Bab 5
Makanan yang tersaji tidak lagi memberikan selera. Ternyata memang percuma aku menyiapkan makan siang untuk Mas Agung, nyatanya dia sama sekali tidak menghargai usahaku. Sia-sia saja. Padahal aku tengah mencoba berdamai dengan hatiku untuk belajar ikhlas menerima mereka.
Daripada mubazir, sayur sebanyak ini sebaiknya kumasukkan dalam mangkuk dan segera kubawa ke samping rumah untuk diberikan ke tetangga.
"Eh, Bu Indira. Tumben, ada apa nih?" Bu Yeti bertanya setelah mempersilahkanku duduk.
"Ini, Bu. Saya tadi masak agak banyak jadi sayang karena tidak kemakan," kujawab seraya menyerahkan mangkuk sayur dari tanganku.
"Oalah … makasih lho, kebetulan saya gak masak. Maklum tanggal tua." Wanita paruh baya itu tampak tersenyum senang. Lalu pergi ke dapur, san tak lama kemudian kembali lagi.
"Ya sudah, kalau begitu saya Permisi, Bu," pamitku, namun Bu Teti malah menahan tanganku.
"Eh, Bu Indira. Sebentar jangan pergi dulu, kita ngobrol sedikit bolehkan?" Keningku berkerut, namun kuturuti juga. Akhirnya aku duduk kembali karena tak enak hati jika langsung pulang kembali.
"Ada apa sih, Bu. Kelihatannya serius sekali," tanyaku penasaran.
"Jadi begini Bu. Maaf nih ya kalau saya ikut campur rumah tangga Bu Indira sama Pak Agung. Bukan maksud apa-apa, saya hanya kasihan ke Bu Indira karena selalu baik pada keluarga saya. Hanya saja tidak tahu harus dari mana mulai ngobrolnya."
"Kasihan, maksudnya?" sejujurnya aku tak mengerti dengan apa yang dikatakan Bu Teti ini.
"Ya selama ini kan Bu Indira nggak tahu kegiatan Pak Agung di belakang. Bu Indira banyak dibohongin juga, saya jadi gak enak mau ngomongnya, Bu." Kenapa dia berbelit-belit sih. Membuatku semakin penasaran saja.
"Coba ceritakan yang jelas, Bu," pintaku penuh harap dengan wajah serius.
"Ya, pokoknya tentang semua yang Pak Agung lakukan di belakang Ibu. Panjang ceritanya, dan lebih dari sekedar yang terjadi sekarang. Pokoknya Bu Indira hati-hati saja sama mereka, dan kalau bisa coba cari tahu lebih dalam tentang kelakuan mereka di belakang Bu Indira," tuturnya dengan wajah sulit diartikan.
"Mereka? Maksudnya siapa yang Ibu maksud?" Ditanya seperti ibu, Bu Yeti malah terlihat seperti orang bingung.
"Pokoknya semua orang sudah tahu, Bu. Mungkin cuma Bu Indira saja yang ketinggalan berita."
Aku menarik nafas panjang dan mencoba mencerna apa yang dimaksud orang di depanku ini. Jika memang seperti itu, sepertinya aku memang harus mencari lebih banyak tentang Mas Agung dan yang di sebut 'mereka' oleh Bu Yeti.
Aku pun memilih pulang karena merasa pusing dengan penjelasan wanita itu yang berbelit-belit.
Baru memasuki halaman rumah, aku dikejutkan dengan kedatangan motor besar yang pemiliknya menghadap padaku dengan wajah seram.
"Mana Mas Agung, Indi?" Rupanya Doni yang datang. Kenapa lelaki itu bertanya perihal kakaknya padaku.
"Bukankah dia pulang ke rumah Ibu?" Aku balik bertanya. Doni tersenyum seperti mengejek, membuat keningku berkerut. Apa maksudnya itu.
Doni berlalu pergi lagi dengan motor besarnya tanpa basa-basi. Aku mengangkat bahu. Aneh. Kenapa dia bertanya padaku, padahal mereka tinggal di satu rumah.
*****
Tok tok! tok!
Terdengar pintu depan diketuk dengan tidak sabar. Entah siapa yang melakukan. Dasar tidak punya sopan santun bertamu ke rumah orang seenaknya.
"Mbak, mana Mas Agung?" Barusaja pintu kubuka, terlihat Yanti dan Zahra berdiri dengan pongah di depan pintu. Jangankan mengucap salam, bahkan tampangnya jauh dari kata ramah. Dua orang yang sama-sama menyebalkan.
"Kenapa kalian mencari Mas Agung kesini?" tanyaku heran, bukankah tadi pagi Mas Agung pulang untuk menemui istri mudanya ini. Lalu kenapa malah Zahra dan Yanti yang datang kesini. Dan dia tampak baik-baik saja tak seperti yang Mas Agung katakan tadi.
"Udah deh, Mbak. Aku tahu sekarang giliran Mas Agung bersama Mbak Indira. Tapi aku kan lagi hamil jadi ingin dekat dengan Mas Agung terus. Lagian ini juga bawaan bayi yang ingin dekat dengan bapaknya terus. Jadi Mbak nggak usah halangin Mas Agung untuk pulang ke rumah Yanti," cerocos Zahra panjang lebar. Dasar tidak tahu malu.
"Tapi itu bukan bayinya Mas Agung kan?! Jadi tahu dirilah sedikit. Untung saja suamiku masih mau menutupi aibmu." Kutekankan kata suamiku agar perempuan sombong di depanku ini sadar akan kedudukanya bukannya tinggi hati seperti orang yang tidak dididik oleh orang tuanya.
"Oh, sudah berani melawan ya sekarang. Tunggu sampai aku melaporkannya lada Mas Agung," kelakarnya penuh percaya diri.
Mungkin dia pikir aku takut padanya. Tidak sama sekali. Aku bukan wanita lemah yang mudah diintimidasi oleh wanita murahan macam si Zahra ini.
"Udah ah. Dimana Mas Agung sekarang, aku mau ketemu." Zahra menyenggol bahuku lalu bersama Yanti masuk ke dalam rumah tanpa permisi bahkan tanpa melepaskan alas kaki. Awas saja kalian, aku tak akan diam saja.
Yanti sendiri hanya mendelik tak suka, dan seperti biasa, tidak banyak bicara, selalu seperti itu padaku. Entah dendam apa padaku hingga selama ini sikapnya selalu buruk begitu.
Zahra berkeliling ruangan sambil berteriak memanggil mama Mas Agung, persis seperti orang kesurupan. Tentu saja dia takkan menemukannya di sini. Ingin tertawa tapi takut dosa.
"Mbak sembunyikan di mana Mas Agung?" Zahra bertanya dengan mukanya yang menyebalkan menurutku.
"Mas Agung bukan barang, aku tak bisa menyembunyikannya di lemari. Paham kamu? Sebaiknya kamu cari di tempat lain!"
"Awas ya, Mbak. Kalau kalau bohong, tanggung sendiri akibatnya!" tunjuknya tepat ke mukaku dengan wajah berang. Dasar bocah sinting, berani sekali dia macam-macam padaku. Disampingnya Yanti terus mendelik tak suka seakan ikut puas atas perlakuan Zahra seperti itu.
"Apa maksud kamu mengancamku?" Kuhentakkan tangannya yang masih menunjuk mukaku. Dasar tidak sopan.
"Mbak kan tak suka kalau Mas Agung menikahiku. Makanya Mbak berusaha untuk menjauhkan aku dari Mas Agung. Benar begitu kan, hm?"
Aku tersenyum kecut mendengar penuturannya. "Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Kamu yang berusaha menjauhkan Mas Agung dariku dengan rayuan murahanmu itu?!"
"Ka-kamu!!" Tangannya berayun tepat mengarah ke wajahku. Namun segera kutahan dan kuhempaskan, hingga Zahra hampir terjatuh. Untunglah langsung ditahan oleh Yanti di sebelahnya.
"Jangan berani-berani kau mengangkat tanganmu padaku. Karena aku bukan orang yang lemah seperti apa yang kamu pikirkan!! Camkan itu baik-baik!!" hardikku kasar dengan wajah berang
"Awas ya kamu, Mbak. Aw!!"
Zahra meringis sambil memegangi perutnya. Kenapa wanita itu. Dan entah apa maksudnya. Mungkin saja dia sedang berakting? Aku tidak tahu.
"Mbak aku tak akan diam begitu saja!!" Zahra kembali meringis sambil berpegangan pada Yanti.
"Sebaiknya kalian pergi dari sini sekarang juga?!!" usirku pada keduanya sambil melotot. Tak sudi lama-lama melihat tingkah kedua orang sinting itu.
Bab 6Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung."Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku.Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk."Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku
Bab 7"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bi
Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag
Bab 12"Indira, tunggu!" Mas Agung terus mengejar sampai depan rumah Yuni, tapi tak kupedulikan. Dengan hanya memakai celana pendek dia menahan dan menarik tanganku. Jijik."Lepaskan tanganku, Mas." Sekuat tenaga kutarik tanganku, tapi tak berhasil. Tenaga lelaki pasti jauh lebih besar dibanding dengan tenagaku yang lemah ini."Indira, dengar dulu penjelasanku!" Mas Agung terlihat emosi, dan dadanya naik turun melihatku. "Jangan ganggu Indira lagi, lelaki breng*ek sepertimu tak pantas untuknya menyentuhnya!" Yuda yang berdiri di atas motornya menatap nyalang pada Mas Agung. Aku tidak menduga sama sekali bahwa dia akan ikut membelaku."Siapa kamu berani menghalangi! Indira kenapa kamu bisa jalan sama laki-laki baji*gan ini!" Mas Agung menatap tajam padaku dan Yuda bergantian."Jika kamu bisa bergonta-ganti pasangan, kenapa aku tak boleh jalan sama Yuda? Egois kamu Mas."Kutinggalkan lelaki yang telah memberiku satu anak itu, lalu menaiki motor bersama Yuda dan pergi jauh meninggalka
Bab 13Suara Mas Agung tak terdengar lagi di luar, mungkin lelaki itu sudah pulang ke rumah Ibu Mertua. Aku tak masalah malah patut bersyukur karena segalanya perlahan terbongkar. Percuma saja meneruskan pernikahan dengan lelaki yang banyak main di belakang, berkhianat, tak jujur, tukang selingkuh, dan berperilaku tidak baik, bahkan berzina. Sungguh mengerikan jika hubungan ini terus berlanjut, maka aku akan terus digerogoti oleh rasa benci dan sakit hati yang berkepanjangan. Dan akan berdampak buruk pada masa depan Adi kedepannya. Apalagi dia sudah tahu bagaimana kelakuan buruk Ayahnya di belakangnya, yang justru baru kuketahui saat ini.Cukup, aku menyerah kali ini!Sekali lagi bertanya lebih dulu pada Adi, bahwa apa yang akan aku lakukan ini takkan membuatnya berkecil hati atau menjadi anak broken home nantinya. Jujur aku takut jika masalah ini akan berdampak buruk pada masa depannya nanti. Apalagi Adi anakku satu-satunya dan aku tak tega melihatnya menderita seperti ini. Bagiku k