Beberapa pria yang berbalut kemeja serta blazer saling melempar keheningan. Mulut mereka tertutup rapat, berlomba untuk mengunci suara masing-masing. Hanya ada suara mesin pendingin udara di ruangan yang hanya berisikan meja dan kursi. Masing-masing dari mereka bertanya-tanya, mengapa mereka di kumpulkan lagi?
Mereka adalah kelompok mafia Renoza. Organisasi yang sangat kompeten sebagai pelindung sebuah perusahaan, pemberantasan golongan, dan pembantaian sebuah kawasan. Jarang sekali tugas yang mereka emban gagal, lebih banyak berhasil dan tidak mengecewakan pelanggan.
Di sela keheningan, tiga orang pria yang lain memasuki ruangan. Mereka semua bangun dan membungkukkan badan, menghormati pria yang baru saja tiba. Salah satu di antara mereka adalah Alfonso, pemimpin mereka.
Setelah semuanya kembali duduk, Alfonso kembali membuka suara. "Aku perintahkan kalian semua ke sini karena ada satu tugas yang harus kalian lakukan. Pergi ke Indonesia! Awasi seluruh keluarga Mahardika! Lindungi mereka semua! Keberatan?" tanya Alfonso dengan bahasa Prancis.
Tidak ada yang membalas ucapan Alfonso. Mereka lebih fokus pada lantai di bawahnya ketimbang wajah pria yang sedang berbicara. Lima orang yang sedang berhadapan dengan Alfonso adalah Yoseph, Ignatius, Ruhn, Idris, dan Erlangga.
Pria bernama Erlangga mengangkat wajah dengan seringai yang menghiasnya. "Kenapa selalu kami berlima?"
"Karena kita yang terbaik," jawab Ruhn yang sedikit tersenyum miring.
Alfonso tidak tertarik menjawab pertanyaan Erlangga, tetapi dia tertarik dengan pria yang bertanya. "Erlangga, Anda harus lindungi Olivia! Dia putri Mahardika."
Perintah Alfonso membuat Erlangga jijik mendengarnya Pria itu mendengkus dan tertawa. "Anda selalu bersikap begitu."
Masing-masing dari mereka saling menatap. Kemudian, satu per satu pergi meninggalkan ruangan, kecuali Erlangga. Pria itu tersenyum tipis. "Tunggu aku di sana, Babe !"
***
Biasanya, mahasiswa akan pergi ke kantin bersama dengan teman sefrekuensinya. Mereka akan makan siang bersama sambil bercanda. Namun, berbeda dengan Olivia, perempuan berkardigan hitam yang sedang duduk sendirian di bangku di tengah kantin. Dia tidak pernah mau memiliki teman di kampus. Awal-awal masuk kuliah, dia langsung sadar kalau banyak dari mereka yang miskin, bodoh, bahkan tidak bermoral. Sehingga, dia lebih baik sendirian.
"Dari pada harus berurusan dengan rakyat tidak berguna, lebih baik aku hidup sendiri di sini."
Begitulah perkataan Olivia pada dirinya sendiri.
"Dasar mahasiswa nggak berguna! Bisanya gosip doang, nggak ada kelebihannya!" gerutunya seorang diri.
Dia sedang menikmati makanan yang dia beli di salah satu warung di sana. Kalau dipikir-pikir, untuk apa dia sombong kalau tetap makan di kantin? Hanya menurunkan reputasinya saja.
Di bagian kanan kantin, ada tiga orang mahasiswa yang sedang menikmati mi ayam dengan tawa yang sering kali terdengar. Mereka adalah Varo, Lana, dan yang paling menyebalkan adalah Leo Erlangga.
Leo Erlangga, mahasiswa tingkat dua jurusan hukum. Tinggi, putih, rambut tertata rapi dengan jambul yang begitu khas, dan wangi parfum yang pasti dapat memikat perempuan.
"Er, hari ini belum godain cewek, nih! Kurang lengkap kayaknya," kata Lana. Pria yang senang menggunakan jaket hitam ke mana pun dia pergi.
Yang ditanya justru asyik mengunyah suapan mi terakhir dari mangkuknya. Dia seolah tidak peduli dengan pertanyaan Lana.
"Erlangga hari ini nggak akan godain cewek. Dia lagi insaf, lagi mikirin nasib perkuliahannya yang mulai susah!" sahut Varo.
Sepertinya tidak mungkin kalau Erlangga tidak menggoda perempuan hari ini. Pria itu mendengkus kasar. "Enak aja, seorang Erlangga nggak mungkin kalah sama kuliah. Lagian, kamu belajar godain cewek dari aku, ya? Payah! Bukannya coba sendiri."
"Kalau sama kamu, mereka pasti langsung klepek-klepek, Bro! Kalau sama kita berdua, mah, kayaknya belum tentu. Tampangnya belum cukup!" kata Lana diiringi dengan tawa.
Varo menggumam keras. "Maaf, aku undur diri dari tampang yang belum cukup. Soalnya aku lebih ganteng dari kamu!"
Erlangga langsung akrab dengan dua orang di dekatnya sekarang setelah kedatangannya di kampus. Dia memang mencari teman untuk menyembunyikan identitasnya. Kalau sudah memiliki teman, orang-orang pasti mengira kalau Erlangga hanya mahasiswa biasa.
"Sampai detik ini, ada lima belas cewek yang baper sama kamu, dan kamu tolak, Bro!" kata Lana. Dia menatap layar ponselnya. "Ada catetannya semua, nih! Keren banget, Er! Bagi tampannya ke aku, dong!"
Erlangga mengusap-usap dagu sambil tersenyum. Dua kali alisnya bergerak naik-turun, seolah mengatakan kalau dirinya hebat, bukan?
"Kamu nggak akan bisa setampan aku, karena udah takdir," ucap Erlangga yang berlagak membetulkan kerah kemejanya.
Varo tertawa mendengar jawaban Erlangga untuk Lana. Menurutnya, itu perkataan paling menyakitkan yang pernah Varo dengar.
"Dari pada kamu baperin cewek-cewek baik hati, mending kamu baperin cewek sombong di sebelah sana!" kata Lana sambil menunjuk Olivia.
Erlangga menatap perempuan yang ditunjuk oleh Lana. Matanya memicing, sesaat kemudian dia tersadar kalau perempuan yang ditunjuk adalah Olivia, orang yang seharusnya dia lindungi.
"Dia siapa? Kayaknya aku baru liat kali ini. Dia sombong kenapa?" tanya Erlangga yang pura-pura tidak mengenal Olivia.
"Dia itu Olivia, pemberi donasi terbesar di kampus ini. Ayahnya itu konglomerat. Nggak tau kerja apaan, tapi duitnya nggak habis-habis! Heran aku," jelas Lana panjang lebar.
Atmosfer di antara mereka bertiga mulai berubah. Suasana hangat yang tadi tercipta sudah digantikan dengan suasana ketegangan yang Erlangga ciptakan. Pria itu tidak tersenyum sama sekali, justru menampilkan raut muka datar yang menyeramkan.
"Dia sombong karena dia merasa orang-orang di sini itu miskin dan bodoh. Nggak setara sama dia yang pintar dan kaya raya," tambah Varo.
Erlangga menganggukkan kepalanya. Matanya kembali melirik Olivia, dia ingin meyakinkan Vano dan Lana kalau dia benar-benar tidak mengenal Olivia.
"Dia pintar? Sepintar apa sampai dia sombong begitu?" tanya Erlangga sekali lagi.
Lana melirik Varo yang duduk di sampingnya dengan kerutan di dahi. Pria itu berlagak seolah bingung dengan Erlangga. Di dalam benaknya dia bertanya, "Mengapa Erlangga tidak kenal perempuan tenar seperti Olivia?" Itu semua terkesan aneh dan tidak masuk akal bagi Lana.
"Dia dapet A di semua mata kuliah yang dia ambil di dua semester awal. Kamu harus tahu, kalau dia itu asistennya Bu Rianti, dosen paling nyebelin di fakultas kita," jawab Varo yang masih menatap Lana dengan tajam.
Hal ini dapat Erlangga manfaatkan untuk lebih dekat dengan Olivia. Berhari-hari dia mengawasi perempuan itu dari jauh, tanpa niat untuk mendekatinya. Dia pikir akan lebih mudah jika mereka berdekatan.
"Dia lumayan menarik. Apa dia pernah dekat sama seseorang? Mungkin seorang cowok gitu? Dia terlihat cantik," kata Erlangga.
"Sayangnya, dia nggak pernah mau deket-deket sama siapa pun di sini. Kita juga males main sama dia, nggak asyik!" timpal Lana.
Erlangga tersenyum miring, lalu beralih menatap kedua teman di depannya. Dia punya ide yang sangat cemerlang. "Apa yang aku dapet kalau cewek itu baper sama aku?" tanya Erlangga.
Varo dan Lana tertawa kecil mendengar pertanyaan temannya. Tidak mungkin ada yang bisa dekat dengan Olivia, perempuan itu sulit ditaklukan.
"Emangnya kamu mau apa? Duit? Motor? Traktiran? Aku yakin kamu udah kaya raya dan nggak butuh semua itu," sahut Varo.
Erlangga kembali menatap perempuan yang bernama Olivia. Matanya tidak terlepas dari rambut Olivia yang tergerai lurus. Dia sedikit tersenyum, lalu mengangkat salah satu bibirnya.
"Oke, aku akan lakuin, tapi kamu harus mau lakuin apa yang aku perintah! Gimana?" tantang Erlangga yang kembali menatap kedua temannya.
Varo dan Lana enggan untuk menyetujui tantangan Erlangga. Karena mereka pikir, nanti Erlangga akan terus memberi mereka perintah-perintah yang tidak jelas dan memalukan, mengingat sikap Erlangga yang tidak tahu malu.
Namun, mereka juga ingin melihat Olivia yang bertekuk lutut pada orang lain. Mereka ingin tahu bagaimana sikap Olivia jika sudah menemukan pria yang mampu meluluhkan hatinya.
"Ogah, ah. Nanti kamu minta macem-macem. Ribet!" Varo memutuskan untuk tidak setuju.
"Tenang aja, aku paling cuma minta absenin kelas, salin tugas kuliah, hal yang berbau kuliah aja," jawab Erlangga yang membujuk temannya.
Lama menunggu jawaban dari Lana dan Varo, Erlangga semakin tidak sabar. Dia memutuskan untuk melakukannya tanpa balasan apa pun dari Lana dan Varo. Lagi pula, dia dekat dengan Olivia saja sudah merupakan hal yang bagus.
"Jangan banyak mikir! Aku lakuin sekarang dan kalian harus nurut!" kata Erlangga sambil mengangkat kaki dari hadapan temannya.
Erlangga sudah berjalan ke arah Olivia yang sedang duduk di salah satu meja kantin di depan warung soto. Tangannya mengambil beberapa lembar tisu di meja yang ia lewati.
Sesampainya di meja Olivia, Erlangga langsung berdiri di belakang perempuan itu. Tangannya bergerak di wajah Olivia, mengusap bibir perempuan itu dengan tisu yang dia ambil tadi.
Olivia langsung memundurkan wajahnya. Dia menolak perlakuan yang Erlangga berikan. Olivia langsung memberungut kesal. Dia marah dengan tindakan Erlangga yang tanpa izin menyentuh bibirnya. Walaupun menggunakan tisu, tetap saja Olivia tidak terima.
"Hei! Jangan kurang ajar!" pekik Olivia kencang.
Erlangga langsung menarik tangannya dan duduk di sebelah Olivia. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat tatapan mata mereka bertemu. Olivia terdiam setelah menatap wajah Erlangga dari jarak dekat.
"Aku cuma mau ngelap bibir kamu, jangan mikir macem-macem!" kata Erlangga. Pria itu mulai mengelap Bibir Olivia dengan tisu. Noda bumbu kacang sudah hilang dari bibirnya yang ranum.
"Ada bumbu di sudut bibir kamu. Makanya kalau makan itu yang bersih. Kenapa buru-buru, sih? Aku nggak akan pergi buru-buru, kok. Aku tungguin sampai kamu selesai makan." Erlangga menarik tangannya dan tersenyum.
Perempuan itu masih menatap Erlangga rupanya. Setiap sentimeter di wajah Elangga, Olivia amati perlahan-lahan; matanya yang hitam legam, tulang rahangnya yang tercetak jelas, hidungnya yang mancung, dan yang paling penting adalah bibirnya yang sangat menggoda. Satu hal yang dapat Olivia simpulkan. "Sempurna."
"Aku tahu kalau aku sempurna," ucap Erlangga seolah tahu apa yang ada di benak Olivia.
Olivia langsung mendorong Erlangga agar jarak tercipta di antara mereka. Perempuan itu mengalihkan pandangan, mendeham, dan menegakkan tubuhnya.
"Kalau kita pacaran, kamu bisa mandang wajahku lebih lama, nih," kata Erlangga.
Siapa yang sangka kalau beberapa detik menatap wajah Erlangga dapat membuat jantung Olivia berdetak lebih cepat? Perempuan itu tidak menjawab ucapan Erlangga. Dia berusaha membuat dirinya lebih nyaman dengan menarik napas, kemudian membuangnya.
"Kamu nggak mau lihat wajahku yang sempurna lagi?" tanya Erlangga.
Perempuan itu tidak menyangka kalau ada orang sepercaya diri pria di sampingnya. Dia mengelak kalau sudah menatap pria di depannya. Olivia hanya terpaksa menatapnya, karena posisi mereka yang saling berdekatan dan berhadapan.
"Padahal kamu itu cantik—" Ucapan Erlangga terhenti karena Olivia memotongnya terlebih dahulu.
"Emang bener," sahut Olivia.
Pria itu senang, karena Olivia sudah mulai menjawab ucapannya. Dia pikir Olivia tidak akan tertarik padanya. Erlangga hanya harus berusaha untuk membuat dirinya lebih nenarik lagi.
"Cuma ...." Erlangga sengaja menghentikan ucapannya. Dia berharap Olivia penasaran, dan bertanya padanya.
Lama Erlangga tidak menyahuti kata-katanya. Dia terus memperhatikan Olivia yang terus membuang wajahnya ke arah lain. Pria itu sudah mulai berpikir kalau Olivia tidak tertarik padanya.
"Cuma?" tanya Olivia yang penasaran. Perempuan itu menoleh ke arah Erlangga.
"Cuma sayang, belum pacaran sama aku." Erlangga tersenyum puas.
Olivia semakin bingung pada dirinya sendiri. Biasanya dia akan mengusir pria lain yang mendekatinya. Namun, kali ini dia justru membiarkan Erlangga mendekatinya.
"Udah puas?" tanya Erlangga.
Olivia berkedip beberapa kali. "Puas ngapain?"
"Puas mandangin wajahku yang sempurna," sahut Erlangga sambil menaik-turunkan alisnya. Pria itu tersenyum lebar sambil berkata, "Mata kamu sampai nggak kedip-kedip dari tadi."
Olivia tidak sadar kalau wajah Erlangga semakin mendekat ke wajahnya. Perempuan itu mulai kesal dengan Erlangga. Dia segera menjauhkan badannya. "Siapa yang mandangin? Kebetulan aja di depan aku."
"Mandangin juga nggak apa-apa. Kamu percaya kalau aku suka sama kamu?" kata Erlangga.
"Serius? Kamu suka sama aku?" sahut Olivia
Erlangga membantahnya dengan gelengan kepala dan senyuman. Pria itu mengecewakan Olivia. "Sayangnya belum, Liv. Mau coba jalanin pacaran dulu?"
"Serius?" kata Olivia dengan semangat.
Lagi-lagi Erlangga menggeleng. "Bercanda doang. Jangan terlalu serius!"
Gelak tawa terdengar seisi kantin. Siapa yang tidak tertawa melihat perempuan yang mereka benci dijahili?
Erlangga mendekatkan wajahnya lagi ke Olivia. "Jangan rindu sama aku, ya?" bisiknya.
Olivia terkejut sehingga memundurkan wajahnya. Erlangga melangkahkan kaki untuk pergi menjauh. Pria itu sudah puas telah memberi satu percikan api ke Olivia.
"Sialan! Dia siapa, sih? Berani-beraninya dia gangguin aku," gerutu Olivia.
Olivia tidak sadar kalau perkataannya masih terdengar oleh Erlangga. Pria itu menyeringai. Di dalam hatinya dia bersorak, karena jalan untuk lebih dekat dengan Olivia telah terbuka.
"Sepertinya aku harus ketemu lagi sama dia." Erlangga, pria yang berhasil membuatnya gelisah semalaman. Pria itu berhasil mengacaukan pikiran Olivia hanya karena tatapannya yang tajam dan menusuk. Perempuan itu juga tidak menyangka kalau bisa memikirkan orang lain. Dia sudah memutuskan untuk bertemu dengan Erlangga. Olivia ingin memastikan perasaannya pada pria itu. Olivia menolak kalau dirinya tertarik pada Erlangga. Namun, hatinya justru sangat menginginkan bertemu dengan pria itu lagi. Sekarang, perempuan itu sedang berjalan mencari keberadaan Erlangga. Sudah tiga lantai dia telusuri, tetapi pria itu belum juga ditemukan. Olivia takut kalau dia tidak berhasil bertemu dengan Erlangga, karena dia harus memastikan perasaannya hari ini juga. Dia berjalan dengan wajah yang sedikit diangkat, seolah dia adalah ratu yang harus dihormati. Beberapa kumpulan mahasiswa di sepanjang lorong dia anggap sebagai penonton yang butuh
Taman kampus menjadi saksi kesenangan Erlangga hari ini. Pria berkemeja flanel merah itu beberapa kali berteriak, menyerukan kesenangan dari dalam dirinya. Erlangga bukan hanya senang karena Olivia masuk ke dalam perangkapnya. Dia juga senang, karena bisa berdekatan dengan Olivia. Pria itu sedang duduk di salah satu bangku taman sambil bersiul. Dia sedang menunggu kehadiran rekannya di sana. Idris sengaja melakukan pertemuan dengan Erlangga di kampus, karena dia juga ingin melihat penampilan anak buahnya yang menyamar sebagai mahasiswa. Seorang pria yang memakai kaca mata hitam sedang berjalan ke arahnya. Tubuhnya yang dilapisi kaus putih dan jaket denim membuatnya terlihat tampan. Erlangga tidak sangka kalau rekannya akan bergaya seperti itu. Dia pikir Idris akan tetap memakai blazer hitam dan dasi merah seperti biasanya. "Jadi seperti ini penampilanmu selama di kampu?" tanya Idris yang sudah duduk di samping Erlangga. Kedua pria itu tidak sali
Olivia tetap membungkam mulutnya sepanjang perjalanan. Perempuan itu masih terbayang wajah Erlangga yang tepat di depannya. Jangankan tatapan tajamnya, deru napas Erlangga pun masih dia ingat. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, mereka tiba di depan bengkel Olivia pikir mereka akan datang ke kafe atau restoran. Ternyata hanya ke sebuah bengkel yang kumuh. Perempuan itu mendengkus dan memutar bola matanya. Erlangga menatap sekilas wajah Olivia lalu melepas sabuknya. Wajah yang tadi sangar sudah memancarkan senyuman. "Ayo turun!" titah Erlangga. Perempuan yang sudah mengganti kardigannya dengan jaket tebal berwarna hitam tidak bergerak. Dia memainkan ponsel dan mengabaikan perintah Erlangga. "Olivia!" Kata Erlangga dengan nada rendah. "Aku nggak mau ke dalam sana! Itu tempat kumuh. Kamu kenapa bawa aku ke tempat ini, sih? Seharusnya aku udah di rumah," bantahnya sambil menatap Erlangga dengan nyalang. Raut wajah
Setelah hampir tiga jam berada di dalam mobil, akhirnya mereka sampai juga di depan unit apartemen milik Erlangga. Kesadaran Olivia mulai menipis yang mulai menipis tidak mampu membuat perempuan itu sepenuhnya sadar dengan keadaan. Matanya yang berusaha tegar walau kelopaknya sudah tidak kuasa untuk terbuka membuat wajah Olivia berkali-kali terantuk kepala Erlangga. Erlangga membawa Olivia di punggungnya. Pria itu sudah menunggu Olivia bangun dari tadi, tetapi lima belas menit berada di parkiran membuatnya sadar kalau Olivia sudah benar-benar terlelap. Erlangga menempelkan sebuah kartu pada mesin di depan pintu. Warna hijau yang memindai kartu berhenti, pintu besi itu terbuka. Erlangga memasuki apartemennya dengan langkah perlahan. Dia takut membangunkan perempuan yang berada di punggungnya. “Ini apartemen kamu?” gumam Olivia. Artikulasi suaranya mulai tidak jelas karena berbicara dengan keadaan setengah sadar.Pria yang ditanya tidak menjawa
Setelah mengantarkan Olivia ke dalam kelas, Erlangga tidak langsung pergi ke kelasnya. Pria itu justru keluar dari kampus menuju sebuah gedung mewah di daerah Jakarta Pusat. Dengan penampilannya yang hanya menggunakan kaus putih polos dan kemeja flanel serta celana levis, membuat orang yang melihatnya merasa aneh. “Siapa pria itu? Apakah dia tidak tahu kalau gedung ini hanya didatangi oleh pria berdasi?” Mungkin itu yang dipikirkan oleh mereka. Erlangga sadar kalau dirinya ditatap aneh oleh orang di sekitar, tetapi dia tidak mempedulikannya. Pria itu justru terus melangkah menuju lantai 18 dan memasuki salah satu ruangan. Sebuah kejutan untuknya, dia hanya bertemu Idris dan Yoseph. Pria itu mendecih setelah menutup pintu. "Kamu menyuruhku untuk buru-buru, tetapi sekarang baru kalian berdua di sini. Ke mana uang lainnya?" Lampu ruangan seketika meredup, bergantikan cahaya biru remang-remang. Jendela tak bergorden pun langsung tertutup oleh tralis besi
“Ke mana Erlangga, sih? Nyusahin aja jadi orang!” Sudah hampir jam dua siang, tetapi batang hidung Erlangga belum tampak juga. Olivia sudah geram dengan pria itu. Dia ingin sekali menjambak rambut Erlangga kalau bertemu nanti. Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kantin. “Kelamaan nungguin dia. Nanti malah nggak ikut kelas.” Dalam hati dia mengutuk pria bernama Erlangga, seandainya dia dateng, akan aku hantam wajahnya dengan tas. Padahal, sepertinya nyali Olivia belum cukup untuk melakukan itu. Ditatap dari jarak dekat saja sudah gerogi, apalagi melakukan hal yang tidak-tidak. “Eheeem!” Olivia menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ternyata Erlangga, dia sedang mengikuti Olivia dari belakang. “Apa yang aku bilang tadi saat di kantin?” tanya Erlangga dengan tatapan mata yang menajam. Olivia menjawab setelah memutar bola matanya. “Terus aku harus nungguin kamu sampai kapan? Dua menit lagi udah masuk kelas
“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.” Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah. “Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia. Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga. “Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir. “Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel. Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.” “Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” O
Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar. “Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia. “Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang. “Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia. “Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya. “Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot. “Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu bu
Di hadapannya, ada seorang pria yang sedang tidak sadarkan diri. Tangan kanannya diinfus sedangkan punggungnya diperban. Luka tusuk yang pria itu dapatkan tidak terlalu dalam, tetapi berhasil menghabiskan banyak darahnya.Erlangga terus bertahan untuk sadar dan menemani Olivia di perjalanan. Hingga akhirnya dia tidak kuat menahan kesadarannya sampai akhirnya dia tidak sadarkan diri. Justru itu yang membuat Olivia semakin ketakutan.Sekarang, Olivia sudah merasa lebih tenang. Pria yang dia khawatirkan masih belum sadar. Sejak tiga jam lalu, Erlangga masih memejamkan matanya seolah tidak ada yang menunggunya untuk bangun."Ada yang perlu kita bicarakan." Ruhn mem
“Semakin menyenangkan saja pertunjukan drama kali ini. Jadi kamu tidak akan menikah dengan Erlangga setelah ini, Liv? Kasihan sekali dirimu. Kamu sudah hamil, tetapi pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab,” ucap Jakob sambil tersenyum lebar. Dia melirik ke arah Firman dan berkata, “Apa yang akan Anda lakukan pada Erlangga, Pak Tua?”Firman sudah tidak mau berkata apa-apa. Dia sudah muak dengan Jakob dan hal yang sedang dia rasakan. Namun, dia tidak bisa lepas begitu saja. Dia tidak bisa melepaskan dirinya dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Firman merasa sangat tidak berguna sekarang.“Anda benar-benar pria paling berengsek yang pernah saya temui, Erlangga. Saya tidak sangka kalau Anda berani merusak putri saya dan ingin pergi begitu saja. Ternyata memang benar ucapan saya tadi kalau Anda adalah mafia yang licik,” jawab Firman.“Ya, dia memang licik, Pak Tua. Dia bahkan lebih licik dari pada saya. Beruntung se
“Dia adalah Renoza yang sebenarnya. Dia adalah pria yang sengaja saya jadikan kambing hitam setidaknya sampai saya tiba di rumah Anda, Pak Tua.” Jakob tertawa cekikikan.Kalau tahu yang sebenarnya, tidak mungkin Firman akan menahan Erlangga tadi. Dia mungkin akan menuruti semua perintah Erlangga demi keselamatan dirinya dan keluarga. Sayangnya, Jakob begitu memengaruhi pikiran Firman hingga dia terperdaya.“Sepertinya Anda juga tidak tahu apa yang membuat putri Anda datang ke Paris, ya? Tidak masalah, saya akan menjelaskannya pada Anda juga,” kata Jakob.Firman terus menatap wajah Jakob yang dekat padanya. Yang ditatap tidak berhentinya tertawa jahat. “Dia datang untuk meminta pertanggungjawaban dari calon suaminya, Pak Tua.”“Cukup, Jakob! Semua itu hak saya untuk mengatakannya pada keluarga! Bukan hak Anda sebagai orang asing yang jahat dan licik!” pekik Olivia dengan suara yang tinggi.Tria mulai m
Kehadiran Jakob dan para pengikutnya ke dalam rumah Firman Mahardika membuat semua keadaan berubah. Firman, pria tua yang seharusnya menjadi tuan di rumah itu karena seharusnya dilindungi, sekarang justru menjadi tahanan Jakob. Tidak hanya Firman Mahardika yang dia tahan, istri dan anaknya juga ikut ditahan secara paksa.Erlangga sudah tidak terkejut dengan semua yang terjadi saat ini padanya dan juga pada keluarga Mahardika. Dia sudah memperkirakannya sejak tadi ditahan oleh Firman. Pria yang sedang menikmati pertunjukan drama di depannya itu sudah tahu kalau ada orang yang menuduh dirinya dan menjebaknya sekarang.Sudah terbukti yang ada di dalam benaknya. Pasti ada anggota mafia Ryuzen yang menghasut Firman. “Jangan salahkan saya yang nggak memberikan peringatan. Saya terus bertanya, tetapi Anda memilih untuk ingin membunuh saya.”“Diam kamu! Siapa kamu sebenarnya?” Firman yang sudah kehabisan kesabaran terus menarik uratnya ketika ber
Seluruh manusia yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Seorang Erlangga dengan tenang menghadapi Firman. Dia tanpa rasa takutnya membalas ucapan Firman Mahardika saat banyak penjaganya sedang berada di ruangan yang sama pula. Erlangga dengan sangat berani dia menyunggingkan senyum miringnya.Olivia bahkan sampai menutup mulut. Dia yang sangat terkejut. “Apa maksudnya semua ini, Yah?”Firman menoleh ke belakang dan menatap putri semata wayangnya. Tatapan mata Olivia yang semakin sendu membuat pria tua itu tidak tega. Awalnya Firman ingin marah pada anaknya lantaran ceroboh dengan pria yang bisa mencelakainya. Namun, Firman urungka karena tidak tega.“Dia ini seorang mafia yang sangat licik, Liv. Dia adalah seorang yang bisa membunuh bahkan hanya dengan tangan kosong. Dia bisa saja membunuh semua orang yang ada di sini hanya untuk kemenangannya seorang. Orang yang sudah kamu dekati selama ini hanya menginginkan harta Ayah, bukan ketulusan men
"Kita nggak perlu ke rumah aku, Er. Aku hanya harus telepon Ayah aja. Nanti dia yang akan nyuruh anak buahnya untuk berhenti ganggu kita. Nanti kita akan ke rumah aku kalau keadaannya sudah aman semuanya. Baru kita rencanain bagaimanacame outkalau kita akan menikah karena tragedi ini," jelas Olivia yang mulai murung. Erlangga tidak habis pikir dengan jalan pikir Olivia. Perempuan itu menyangka kalau semua yang terjadi adalah ulah anak buah ayahnya. Pria itu mendengkus dan menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Apa yang kamu maksud anak buah ayah kamu? Apa kamu nggak sadar kalau itu semua bukan anak buah ayah kamu? Mereka semua ingin nyelakain kamu. bagaimana bisa mereka jadi anak buah ayah kamu?" Olivia tersenyum meremehkan dan membuka layar ponselnya. Dia menunjukkan isi pesan singkat yang sudah diterima dari ayahnya kepada Erlangga. Ayah: Kamu harus jaga diri! Kalau tidak aman, segera kembali ke ru
Mobil berhenti di parkiran apartemen Erlangga. Olivia yang senang karena akhirnya dapat bertemu dengan Erlangga pun tidak kuasa menahan senyumnya. Dia terus saja tersenyum sepanjang perjalanan. Mereka pun berjalan menuju unit apartemen milik Erlangga. Tangan mereka bertaut seolah tidak mau melepas satu sama lain. Siapa yang berani memisahian mereka berdua? Erlangga akan maju menghadapinya. Dia sudah siap dengan keahlian bela dirinya untuk menghajar orang yang mengganggu hidupnya.
Setelah perdebatan alot dengan ayahnya, Olivia akhirnya memutuskan panggilan itu. Dia tidak mau berbicara dengan ayahnya untuk beberapa saat ini. Dia masih sulit untuk percaya kalau ayahnya sendiri yang merencakan penyerangan itu.“Aku nggak nyangka kalau Ayah setega ini. Orang yang Oliv sayang bisa terluka gara-gara kekejaman Ayah. Apa Ayah nggak seneng lihat Oliv bahagia? Apa bahagia di mata Ayah?” gerutu Olivia di ruang tunggu.Dia sejak tadi sudah murung. Erlangga sudah terluka dan itu akibat ulah ayahnya. Sampai sekarang Olivia masih bingung dengan motif yang ayahnya berikan. Bagaimana bisa dia memerintahkan orang untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya bahkan sampai ke Paris?“Apa yang sebenarnya Ayah lakukan? Mengapa Ayah begitu terlihat tidak menyukai Erlangga?”Hampir satu jam Erlangga di dalam ruangan sana tanpa ada kabar dari perawat atau dokter. Olivia takut kalau Erlangga kehabisan darah. Dia melihat sendiri kalau
Seketika tubuh Erlangga membeku ketika letupan pistol itu memekakkan telinga mereka berdua. Olivia yang duduk di depannya juga membelakkan matanya. Pria itu melirik ke arah lengan kanannya yang sudah mengeluarkan darah dari sana.Olivia yang tidak tega ingin sekali melindungi Erlangga. Perempuan itu pun menarik tubuh Erlangga agar ikut bersembunyi di balik tembok bersamanya. Bagian lengan yang tadi mengeluarkan darah sudah ditahan oleh telapak tangan Erlangga. Namun, tetap saja masih mengeluarkan darah.“Kreeet!” Olivia merobek pakaiannya untuk digunakan membebat tangan Erlangga. Dia ikat luka itu dengan niat agar darahnya berhenti mengalir. Setelah selesai, Olivia mengeratkan pegangan tangannya dengan Erlangga.“Aku nggak kenapa-kenapa. Ayo kita pergi dari sini,” kata Erlangga.Saat itu juga Olivia menggelengkan kepalanya dengan wajah yang penuh keyakinan. Dia berniat melindungi Erlangga dengan cara yang dia pikirkan sendiri.