Bab 8
Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat seperti ini. "Kenapa kita ke tempat ini, Mas?" Aku melirik Mas Agung yang tengah mencari tempat parkir."Kita akan menjenguk Zahra." Mas Agung menjawab singkat."Zahra?" Aku menatapnya tak mengerti. "Kenapa wanita itu ada disini, coba jelaskan, Mas."Mas Agung menghela nafas panjang, seakan ragu untuk keluar. Lalu menghadapkan wajahnya padaku."Indi, nanti disana kamu tidak usah banyak bicara, ya," pinta mas Agung sambil menggenggam tanganku erat.Aku semakin bingung saat pandangan wajahnya terlihat sayu. Entahlah aku tidak bisa menebak apapun saat ini."Tapi kenapa, Mas? Dan apa maksudnya ini?" Aku bertanya heran. Saat kedua manik matanya itu bergerak gusar."Pokoknya kamu turuti saja apa yang Mas katakan, Ok. Ini demi kebaikanmu sendiri, Indira." Aku mengangkat bahu, cuek. Aku tak ingin menuruti keinginannya, takut nanti ada hal tak terduga. Aku tak akan diam saja. "Indi?""Apa, Mas?" Kulirik sekilas, rampak lelaki itu berusaha menormalkan nada suaranya."Kami dengar, ya. Sebaiknya kamu turuti apa kataku, demi kebaikanmu sendiri, atau kita tidak jadi masuk ke dalam.""Semuanya tergantung situasi, Mas" jawabku sejelas mungkin. Kulihat Mas Agung menghela nafas berat. Aku tak perduli. Jika ada hal yang terjadi di dalam, masa aku diam saja, kan nggak mungkin.Aku terlebih dulu membuka pintu mobil disusul Mas Agung setelahnya. Kemudian berjalan beriringan menuju ke bagian informasi."Ruang Zahra ada di lantai dua. Ayo!" Aku mengangguk mengekor di belakang Mas Agung. Sesekali lelaki itu menoleh ke arahku, entah apa maksudnya. Aku sengaja tak menghiraukannya dan mengalihkan pandangan melihat kanan-kiri ruangan yang dipenuhi oleh pasien dan orang-orang yang menunggu.Pintu kamar tempat Zahra dirawat terbuka lebar. Ada yang sedang berbincang di dalam, seperti sepasang suami istri. Entah siapa mereka. Mungkin saja itu orang tua Zahra, Aku tak tahu pasti.Mas Agung mengucap salam pada kedua orang yang tengah berbincang itu yang seketika menoleh. Di atas ranjang, ada Zahra yang tertidur berselimutkan warna putih."Apa kabar, Bu, Pak." Mas Agung menyapa sekilas lalu mengenalkanku pada mereka. "Ini, Indira, istriku." Ada raut tak suka di wajah mereka, apalagi saat pandangan mata itu mengarah padaku, seperti nampak sekali kebencian dimata mereka. Dan aku masih tak mengerti ada apa sebenarnya. Padahal bukankah harusnya aku yang marah pada mereka dan anaknya, karena telah merebut suamiku. Aneh."Pak, Bu. Bagaimana keadaan Zahra?" Mas Agung bertanya setelah mencium tangan mereka, lalu di kursi samping Zahra yang terlelap."Zahra baik, Nak," jawab wanita paruh baya itu, terlihat halus saat menjawab menantunya. Sedangkan padaku, malah membuang muka. Wanita aneh."Syukurlah …!" Mas Agung mendekati Zahra dan mencium dahinya membuatku sedikit terganggu. "Mas, kamu datang." Zahra membuka matanya perlahan."Iya, Sayang. Kamu cepat sembuh, ya." Zahra mengangguk sambil tersenyum dan menautkan tangannya ke jari-jari suamiku.Diam-diam kutahan rasa sesak yang kini hinggap di dadaku. Aku ada disini, Mas. Kenapa kamu sama sekali tidak menghargaiku sama sekali."Apanya yang baik, bukankah Ibu lihat keadaan anak kita yang lemah tak berdaya. Semua karena kelakuan istrimu ini yang jahat ini kan, Agung?" Lelaki paruh baya dengan perut sedikit itu menunjuk wajahku.Deg. Benar dugaanku. Mereka semua termakan kebohongan anaknya kukira. Sungguh fitnah yang keji. Aku menarik nafas panjang, mencoba menetralkan keadaan dada yang mendadak sesak. Mungkin inilah maksud pertengkaran Doni dan Mas Agung semalam. Dan kini orang tuanya juga bersikap demikian. Menyalahkanku."Pak, sudah tenang. Malu sama orang." Wanita paruh baya itu menarik tangan suaminya."Memangnya apa yang aku lakukan, Pak, Bu? Seenaknya saja Anda menuduh saya tanpa bukti." Sebisa mungkin aku bertanya dengan nada wajar. Jangan sampai terpancing amarah. Tuduhan itu sama sekali tak mendasar. Zahra mungkin telah berbohong pada mereka dengan tujuan yang belum aku ketahui."Bukti? Buktinya, anakku sakit setelah pulang dari rumah kamu. Bukankah kamu yang mendorongnya?" Lelaki paruh baya yang disebut 'bapak' oleh Mas Agung berkata dengan nada tinggi, seakan tak terima dengan ucapanku. Aku menunjuk wajahku dengan heran."Aku mendorongnya. Yang benar saja. Saya tidak melakukan apapun padanya. Jadi jangan seenaknya saja menuduh begitu!" kilahku tak mau kalah. Memangnya siapa dia, berani sekali dia menuduh tanpa bukti. Semua ini gara-gara si Zahra. Dasar ular tak tahu malu."Kamu … jadi begini sikapmu, ya. Pantas saja kalau Agung--" Ucapannya terhenti kala Mas Agung dan istrinya mendekat. Kenapa lelaki yang bergelar suamiku itu tak membelaku."Mas Agung apa, Pak. Teruskan!""Sudah, Pak, sudah. Saya mohon jangan diteruskan." Mas Agung menyela perdebatan kami. Lalu menarikku ke luar ruangan."Aku kan sudah bilang, Ndi. Ga usah banyak bicara. Kamu denger nggak sih?" Mas Agung berbisik ditelingaku. Namun masih jelas kudengar. Giginya terdengar gemeretak seperti menahan kekesalan."Apaan sih, Mas. Kalau aku dituduh yang tidak-tidak, ya tentu saja aku harus melawan dong. Apa kamu nggak dengar tadi dia bilang apa. Dia bilang aku mendorong anaknya. Dan itu nggak benar, Mas. " Kuhempaskan tangannya yang memegangi tanganku kuat. "Iya, tapi bukan disini. Ingat yang Mas omongin tadi. Diam lebih baik." "Aku tidak mau dan tidak akan diam saja!" Kutatap wajahnya dengan pandangan hang melotot tajam agar dia tahu bahwa aku tidak salah dan tak seharusnya mengalah. Lelaki langsung mengacak rambutnya kasar."Indi … sejak kapan kamu jadi keras kepala begini dan tak menurut pada suami, hah?""Sejak kamu menjadikan dia istrimu!" jawabku sambil menatapnya tajam. Beberapa orang yang berlalu-lalang di koridor, langsung menatap heran. Aku tak peduli, meski ucapanku di dengar mereka."Itu lagi yang kamu permasalahkan?" Mas Agung bertanya dengan raut wajah marah. Aku mengangguk cepat."Ya. Jangan kamu pikir aku akan diam saja Mas, karena aku sudah muak dengan semua ini!""Indira? Indira?"Aku melangkah cepat meninggalkan Mas Agung yang berteriak memanggil. Percuma juga aku disini, tidak ada manfaatnya sama sekali. Lebih baik aku segera mencari informasi yang banyak tentang kelakuan Mas Agung di belakangku. Agar aku semakin yakin jika suatu saat nanti harus berpisah dengannya.Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag
Bab 12"Indira, tunggu!" Mas Agung terus mengejar sampai depan rumah Yuni, tapi tak kupedulikan. Dengan hanya memakai celana pendek dia menahan dan menarik tanganku. Jijik."Lepaskan tanganku, Mas." Sekuat tenaga kutarik tanganku, tapi tak berhasil. Tenaga lelaki pasti jauh lebih besar dibanding dengan tenagaku yang lemah ini."Indira, dengar dulu penjelasanku!" Mas Agung terlihat emosi, dan dadanya naik turun melihatku. "Jangan ganggu Indira lagi, lelaki breng*ek sepertimu tak pantas untuknya menyentuhnya!" Yuda yang berdiri di atas motornya menatap nyalang pada Mas Agung. Aku tidak menduga sama sekali bahwa dia akan ikut membelaku."Siapa kamu berani menghalangi! Indira kenapa kamu bisa jalan sama laki-laki baji*gan ini!" Mas Agung menatap tajam padaku dan Yuda bergantian."Jika kamu bisa bergonta-ganti pasangan, kenapa aku tak boleh jalan sama Yuda? Egois kamu Mas."Kutinggalkan lelaki yang telah memberiku satu anak itu, lalu menaiki motor bersama Yuda dan pergi jauh meninggalka
Bab 13Suara Mas Agung tak terdengar lagi di luar, mungkin lelaki itu sudah pulang ke rumah Ibu Mertua. Aku tak masalah malah patut bersyukur karena segalanya perlahan terbongkar. Percuma saja meneruskan pernikahan dengan lelaki yang banyak main di belakang, berkhianat, tak jujur, tukang selingkuh, dan berperilaku tidak baik, bahkan berzina. Sungguh mengerikan jika hubungan ini terus berlanjut, maka aku akan terus digerogoti oleh rasa benci dan sakit hati yang berkepanjangan. Dan akan berdampak buruk pada masa depan Adi kedepannya. Apalagi dia sudah tahu bagaimana kelakuan buruk Ayahnya di belakangnya, yang justru baru kuketahui saat ini.Cukup, aku menyerah kali ini!Sekali lagi bertanya lebih dulu pada Adi, bahwa apa yang akan aku lakukan ini takkan membuatnya berkecil hati atau menjadi anak broken home nantinya. Jujur aku takut jika masalah ini akan berdampak buruk pada masa depannya nanti. Apalagi Adi anakku satu-satunya dan aku tak tega melihatnya menderita seperti ini. Bagiku k
Bab 14Suara Ayah Mertua yang meninggi membuatnya terbatuk-batuk. Mungkin karena usianya yang sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan, membuat penyakitnya gampang kambuh. Apalagi ayah mertua juga punya penyakit asma dan beberapa kali di rawat di rumah sakit.Aku bergerak ke dapur dan kembali dengan segelas air minum yang langsung di raih ayah mertua."Makasih, Indi." Aku mengangguk singkat.Kulihat Zahra dan Mas Agung saling berpandangan. Tangan wanita itu bahkan melingkar di lengan Mas Agung yang besar seperti tidak mau lepas. Seakan menunjukkan bahwa lelaki itu miliknya sendiri."Ayo, masuk, Sayang." Lelaki itu membawa Zahra masuk dan melewati kami begitu saja, lalu duduk di sofa dan mengusap lembut perutnya yang katanya lagi hamil muda, hingga tak memperdulikanku dan ayah mertua yang masih menatapnya geram. Sayang katanya, ck, hebat sekali panggilannya. Semudah itu Mas Agung melontarkan kata-kata manis di depanku tanpa malu sama sekali. Setelah Zahra, Yuni, lalu siapa lagi wa
Bab 15Dengan segera, kubuka pintu kamar saat orang yang terus mengetuk pintu itu seperti tidak sabar, dan terkejut saat melihat siapa yang melakukannya. Zahra.Wanita itu berdiri di sana dengan berkacak pinggang seolah-olah dialah majikan di rumahku sendiri membuatku muak melihatnya. Dasar tidak tahu diri. Apa maksud semuanya ini."Dasar tidak sopan, untuk apa malam-malam menggedor pintu kamar orang? Apa kamu tidak dididik sopan santun?" tanyaku geram. "Sudah numpang berlagak seperti nyonya lagi!""Aku tidak perlu sopan santun pada kamu, Mbak, karena sebentar lagi aku akan menguasai rumah ini," katanya sambil tersenyum sinis. Mimpi!Keningku berkerut dan menatap sebal pada wajahnya yang sok cantik itu. Padahal di trimester pertama kehamilannya ini, terlihat sekali wajahnya yang menghitam di beberapa sudut bagian dengan jerawat yang mulai tumbuh dan memerah di wajah dan hidungnya. Jika dibandingkan Yuni, tentu saja kalah jauh. Zahra tak ubahnya abg labil yang baru beranjak dewasa, me
Bab 16Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat dari arah depan, tepat ketika aku dan Adi tengah sarapan di dalam kamar. Sepertinya itu suara Mas Agung dan Zahra. Mungkin mereka juga baru pulang setelah mencari sarapan. Aku tak peduli.Tampak Mas Agung dan Zahra berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah terlihat marah. Aku lupa tak mengunci lagi pintunya.Untuk apa dia berdiri di sana. Apakah akan memarahiku karena semalam tidak mau mau membukakan pintu untuk mereka. Dasar.Mas Agung mendekat dan berdiri tepat di samping ranjangku sambil menatap kami secara bergantian."Kenapa kamu nggak sekolah, Adi?" tanya Mas Agung tanpa mengalihkan pandangannya dariku, sedangkan Zahra kulihat masih berdiri di depan pintu kamar dengan wajah kusut. "Ini kan hari sabtu, jadi aku libur, Yah," kata Adi tanpa repot-repot melirik kepada ayahnya."Terus kamu kenapa masih di tempat tidur,Indira? Kenapa kamu tidak beraktivitas pagi-pagi seperti biasanya. Dasar pemalas!" kata Mas Agung sambil ber