu, terus membayang di pelupuk mata."Sepertinya kamu masih nggak percaya padaku, Indi." Pria itu berbisik tepat di telinga. Aku mengerjap sadar kala Yuda mengangsurkan air mineral. Kali ini dia tidak memanggil dengan sambutan 'Mbak' lagi. Mungkin karena sekarang aku telah resmi menjadi istri sah-nya.Meski sebenarnya hari ini tidak bisa kubayangkan. Betapa aku telah menikahi dengan seorang pria yang sebelumnya telah melakukan perbuatan yang menurutku sangat menjijikan itu dengan mantan adik iparku sendiri.Aku mengacuhkan perkataannya, saat para tamu undangan kembali mendekat ke arah kami. Memberi doa restu, sekaligus memberi sel
Bab 98Akhirnya resepsi itu selesai juga, ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam. Para undangan yang datang paling akhir didominasi oleh rekan satu profesi dan juga teman-teman Yuda. Dan mereka tampak mengobrol lama sekali.Adi, ibu dan keluarga yang lainnya sudah pulang tepat pukul sembilan malam tadi, mengingat putraku itu sudah merasa mengantuk dan tidak mau tinggal, meskipun Yuda mengatakan tidak masalah jika Adi ingin menginap di kamar yang sama dengan kami. Tapi tentu saja ibu dan yang lainnya melarang. Bahkan sebelumnya mereka semua menggodaku, dengan alasan tidak ingin diganggu, padahal itu tidak benar sama sekali. Lagipula pernikahan ini bukan karena mengejar nafsu yang itu.Aku terlebih dahulu masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Ruangan ini sudah dipenuhi dengan hiasan serta taburan bunga mawar merah di atas tempat tidur juga dua handuk yang dibentuk seperti angsa dengan posisi saling menghadap. Aku menghela nafas berat, membayangkan apa yang terja
Bab 99Aku tertegun di tempatku. Tak menyangka dengan pesan yang kubaca barusan. Apakah Yanti sengaja melakukannya atau dia hanya menakut-nakutiku, karena dia masih belum rela jika Yuda sudah menikah denganku. Tapi jika dipikir-pikir, bukankah beberapa saat lalu pria yang sudah menjadi suamiku itu juga tengah berkirim pesan dengannya. Aneh."Apa yang kamu lihat?" Yuda mendekat dan mengambil alih ponselku. Keningnya langsung berkerut dan terlihat kesal setelah ikut membaca pesan yang masuk dari Yanti. Dari sini saja bisa kulihat jika pria itu ikut marah padanya."Kamu tidak mungkin percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu, bukan?" ujarnya dengan wajah sendu. Sepasang manik coklat gelap itu memindai wajahku dengan seksama. Aku memilih duduk menyamping di tempat tidur sambil menunduk."Ayolah, Mbak. Jangan pernah percaya pada kata-kata yang belum jelas kebenarannya!" "Hari ini aku lelah sekali. Bisa tolong matikan lampunya?" ujarku sambil membelakanginya dan menutupi seluruh tubuhk
Bab 100Mini POV YudaKutatap layar ponsel yang terus-terusan menyala. Panggilan dan pesan terus masuk beruntun dari orang yang sama. Yanti.Entah harus dengan cara apalagi aku menghindari dan menjauhkan dia dari kehidupan kami. Langkahnya yang bersih tanpa jejak membuat pihak kepolisian kesulitan untuk menangkapnya. Kalaupun dia berhasil ditangkap, entah bagaimana caranya hingga wanita itu bisa berkeliaran dengan bebas di luar sana. Meski kuduga ada pihak dalam yang ikut serta membantunya kepergiannya. Bukan hanya saat di lapas, bahkan saat di rumah sakit saja dia bisa melarikan diri entah bagaimana caranya.Saat itu memang kebodohanku, yang mau saja bicara berdua dengannya. Setelah ayah dan ibunya terus meminta untuk datang ke rumah sakit. "Lepaskan Indira, Yuda. Ayo kita menikah. Aku akan menjadi wanita yang baik, dan akan kupastikan kamu lebih bahagia bersamaku.""Kau sudah gila. Sekian lama aku menunggunya dan sekarang hampir kudapatkan, jadi mana mungkin aku akan melepaskannya
Bab 101Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, keadaanku mulai sedikit membaik. Rasa nyeri di punggung tidak terlalu terasa sekarang. Meskipun masih tidak bisa bergerak bebas. Tapi karena perawatan yang maksimal, aku pun cepat pulih.Yuda juga semakin perhatian padaku. Pria itu setiap waktu selalu datang dan menjalankan kewajibannya. Pagi-pagi Yuda akan pulang ke rumah untuk mengurus anakku, siangnya mengurus pekerjaan hingga sore, dan malamnya dia akan menemani sambil bercerita tentang kesehariannya dalam mengurus bisnis kuliner miliknya, serta mengecek toko kue milikku. Sikapnya yang periang dan suka bercanda mampu membuatku tersenyum tiap waktu. Yuda juga kerap kali menceritakan apa saja kejadian yang lucu. Aku selalu tersenyum saat melihat kebahagiaan terpancar dari matanya. Rasa benci dan sakit hati yang sebelumnya hadir, sirna begitu saja, setelah mendengar pengakuan dan penjelasannya. Pria itu, benar-benar tidak bersalah dan dia sudah mengatakan semuanya. Dan aku per
Brak! Pintu terbuka sedikit kencang. Disusul suara langkah kaki yang seperti sengaja di hentak-hentakan, membuatku yang sedang sholat dzuhur sedikit terganggu, berkurang rasa khusyu dalam beribadah. Setelah uluk salam, segera kutemui si pemilik langkah kaki yang ternyata anakku, Adi. Dia duduk selonjoran di sofa dengan pandangan menerawang ke atas. "Eh, pulang sekolah kok nggak ucap salam?" Kudekati dia dengan duduk di sebelahnya namun tak ada sahutan, bujangku itu hanya diam tak merespon. Bahkan menoleh pun tidak. Sepertinya tengah kesal, tapi karena apa, akupun tak tahu. "Adi, ditanya kok nggak jawab?" tanyaku penasaran. Pikiranku jadi menerawang, mungkinkah dia ada sedikit masalah di sekolahnya. Atau ada hal yang membuatnya kesal hingga membawa masalahnya hingga ke rumah. Dia mencebik kesal, sambil menoleh dengan muka marah. "Bu, kenapa sih ibu nggak cerai aja dengan ayah?" Deg, apa maksudnya? kenapa tiba-tiba dia berkata demikian. Padahal dia baru kelas tiga sekolah dasar
Tak ingin menunda waktu, segera kutarik handle pintu yang rupanya tidak terkunci. Seketika pintu terbuka lebar menampilkan dua sosok insan berlainan Jenis kelamin tengah bercumbu mesra di dalam ruangan berdiameter 4x3 meter tersebut. Mataku terbelalak kaget, begitu pun mereka berdua yang seakan kaget dengan kedatanganku, apalagi dia, orang yang kukenal sebagai suami yang baik selama ini. Tega kamu bermain api di dibelakangku, Mas. Setengah mati kutahan gemuruh dalam dada yang tiba-tiba membuat amarahku langsung naik ke ubun-ubun. Dasar kurang a*ar, lel4ki durj*na. Bahkan di tengah hari bolong keduanya asik berduaan di dalam Kamar tanpa tahu malu orang mendengar. Entah apa hubungan mereka ini, yang jelas tentu saja aku tidak terima begitu saja. Keduanya harus menerima luapan amarahku. "B******n, k****g a**r kalian!" Mati-matian kutahan, amarahku meledak begitu melihat suamiku sendiri tengah bercumbu mesra dengan wanita lain. Dengan langkah cepat, kutarik dan kucengkeram kerah ba
Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar dan sulit sekali untuk melangkah. Ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas, bekas menampar mas Agung dan perempuan itu. Sakit.Mereka semua sudah duduk di ruang tengah. Mas Agung tampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluk Mas Agung. Dasar tidak tahu diri.Ibu mertua menatapku dengan rona sedihnya, Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sementara Yanti, Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga Ibu, tampak berdiri seakan menunggu pembicaraan Kedepannya yang akan diputuskan."Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan sia*a