Bab 4
Aku mengangguk pada Ibu dan kupersilahkan semuanya masuk ke dalam.
Semuanya kini duduk di sofa ruang tamu. Mas Agung yang duduk selalu berdekatan dengan Zahra tak memperdulikanku yang terus menatap benci padanya. Setelah hening beberapa saat, Pak Rt yang masih kerabat Ibu memulai pembicaraan.
"Bagaimana, bisa kita mulai sekarang?" katanya membuka suara. Aku mengangguk begitu juga yang lain.
"Indi, apa kabar, Nak?" Ayah Mertua menyapa dengan wajah teduhnya. Sepertinya khawatir mungkin, aku tidak tahu. Yang jelas beliau memang selalu baik padaku.
"Baik, Yah. Alhamdulillah."
"Syukurlah …!" Kulihat lelaki itu menarik nafas panjang.
"Jadi apa yang membawa kalian semua kesini? Aku banyak pekerjaan dan tak bisa mengobrol lama-lama" tanyaku langsung. Enek rasanya jika terus melihat Mas Agung yang duduk bersama wanita bernama Zahra itu.
"Baiklah, Nak Indira, langsung saja. Saya sebagai Rt dan juga perwakilan keluarga besar Bapak Ali, yaitu mertua Nak Indira sendiri. Ingin membicarakan sekaligus mendamaikan masalah dan juga bagaimana dengan hubungan kalian kedepannya. Maksud saya, Agung, Zahra dan Nak Indira sendiri sebagai istri pertama Agung." Pak Rt menghela nafas panjang, menjeda kalimatnya, kemudian berbicara lagi.
"Jadi saya mau tanya, Nak Indira maunya apa dan bagaimana. Karena tidak mungkin jika kita terus-terusan larut dalam masalah. Sementara tidak ada kejelasan disini. Semuanya harus diselesaikan segera. Bagaimana dengan keinginan Nak Indira sendiri? Silahkan menjawab."
Aku menatap tajam Mas Agung, yang sejak tadi tak mengalihkan pandangan pada Zahra. Hanya sesekali menatapku dengan perasaan entah. Percayalah Mas rasa benci itu kian mengakar padamu.
"Saya tidak akan memperpanjang masalah ini. Karena saya mau berpisah dengan Mas Agung!" jawabku jelas tanpa basa-basi. Yang langsung membuat Mas Agung menoleh cepat.
"Nak." Ibu bersuara lirih, "pikirkan dulu, kasihan Adi.''
"Maaf, Bu, aku tidak mau dimadu dan aku tidak terima jika Mas Agung menikahi perempuan itu tanpa seizinku."
"Indi! Bukankah sudah kubilang alasannya, kenapa kamu tidak mengerti, hah?" Mas Agung berkata dengan raut wajah merah sambil mengacak rambut kasar. Dasar egois kamu Mas.
"Maaf, Mas, Bu. Keputusanku sudah bulat. Tolong kabulkan keinginanku dan jangan dipersulit. Aku mau kita bercerai sekarang." Aku sama sekali tidak menyesali keputusanku, karena bagiku keputusan yang kuambil sudah benar menurut pemikiranku. Biarkan aku yang mengalah daripada berbagi menyakitkan. Lagipula aku sudah siap dan tidak takut andai aku menjadi janda nantinya.
"Tidak, Indi, Aku takkan menceraikanmu!" Mas Agung bersuara lantang. Aku mendelik menatap tajam ke arahnya. Kenapa dia berubah kasar. Bukankah dia sudah tahu, dari dulu aku tidak akan pernah mau dimadu.
"Aku tidak peduli, Mas. Ceraikan aku sekarang juga?!" jawabku dengan menekankan kata cerai. Bagiku berpisah lebih baik daripada berbagi makan hati.
"Tidak akan pernah!!"
"Aku mohon!!"
"Tidak sampai kapanpun!!" ujarnya lagi berapi-api membuatku emosi saja. Apa mau lelaki itu sebenarnya.
"Kalau begitu tinggalkan dia!!" telunjukku mengarah pada Zahra. Membuat wanita itu nampak kaget.
"Mas." Zahra ikut campur sambil berdiri dan menahan tangan Mas Agung yang mengepal.
"Biarkan Mbak Indira dengan keinginannya." Zahra bicara seolah dirinya korban. Dia menatap benci padaku, tapi kutahu dalam hatinya pasti bahagia.
"Zahra! jangan lancang kamu!" Wajahnya memerah seperti menahan amarah. Kamu memang keras kepala, Mas. Kenapa kamu tidak mau melepaskanku. Bukankah sudah ada Zahra disisimu.
"Mas jahat!" wanita itu duduk kembali dan tidak berkata-kata lagi. Kita lihat Mas, siapa yang akan kamu pilih.
"Nak, berikan pilihan lain, selain kata cerai. Tidakkah kamu kasihan pada Adi dan tidak ada salahnya jika kamu mencoba untuk menerima Zahra sebagai adik madumu." Kali ini Ayah Mertua yang bicara. Beliau memang baik dan selalu bijaksana. Namun bagaimana aku bisa menerima perempuan itu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak sudi untuk di madu. Biarlah Adi bahagia bersamaku meski tanpa Mas Agung.
"Maaf, Yah. Indi tak sudi berbagi suami. Apapun alasannya," jawabku lemah.
"Cobalah dulu, Nak Indi. Berikan kesempatan suamimu untuk berusaha berbagi dan berbuat adil dengan kalian berdua," ucap Pak Rt meyakinkan.
"Itu benar, Indi." Ibu dan Ayah Mertua ikut menimpali membuatku tidak bisa berkata-kata lagi.
"Tapi, Bu, Yah."
"Ayah percaya padamu, Indi." Aku tidak bisa berkata lagi karena tak mungkin melawan ucapan Ayah Mertua. Meskipun sebenarnya aku memang sudah tidak sudi bersama dengan Mas Agung, suamiku. Tapi kenapa seakan mulutku tak bisa berkata lagi. Hingga akhirnya aku memilih diam dengan kepala pening. Sedangkan Mas Agung terlihat senang dengan menarik nafas panjang.
*****
Tiga hari bersamaku dan empat hari bersama Zahra, dengan alasan wanita itu tengah hamil muda. Itulah keputusan yang mereka diskusikan tadi. Aku tidak ikut menanggapi karena merasa semua percuma saja. Toh, aku tidak diberikan pilihan untuk menolak dan memberikan pendapatku..
"Aku akan kembali setelah mengantar Zahra dan keluarga yang lain pulang." Pamit Mas Agung tadi sebelum aku beranjak ke kamar. Namun hanya kubalas dengan anggukan.
Dan hingga sore ini, sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya.
Hingga malam tiba, bahkan pagi menjelang, sama sekali tidak kelihatan batang hidung Mas Agung. Sepertinya berat buat lelaki itu untuk meninggalkan Zahra yang memang lebih segala-galanya dariku. Aku memang kalah usia, penampilan, gaya rambut bahkan sampai cara bicara pun aku kalah jauh di belakangnya. Pantas saja jika Mas Agung lebih mengutamakan Zahra, istri mudanya.
"Bu, kok bengong begitu, sih." Adi yang tengah sarapan melirik tak suka padaku. Membuatku tersadar dari lamunan.
"Eh, enggak, kok. Ibu hanya sedang berpikir tentang belanjaan." Aku terpaksa tersenyum, meski hati sebenarnya merasa tidak menentu.
"Ibu nggak usah bohong, deh. Adi tahu Ibu lagi mikirin ayah kan?" Anak itu, meski masih SD tapi seakan tahu banyak tentang isi hatiku. Aku memang bercerita pada Adi tadi malam bahwa ayahnya akan pulang, dan aku berkata padanya agar dia tidak bersikap dingin pada Mas Agung. Namun nyatanya kini, bahkan hidungnya pun tak kelihatan.
"Adi, kamu nggak usah peduliin Ibu, kamu fokus aja pada sekolahmu, ya?" Aku mengusap lembut kepalanya yang sedikit basah, bekas mandi tadi.
"Bu, Adi mau tinggal berdua sama Ibu, tanpa ayah."
Deg! Aku terpaku dengan permintaanya. Sekaligus tak mengerti kenapa dia sampai meminta hal itu.
"Kenapa tiba-tiba, Di?"
"Aku mau bahagia sama Ibu, aku nggak mau lihat ayah, Bu."
"Iya, sayang. Kita pasti akan bahagia." Aku mengecup kepalanya lembut. Sepertinya Adi menyimpan kebencian terhadap Mas Agung.
*****
"Indira … dimana kamu?" Teriak Mas Agung dari ruang tamu. Aku yang baru selesai sholat dhuha segera menghampirinya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku langsung.
"Kok malah tanya, kalau suami pulang itu sambut dong, biasanya juga kan begitu. Lupa kamu?" sungut Mas Agung terlihat sedikit kesal.
"Maaf Mas, aku sudah tak berhasrat lagi menyambutmu. Bukankah sudah ada Zahra yang siap menyambut dan membawamu ke pelukannnya?"
"Disini kan tak ada Zahra, gimana sih kamu?"
"Kalau begitu, balik lagi sana dan temui Zahra!"
"Apa kamu tak suka aku pulang ke sini, Indi?"
"Ya, jika kamu ingin pergi lagi, silahkan!"
"Kamu itu ya, tiap aku datang kesini selalu saja mengajak bertengkar. Membuatku nggak betah tinggal di rumah." Mas Agung terlihat kesal. Dia mengacak rambutnya kasar lalu menyandarkan kepalanya di sofa.
"Buatkan aku kopi," suruhnya, dengan mata yang masih memandang atap ruang tamu.
"Aku?"
"Apa untuk sekedar kopi saja aku harus marah lagi, Indi?" Aku berlalu segera ke arah dapur. Malas rasanya harus mendengar kata-katanya yang sudah jauh berubah dari Mas Agung yang dulu.
*****
Aku sudah menyiapkan makan siang. Sengaja membuat lauk lebih karena ada Mas Agung. Opor ayam dan perkedel adalah makanan favorit Mas Agung dan Adi. Mas Agung sendiri tengah tidur di kamar. Dia sempat mengajakku untuk menemaninya tadi. Namun tentu saja aku tolak, dengan alasan harus masak makan siang.
Tak lama kemudian, Mas Agung tergopoh keluar dari kamar, dengan ponsel masih menempel di telinga.
"Ada apa lagi, Mas? Aku yang heran mendekat dan menghampirinya.
"Indira, sepertinya aku harus pergi. Ada sedikit masalah dengan Zahra. Mungkin Mas akan-" ucapnya ragu. Namun segera ku potong.
"Pergilah, Mas. Temani istrimu. Harusnya memang kamu tak kembali kesini!!"
"Indira, aku mohon mengertilah!" Mas Agung meraih tanganku. Aku membiarkannya, ingin tahu apakah masih ada perhatian disana.
"Aku tidak memberatkanmu, Mas. Bukankah sudah kubilang kemarin, bahwa aku lebih memilih bercerai denganmu daripada harus menjadi duri untukmu dan Zahra."
"Aku tak bisa Indi, tolong jangan katakan kata itu lagi, please. Ijinkan Mas untuk memiliki kalian."
"Tapi kamu tak bisa adil kan, Mas. Jawab?" mataku mulai berkaca-kaca. Apakah masih ada rasa cinta dan perhatianmu disana Mas. Dan ternyata aku tahu jawabannya.
"Pergilah!"
Bab 5Makanan yang tersaji tidak lagi memberikan selera. Ternyata memang percuma aku menyiapkan makan siang untuk Mas Agung, nyatanya dia sama sekali tidak menghargai usahaku. Sia-sia saja. Padahal aku tengah mencoba berdamai dengan hatiku untuk belajar ikhlas menerima mereka.Daripada mubazir, sayur sebanyak ini sebaiknya kumasukkan dalam mangkuk dan segera kubawa ke samping rumah untuk diberikan ke tetangga."Eh, Bu Indira. Tumben, ada apa nih?" Bu Yeti bertanya setelah mempersilahkanku duduk."Ini, Bu. Saya tadi masak agak banyak jadi sayang karena tidak kemakan," kujawab seraya menyerahkan mangkuk sayur dari tanganku."Oalah … makasih lho, kebetulan saya gak masak. Maklum tanggal tua." Wanita paruh ba
Bab 6Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung."Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku.Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk."Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku
Bab 7"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bi
Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag
Bab 12"Indira, tunggu!" Mas Agung terus mengejar sampai depan rumah Yuni, tapi tak kupedulikan. Dengan hanya memakai celana pendek dia menahan dan menarik tanganku. Jijik."Lepaskan tanganku, Mas." Sekuat tenaga kutarik tanganku, tapi tak berhasil. Tenaga lelaki pasti jauh lebih besar dibanding dengan tenagaku yang lemah ini."Indira, dengar dulu penjelasanku!" Mas Agung terlihat emosi, dan dadanya naik turun melihatku. "Jangan ganggu Indira lagi, lelaki breng*ek sepertimu tak pantas untuknya menyentuhnya!" Yuda yang berdiri di atas motornya menatap nyalang pada Mas Agung. Aku tidak menduga sama sekali bahwa dia akan ikut membelaku."Siapa kamu berani menghalangi! Indira kenapa kamu bisa jalan sama laki-laki baji*gan ini!" Mas Agung menatap tajam padaku dan Yuda bergantian."Jika kamu bisa bergonta-ganti pasangan, kenapa aku tak boleh jalan sama Yuda? Egois kamu Mas."Kutinggalkan lelaki yang telah memberiku satu anak itu, lalu menaiki motor bersama Yuda dan pergi jauh meninggalka