Taman kampus menjadi saksi kesenangan Erlangga hari ini. Pria berkemeja flanel merah itu beberapa kali berteriak, menyerukan kesenangan dari dalam dirinya. Erlangga bukan hanya senang karena Olivia masuk ke dalam perangkapnya. Dia juga senang, karena bisa berdekatan dengan Olivia.
Pria itu sedang duduk di salah satu bangku taman sambil bersiul. Dia sedang menunggu kehadiran rekannya di sana. Idris sengaja melakukan pertemuan dengan Erlangga di kampus, karena dia juga ingin melihat penampilan anak buahnya yang menyamar sebagai mahasiswa.
Seorang pria yang memakai kaca mata hitam sedang berjalan ke arahnya. Tubuhnya yang dilapisi kaus putih dan jaket denim membuatnya terlihat tampan. Erlangga tidak sangka kalau rekannya akan bergaya seperti itu. Dia pikir Idris akan tetap memakai blazer hitam dan dasi merah seperti biasanya.
"Jadi seperti ini penampilanmu selama di kampu?" tanya Idris yang sudah duduk di samping Erlangga.
Kedua pria itu tidak saling menatap, justru saling mengalihkan tatapan mata. Embusan angin yang menerpa membuat rambut mereka melambai-lambai. Seperti biasanya, Erlangga tidak pernah menghormati Idris sebagai pemimpinnya.
Erlangga mendengkus setelah mendengar pertanyaan rekannya, seolah Idris tidak percaya pada apa yang dia lakukan. Pria itu membuang ludah ke sembarang tempat sebelum menjawabnya. "Apa yang membawamu ke sini?"
Idris merasa geli mendengar pertanyaan Erlangga. Dia pemimpinnya, dia bebas bertemu dengan anak buahnya kapan pun dia ingin. Pria itu tertawa, lalu tersenyum. "Mereka sudah tiba. Bersiap untuk bertugas."
Erlangga mendelik menatap Idris. Pria itu tidak sangka akan secepat ini kedatangan musuhnya. Dia belum siap untuk misi ini, Olivia masih belum bisa dia kontrol.
"Aku harus pergi." Idris mengangkat tubuhnya. Dia menatap Erlangga dengan seringai, lalu berjalan menjauh.
Ketegangan yang tadi sempat terasa, perlahan mulai menghilang terbawa angin yang berembus. Erlangga tidak lagi tersenyum. Matanya menatap tajam pria yang berjalan menjauh. Tangannya mengepal, berusaha meredam emosi yang mulai menyeruak di dalam dirinya. Dia tidak marah pada Idris, hanya marah pada dirinya sendiri yang terlalu lama bertindak.
***
Ucapan Idris membuat Erlangga harus bertindak lebih cepat. Dia harus segera dekat dengan Olivia apa pun caranya. Karena hanya dengan itu, Erlangga bisa menjaga Olivia dari orang yang hendak membuatnya celaka.
Dia dan kedua temannya sedang berjalan menyusuri salah satu lorong gedung fakultas hukum. Erlangga sadar kalau dirinya sedang menjadi pusat perhatian. Namun, dia tidak mau peduli pada masalah lain. Tugasnya lebih penting, dia harus menemui Olivia.
"Er, hari ini makin ganteng aja, sih?" tegur perempuan yang baru saja dia lewati.
Pria itu hanya tersenyum tipis. Matanya meneliti setiap meter dari tempat yang dia lewati. Erlangga tidak menemukan keberadaan Olivia. Dia tahu di mana Olivia berada, perempuan itu pasti sedang berada di bangku taman fakultas hukum.
"Saya mau ke Oliv dulu. Kalian jangan lupa sama janji yang udah dibuat, harus bantuin saya untuk absen di kelas! Nanti absenin saya di kelas Pak Mardi dan kerjain makalahnya!" seru Erlangga yang berjalan meninggalkan kedua temannya.
Dia tidak tahu kalau Lana sedang mengumpatnya di belakang. Fokus Erlangga saat ini hanya Olivia, dia harus bertemu dengan perempuan itu. Kedua tungkai kakinya melangkah cepat menuju taman. Pria itu langsung tersenyum ketika melihat Olivia sedang duduk sambil membaca buku.
Erlangga berjalan menghampiri Olivia yang sedang duduk di salah satu kursi taman seorang diri. Dia merasa hari ini Olivia terlihat lebih cantik, dengan bando warna merah muda di kepalanya. Pria itu menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan sebelum berkata, "Sendirian aja, Liv. Butuh temen buat baca?"
Tidak ada jawaban dari Olivia. Perempuan itu tidak ingin diganggu kalau sedang membaca. Sayangnya, Erlangga tidak mengetahui hal itu. Dia hanya tahu kalau Olivia tidak mudah berbicara dengan siapa pun. Oleh karena itu, Erlangga kembali berkata, "Liv, nanti sore main, yuk!"
Alih-alih mendapatkan jawaban positif, Erlangga justru dibalas dengan tatapan tajam Olivia. Perempuan itu juga menutup bukunya dengan kasar. "Aku sibuk. Nggak ada waktu buat rakyat miskin seperti kamu!"
Erlangga tidak kehilangan akalnya setelah ditolak. Pria itu kembali bertanya,"Sibuk ngapain? Aku temenin, ya?"
Suasana hening mulai tergantikan dengan kicauan suara Erlangga yang memenuhi kepala Olivia. Perempuan itu berdiri dan menyampirkan tas di bahu kiri. "Nggak perlu, yang ada kamu malah nyusahin aku nanti. Aku peringatin sekali lagi, waktu yang kamu punya hanya satu bulan, nggak lebih. Kalau sampai aku nggak bisa jatuh cinta sama kamu dalam satu bulan, kamu harus pergi dari kampus ini!"
Erlangga kaget dengan ucapan Olivia, mulutnya menganga. Dia tidak sadar kalau ada hukuman dari tantangannya. Namun, pria itu tidak mau repot-repot mengurusinya. Setelah melipat kedua tangan di depan dada, Erlangga berkata, "Tenang aja, nggak akan sampai satu bulan perjanjian itu akan berakhir, Liv!"
Olivia menyunggingkan senyuman sebelah bibir. Erlangga sedang bermimpi pikirnya. Perempuan itu meninggalkan Erlangga di taman, dia ingin ke ruangan kerjanya. Tidak mungkin aku bisa jatuh cinta sama dia dalam waktu sebulan!
Olivia tidak sadar kalau Erlangga mengikutinya dari belakang. Ketika perempuan itu hendak membuka pintu ruangan, Erlangga bersandar di dinding samping pintu. Bibirnya tersenyum, sebelah matanya berkedip.
"Kenapa kamu ikutin aku? Aku udah bilang nggak perlu ditemenin! Nggak ngerti bahasa indonesia, ya? Wajar aja, sih, mahasiswa miskin yang malas belajar!" kata Olivia dengan nada sewot.
Erlangga tertawa mendengarnya. Dia senang melihat Olivia yang sedang marah. "Kamu hanya bilang nggak perlu, bukan nggak boleh. Jadi, nggak ada yang ngelarang aku ke mana pun, kan?"
Olivia mulai segan membalas ucapan Erlangga. Dia tidak mau membuang energinya untuk marah-marah. Akhirnya, Olivia membiarkan Erlangga masuk ke dalam ruangan.
"Kamu kerja apa di sini?" kata Erlangga.
Olivia melihat Erlangga yang sedang menggeratak. "Asisten dosen. Jangan menggeratak! Itu bukan milik kamu."
Pria itu meletakkan kembali bingkai kotak kecil yang sedang dipegang. "Baiklah. Terus, apa kerjaan kamu kali ini? Duduk santai terus nerima gaji?"
Olivia tidak menjawab pertanyaan Erlangga. Perempuan
"Aku keluar sebentar, ya?" kata Erlangga.
Setelah pria itu keluar, Olivia langsung bernapas lega. "Akhirnya ada juga waktu untuk nggak dengerin kata-katanya yang nggak bermakna."
Setelah beberapa saat Olivia sendirian di dalam ruangan, Erlangga datang kembali. Dia membawakan segelas minuman berwarna cokelat.
"Aku nggak tau apa minuman kesukaan kamu, jadi saya beliin mocca aja. Kamu suka mocca?"
Pria itu berjalan mendekati Olivia. Dia menyodorkan sedotan untuk diminum. Namun, Olivia memundurkan wajahnya.
"Aku bisa minum sendiri," ucapnya.
Tentu saja Erlangga menepis. "Kamu lagi beresin buku-buku, nanti tangan kamu basah kalau megang. Nurut aja kenapa, sih?"
"Kenapa jadi kamu yang marah? Seharusnya aku yang marah, karena udah digangguin kerjanya hari ini!" ketus Olivia.
Erlangga berdecak. "Minum buruan!"
Akhirnya, Olivia meneguk minuman yang pria itu berikan. Sudah dua kali dia disuapi oleh pria bernama Erlangga. Apa yang akan terjadi setelah ini?
"Aku peringatin satu hal sama kamu, aku nggak suka diganggu! Kalau kamu mau berusaha memenangkan tantangan, main adil, dong!" Olivia berkata sambil melotot.
Yang diajak bicara hanya tersenyum tanpa ada rasa bersalah. "Aku hanya ngelakuin hal yang ingin saya lakuin aja. Nggak ada yang salah kalau ngasih kamu minum, kan? Lagian, kamu lagi capek, butuh tenaga. Kalau aku kasih makanan, nanti malah makin repot. Kalau minuman, kamu tinggal minum aja kayak tadi."
"Nggak di saat aku kerja juga, kan?" bantah Olivia.
"Ya, saya nggak tau kalau kamu orang yang harus fokus saat bekerja. Lagian, kamu harusnya bisa lebih santai. Di luar itu ada banyak mahasiswa yang lagi bercanda, ketawa, seneng-seneng. Kenapa kamu milih di sini, sih?"
Satu hal yang dapat Olivia katakan saat ini. "Nggak level! Aku nggak akan mau berkawan dengan mereka semua."
Olivia mulai membereskan semua berkas yang tadi dia kerjakan. Erlangga kebingungan, padahal tadi dia disuruh diam dan jangan menganggu kerjanya.
"Ini mau pergi ke mana? Udah beres-beres aja, Liv!" tanya Erlangga dengan dahi yang mengkerut.
"Aku mau pulang, besok aja lanjutin kerjaannya. Lagian mood aku udah hilang saat bertemu sama kamu tadi!" kata Olivia sambil berjalan ke luar ruangan.
Erlangga tidak mungkin menyerah sampai di sana. Dia mengikuti perempuan itu ke parkiran mobil. Ketika tangan perempuan itu menyentuh kenop pintu, Erlangga menahannya.
"Biar aku yang nyetir aja, gimana?" kata Erlangga.
Perempuan itu lagi-lagi berdecak. "Kenapa kamu terus ngikutin aku, sih? Aku mau sendirian, nggak mau diganggu!"
Erlangga menyeringai, dia menarik tubuh Olivia agar bersandar di mobil. Tangannya menyangga di kedua sisi tubuh perempuan itu. Wajah mereka semakin dekat, sampai Olivia dapat merasakan hembusan napas hangat dari hidung pria di depannya.
"Kamu ... kamu mau ngapain?" tanya Olivia yang berusaha terlihat tidak ketakutan. Padahal, hatinya sungguh ingin berteriak meminta pertolongan.
"Kamu itu susah banget dibilangin, sih? Aku lagi berusaha deket sama kamu, dan kamu nggak boleh nolak apa pun yang aku katakan! Kamu tau karena apa?" kata Erlangga.
Perempuan itu mulai bergemetar. Dia menggelengkan kepalanya. "Apa?"
Erlangga memajukan wajahnya semakin dekat dengan wajah Olivia. Bibirnya sedikit menempel di pipi Olivia, dan terus bergerak ke arah telinga. Dia berbisik, "Karena aku nggak suka penolakan. Paham apa yang aku katakan?"
Mata perempuan itu sontak terbelalak. Erlangga sukses membekukan Olivia di tempatnya. Perempuan itu tidak bergerak lagi, dia menatap lurus ke depan, walaupun Erlangga sudah menyingkir.
Pria itu masuk ke dalam mobil. Dia membunyikan klakson secara keras hingga membuat Olivia terlonjak.
Olivia terkejut, dia mengusap dadanya berkali-kali. Astaga, dia hampir cium kamu. Untung bibir aku gak dia sentuh.
Sambil berdecak, dia masuk ke dalam mobil. Wajahnya yang memberungut membuat Erlangga tertawa melihatnya. "Hei!"
Olivia tidak menyahut, dia membuang muka. Sebab itu juga, Erlangga jadi memajukan tubuhnya mendekat kembali ke arah Olivia.
Perempuan itu tersadar kalau Erlangga mulai mendekat, dia segera memojokkan diri ke ujung pintu. "Jangan macam-macam!"
"Di parkiran lagi sepi, aku bisa lakuin apa pun tanpa ada yang curiga, kan?" kata Erlangga.
Pria itu terus memajukan tubuhnya. Hingga sampailah wajah mereka berdua berhadapan. Deru napas Olivia yang tidak teratur membuat Erlangga menyeringai. "Kenapa ngos-ngosan? Takut sama aku?"
"Aku nggak pernah takut sama kamu!"
Tangan Erlangga mulai menyusur ke belakang kepala Olivia. Wajah pria itu pun mulai miring dan semakin dekat dengan wajah perempuan di hadapannya. Olivia sudah memejamkan mata, sampai dia merasakan usapan tangan di belakang kepala dan sebuah sabuk pengan terpasang di tubuhnya.
"Jangan terlalu percaya diri kalau kita akan berciuman, sayangku. Kita belum sampai di tahap itu. Kamu udah nggak sabar nyobain bibirku yang menggoda ini, ya?" ucap Erlangga yang mulai menjalankan mobil.
Olivia pikir dia akan berciuman tadi, ternyata hanya memasangkan sabuk pengaman. "Kenapa nggak nyuruh aku masang sendiri aja, sih?"
"Jangan tanya sama aku! Kenapa kamu nggak nyaut saat aku panggil tadi?" balas Erlangga.
Pria itu menyunggingkan senyuman miringnya. Setidaknya, dia berhasil membuat Olivia gemetar.
"Tunggu, kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah aku, Er!" Olivia panik, dia sadar kalau jalanan yang sedang Erlangga tuju bukan jalan biasa yang dia lewati. "Puter balik sekarang!"
Pria itu menoleh dan tersenyum. "Kita mau main dulu. Kalau kamu bilang mahasiswa di kampus nggak level, mungkin temen-temen aku yang lain bisa selevel dengan kamu!"
"Nggak, aku nggak mau pergi sama kamu! Puter balik sekarang juga atau kamu keluar dari mobil aku!" bantah Olivia.
Pria itu melaju dengan sangat kencang, lalu menginjak pedal rem seketika sampai wajah perempuan di sampingnya hampir terantuk dashboard. Erlangga menoleh, dan menatap Olivia dengan tajam.
Pria itu menarik tubuh Olivia agar mendekat dengannya. Tangan Erlangga memegang tengkuk kepala Olivia agar dahi mereka bersentuhan.
"Inget apa yang aku bilang sebelumnya?" Erlangga berbicara dengan nada rendah, dia sedang mode serius sekarang.
"Kamu ... aku nggak boleh membantah," jawab Olivia dengan volume suara yang kecil.
"Good girl! Jangan bantah ucapan aku! Kamu harus nurut sama semua perintah aku mulai dari sekarang! Paham apa yang aku katakan?"
Olivia menganggukkan kepalanya. Dia seolah terhipnotis dengan perkataan Erlangga, seolah dirinya mengikuti naluri kalau dia memang seharusnya patuh pada Erlangga.
"Sekarang kita akan ke rumah temen aku, dan kamu harus ikut serta tunduk sama perintah aku! Paham?" kata Erlangga.
"Paham, Lang ...."
Olivia tetap membungkam mulutnya sepanjang perjalanan. Perempuan itu masih terbayang wajah Erlangga yang tepat di depannya. Jangankan tatapan tajamnya, deru napas Erlangga pun masih dia ingat. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, mereka tiba di depan bengkel Olivia pikir mereka akan datang ke kafe atau restoran. Ternyata hanya ke sebuah bengkel yang kumuh. Perempuan itu mendengkus dan memutar bola matanya. Erlangga menatap sekilas wajah Olivia lalu melepas sabuknya. Wajah yang tadi sangar sudah memancarkan senyuman. "Ayo turun!" titah Erlangga. Perempuan yang sudah mengganti kardigannya dengan jaket tebal berwarna hitam tidak bergerak. Dia memainkan ponsel dan mengabaikan perintah Erlangga. "Olivia!" Kata Erlangga dengan nada rendah. "Aku nggak mau ke dalam sana! Itu tempat kumuh. Kamu kenapa bawa aku ke tempat ini, sih? Seharusnya aku udah di rumah," bantahnya sambil menatap Erlangga dengan nyalang. Raut wajah
Setelah hampir tiga jam berada di dalam mobil, akhirnya mereka sampai juga di depan unit apartemen milik Erlangga. Kesadaran Olivia mulai menipis yang mulai menipis tidak mampu membuat perempuan itu sepenuhnya sadar dengan keadaan. Matanya yang berusaha tegar walau kelopaknya sudah tidak kuasa untuk terbuka membuat wajah Olivia berkali-kali terantuk kepala Erlangga. Erlangga membawa Olivia di punggungnya. Pria itu sudah menunggu Olivia bangun dari tadi, tetapi lima belas menit berada di parkiran membuatnya sadar kalau Olivia sudah benar-benar terlelap. Erlangga menempelkan sebuah kartu pada mesin di depan pintu. Warna hijau yang memindai kartu berhenti, pintu besi itu terbuka. Erlangga memasuki apartemennya dengan langkah perlahan. Dia takut membangunkan perempuan yang berada di punggungnya. “Ini apartemen kamu?” gumam Olivia. Artikulasi suaranya mulai tidak jelas karena berbicara dengan keadaan setengah sadar.Pria yang ditanya tidak menjawa
Setelah mengantarkan Olivia ke dalam kelas, Erlangga tidak langsung pergi ke kelasnya. Pria itu justru keluar dari kampus menuju sebuah gedung mewah di daerah Jakarta Pusat. Dengan penampilannya yang hanya menggunakan kaus putih polos dan kemeja flanel serta celana levis, membuat orang yang melihatnya merasa aneh. “Siapa pria itu? Apakah dia tidak tahu kalau gedung ini hanya didatangi oleh pria berdasi?” Mungkin itu yang dipikirkan oleh mereka. Erlangga sadar kalau dirinya ditatap aneh oleh orang di sekitar, tetapi dia tidak mempedulikannya. Pria itu justru terus melangkah menuju lantai 18 dan memasuki salah satu ruangan. Sebuah kejutan untuknya, dia hanya bertemu Idris dan Yoseph. Pria itu mendecih setelah menutup pintu. "Kamu menyuruhku untuk buru-buru, tetapi sekarang baru kalian berdua di sini. Ke mana uang lainnya?" Lampu ruangan seketika meredup, bergantikan cahaya biru remang-remang. Jendela tak bergorden pun langsung tertutup oleh tralis besi
“Ke mana Erlangga, sih? Nyusahin aja jadi orang!” Sudah hampir jam dua siang, tetapi batang hidung Erlangga belum tampak juga. Olivia sudah geram dengan pria itu. Dia ingin sekali menjambak rambut Erlangga kalau bertemu nanti. Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kantin. “Kelamaan nungguin dia. Nanti malah nggak ikut kelas.” Dalam hati dia mengutuk pria bernama Erlangga, seandainya dia dateng, akan aku hantam wajahnya dengan tas. Padahal, sepertinya nyali Olivia belum cukup untuk melakukan itu. Ditatap dari jarak dekat saja sudah gerogi, apalagi melakukan hal yang tidak-tidak. “Eheeem!” Olivia menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ternyata Erlangga, dia sedang mengikuti Olivia dari belakang. “Apa yang aku bilang tadi saat di kantin?” tanya Erlangga dengan tatapan mata yang menajam. Olivia menjawab setelah memutar bola matanya. “Terus aku harus nungguin kamu sampai kapan? Dua menit lagi udah masuk kelas
“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.” Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah. “Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia. Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga. “Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir. “Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel. Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.” “Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” O
Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar. “Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia. “Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang. “Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia. “Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya. “Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot. “Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu bu
“Kenapa diem aja?” tanya Erlangga. Mereka berdua sudah tiba di depan sebuah gedung tinggi daerah Kasablanka. Erlangga sengaja mengajak Olivia ke pertemuan kelompoknya. “Kamu masih marah sama aku?” Erlangga kembali bertanya. Dia melepas kaitan sabuk pengaman dan menghadap Olivia. “Nggak ada yang harus dimarahi. Ngapain kita ke sini?” Olivia akhirnya membuka suara, setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dia terdiam. “Saya mau ketemu temen-temen aku. Kamu nggak apa-apa ikut aku, kan?” tanya Erlangga. Embusan kasar napas Olivia mengartikan dia tidak senang. Perempuan itu seolah kehilangan mood untuk tersenyum setelah perbuatan yang Erlangga lakukan. “Hei! Kenapa nggak mau natap aku, sih?” Erlangga membuat wajah Olivia menatapnya. “Kamu masih marah masalah tadi?” “Kamu pikir a kumasih marah atau nggak? Kalau kamu punya pikiran, seharusnya kamu tahu,” sahut Olivia. Erlangga sadar kesalahannya. Dia tidak seharusn
“Ayo, Liv! Kita pergi dari sini!” Erlangga telah keluar dari ruangan tempat mereka berkumpul. Wajahnya yang ditekuk menyadarkan Yoseph bahwa pria itu sedang dalam keadaan tidak senang. “Apa yang terjadi di dalam sana? Kalian tidak saling bunuh, kan?” tanya Yoseph yang disambut dengan pekikan kejut Olivia. Jelas saja, perempuan itu terkejut karena Yoseph mengatakan kata bunuh dengan santai. Seolah bunuh adalah hal yang mudah dilakukan. Padahal, bagi Olivia kata itu bagaikan kata yang menyeramkan. “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya aman terkendali,” kata Erlangga dengan tenang. Dia menoleh ke arah Olivia dan tersenyum. “Kita pergi sekarang!” Erlangga langsung menggandeng tangan Olivia untuk segera pergi dari sana. Dia tidak mau lagi membawa Olivia ke dalam lingkungan Renoza. Dia mau Olivia tetap aman. “Kalian ngapain aja di dalam sana?” tanya Olivia di tengah perjalanan. Erlangga terus menatap lurus jalanan di depan ta
Di hadapannya, ada seorang pria yang sedang tidak sadarkan diri. Tangan kanannya diinfus sedangkan punggungnya diperban. Luka tusuk yang pria itu dapatkan tidak terlalu dalam, tetapi berhasil menghabiskan banyak darahnya.Erlangga terus bertahan untuk sadar dan menemani Olivia di perjalanan. Hingga akhirnya dia tidak kuat menahan kesadarannya sampai akhirnya dia tidak sadarkan diri. Justru itu yang membuat Olivia semakin ketakutan.Sekarang, Olivia sudah merasa lebih tenang. Pria yang dia khawatirkan masih belum sadar. Sejak tiga jam lalu, Erlangga masih memejamkan matanya seolah tidak ada yang menunggunya untuk bangun."Ada yang perlu kita bicarakan." Ruhn mem
“Semakin menyenangkan saja pertunjukan drama kali ini. Jadi kamu tidak akan menikah dengan Erlangga setelah ini, Liv? Kasihan sekali dirimu. Kamu sudah hamil, tetapi pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab,” ucap Jakob sambil tersenyum lebar. Dia melirik ke arah Firman dan berkata, “Apa yang akan Anda lakukan pada Erlangga, Pak Tua?”Firman sudah tidak mau berkata apa-apa. Dia sudah muak dengan Jakob dan hal yang sedang dia rasakan. Namun, dia tidak bisa lepas begitu saja. Dia tidak bisa melepaskan dirinya dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Firman merasa sangat tidak berguna sekarang.“Anda benar-benar pria paling berengsek yang pernah saya temui, Erlangga. Saya tidak sangka kalau Anda berani merusak putri saya dan ingin pergi begitu saja. Ternyata memang benar ucapan saya tadi kalau Anda adalah mafia yang licik,” jawab Firman.“Ya, dia memang licik, Pak Tua. Dia bahkan lebih licik dari pada saya. Beruntung se
“Dia adalah Renoza yang sebenarnya. Dia adalah pria yang sengaja saya jadikan kambing hitam setidaknya sampai saya tiba di rumah Anda, Pak Tua.” Jakob tertawa cekikikan.Kalau tahu yang sebenarnya, tidak mungkin Firman akan menahan Erlangga tadi. Dia mungkin akan menuruti semua perintah Erlangga demi keselamatan dirinya dan keluarga. Sayangnya, Jakob begitu memengaruhi pikiran Firman hingga dia terperdaya.“Sepertinya Anda juga tidak tahu apa yang membuat putri Anda datang ke Paris, ya? Tidak masalah, saya akan menjelaskannya pada Anda juga,” kata Jakob.Firman terus menatap wajah Jakob yang dekat padanya. Yang ditatap tidak berhentinya tertawa jahat. “Dia datang untuk meminta pertanggungjawaban dari calon suaminya, Pak Tua.”“Cukup, Jakob! Semua itu hak saya untuk mengatakannya pada keluarga! Bukan hak Anda sebagai orang asing yang jahat dan licik!” pekik Olivia dengan suara yang tinggi.Tria mulai m
Kehadiran Jakob dan para pengikutnya ke dalam rumah Firman Mahardika membuat semua keadaan berubah. Firman, pria tua yang seharusnya menjadi tuan di rumah itu karena seharusnya dilindungi, sekarang justru menjadi tahanan Jakob. Tidak hanya Firman Mahardika yang dia tahan, istri dan anaknya juga ikut ditahan secara paksa.Erlangga sudah tidak terkejut dengan semua yang terjadi saat ini padanya dan juga pada keluarga Mahardika. Dia sudah memperkirakannya sejak tadi ditahan oleh Firman. Pria yang sedang menikmati pertunjukan drama di depannya itu sudah tahu kalau ada orang yang menuduh dirinya dan menjebaknya sekarang.Sudah terbukti yang ada di dalam benaknya. Pasti ada anggota mafia Ryuzen yang menghasut Firman. “Jangan salahkan saya yang nggak memberikan peringatan. Saya terus bertanya, tetapi Anda memilih untuk ingin membunuh saya.”“Diam kamu! Siapa kamu sebenarnya?” Firman yang sudah kehabisan kesabaran terus menarik uratnya ketika ber
Seluruh manusia yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Seorang Erlangga dengan tenang menghadapi Firman. Dia tanpa rasa takutnya membalas ucapan Firman Mahardika saat banyak penjaganya sedang berada di ruangan yang sama pula. Erlangga dengan sangat berani dia menyunggingkan senyum miringnya.Olivia bahkan sampai menutup mulut. Dia yang sangat terkejut. “Apa maksudnya semua ini, Yah?”Firman menoleh ke belakang dan menatap putri semata wayangnya. Tatapan mata Olivia yang semakin sendu membuat pria tua itu tidak tega. Awalnya Firman ingin marah pada anaknya lantaran ceroboh dengan pria yang bisa mencelakainya. Namun, Firman urungka karena tidak tega.“Dia ini seorang mafia yang sangat licik, Liv. Dia adalah seorang yang bisa membunuh bahkan hanya dengan tangan kosong. Dia bisa saja membunuh semua orang yang ada di sini hanya untuk kemenangannya seorang. Orang yang sudah kamu dekati selama ini hanya menginginkan harta Ayah, bukan ketulusan men
"Kita nggak perlu ke rumah aku, Er. Aku hanya harus telepon Ayah aja. Nanti dia yang akan nyuruh anak buahnya untuk berhenti ganggu kita. Nanti kita akan ke rumah aku kalau keadaannya sudah aman semuanya. Baru kita rencanain bagaimanacame outkalau kita akan menikah karena tragedi ini," jelas Olivia yang mulai murung. Erlangga tidak habis pikir dengan jalan pikir Olivia. Perempuan itu menyangka kalau semua yang terjadi adalah ulah anak buah ayahnya. Pria itu mendengkus dan menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Apa yang kamu maksud anak buah ayah kamu? Apa kamu nggak sadar kalau itu semua bukan anak buah ayah kamu? Mereka semua ingin nyelakain kamu. bagaimana bisa mereka jadi anak buah ayah kamu?" Olivia tersenyum meremehkan dan membuka layar ponselnya. Dia menunjukkan isi pesan singkat yang sudah diterima dari ayahnya kepada Erlangga. Ayah: Kamu harus jaga diri! Kalau tidak aman, segera kembali ke ru
Mobil berhenti di parkiran apartemen Erlangga. Olivia yang senang karena akhirnya dapat bertemu dengan Erlangga pun tidak kuasa menahan senyumnya. Dia terus saja tersenyum sepanjang perjalanan. Mereka pun berjalan menuju unit apartemen milik Erlangga. Tangan mereka bertaut seolah tidak mau melepas satu sama lain. Siapa yang berani memisahian mereka berdua? Erlangga akan maju menghadapinya. Dia sudah siap dengan keahlian bela dirinya untuk menghajar orang yang mengganggu hidupnya.
Setelah perdebatan alot dengan ayahnya, Olivia akhirnya memutuskan panggilan itu. Dia tidak mau berbicara dengan ayahnya untuk beberapa saat ini. Dia masih sulit untuk percaya kalau ayahnya sendiri yang merencakan penyerangan itu.“Aku nggak nyangka kalau Ayah setega ini. Orang yang Oliv sayang bisa terluka gara-gara kekejaman Ayah. Apa Ayah nggak seneng lihat Oliv bahagia? Apa bahagia di mata Ayah?” gerutu Olivia di ruang tunggu.Dia sejak tadi sudah murung. Erlangga sudah terluka dan itu akibat ulah ayahnya. Sampai sekarang Olivia masih bingung dengan motif yang ayahnya berikan. Bagaimana bisa dia memerintahkan orang untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya bahkan sampai ke Paris?“Apa yang sebenarnya Ayah lakukan? Mengapa Ayah begitu terlihat tidak menyukai Erlangga?”Hampir satu jam Erlangga di dalam ruangan sana tanpa ada kabar dari perawat atau dokter. Olivia takut kalau Erlangga kehabisan darah. Dia melihat sendiri kalau
Seketika tubuh Erlangga membeku ketika letupan pistol itu memekakkan telinga mereka berdua. Olivia yang duduk di depannya juga membelakkan matanya. Pria itu melirik ke arah lengan kanannya yang sudah mengeluarkan darah dari sana.Olivia yang tidak tega ingin sekali melindungi Erlangga. Perempuan itu pun menarik tubuh Erlangga agar ikut bersembunyi di balik tembok bersamanya. Bagian lengan yang tadi mengeluarkan darah sudah ditahan oleh telapak tangan Erlangga. Namun, tetap saja masih mengeluarkan darah.“Kreeet!” Olivia merobek pakaiannya untuk digunakan membebat tangan Erlangga. Dia ikat luka itu dengan niat agar darahnya berhenti mengalir. Setelah selesai, Olivia mengeratkan pegangan tangannya dengan Erlangga.“Aku nggak kenapa-kenapa. Ayo kita pergi dari sini,” kata Erlangga.Saat itu juga Olivia menggelengkan kepalanya dengan wajah yang penuh keyakinan. Dia berniat melindungi Erlangga dengan cara yang dia pikirkan sendiri.