“Ke mana Erlangga, sih? Nyusahin aja jadi orang!”
Sudah hampir jam dua siang, tetapi batang hidung Erlangga belum tampak juga. Olivia sudah geram dengan pria itu. Dia ingin sekali menjambak rambut Erlangga kalau bertemu nanti.
Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kantin. “Kelamaan nungguin dia. Nanti malah nggak ikut kelas.”
Dalam hati dia mengutuk pria bernama Erlangga, seandainya dia dateng, akan aku hantam wajahnya dengan tas. Padahal, sepertinya nyali Olivia belum cukup untuk melakukan itu. Ditatap dari jarak dekat saja sudah gerogi, apalagi melakukan hal yang tidak-tidak.
“Eheeem!”
Olivia menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ternyata Erlangga, dia sedang mengikuti Olivia dari belakang.
“Apa yang aku bilang tadi saat di kantin?” tanya Erlangga dengan tatapan mata yang menajam.
Olivia menjawab setelah memutar bola matanya. “Terus aku harus nungguin kamu sampai kapan? Dua menit lagi udah masuk kelas, aku bisa telat. Nanti aja debatnya, deh.”
Baru satu langkah Olivia berjalan, Erlangga menahan lengan Olivia dengan kencang. Dia menarik perempuan itu hingga kedua tubuh mereka berdekatan. “Kamu mau kabur gitu aja setelah ngelawan omongan aku?”
“Emangnya kamu siapa aku?” Olivia melepaskan tubuhnya dengan paksa lalu kembali berkata, “Nggak usah sok jadi orang yang punya hak atas hidup aku, Er! Aku bukan siapa-siapa kamu, ngerti?”
Seringai di wajah Erlangga semakin terlihat jelas. “Suatu saat aku akan jadi siapa-siapanya kamu, Liv!”
“Suatu saat, kan? Bukan hari ini, kan? Mending kamu bangun dari tidur terus cuci muka dan gosok gigi. Nyokap kamu mungkin udah siapin sarapan, kamu sarapan, deh. Jangan mimpi terus!” sanggah Olivia dengan congkaknya.
Jawaban Olivia semakin membuat Erlangga gemas. Kamu sangat lucu, Olivia, batin Erlangga berkata begitu.
“Temenin aku sarapan setiap hari kalau begitu, ya? Saya nggak bisa sarapan tanpa cewek lucu seperti kamu.” Erlangga menjawabnya dengan santai.
Olivia tergelak mendengarnya. “Kamu nggak usah mimpi mau sarapan sama aku, dong! Jangan halu terus, Lang! Aku mau kelas, jangan halangi jalan aku!”
Tentu saja Olivia tidak bisa pergi begitu saja. Erlangga langsung mencegat jalan Olivia. “Kamu mau ke mana?”
“Kamu masih punya kuping, kan? Aku mau kuliah sekarang,” jawab Olivia.
Erlangga tersenyum menjawabnya. Namun, senyumnya seketika luntur kala melihat seorang pria tua berambut keputihan di belakang Olivia. Pria itu bernama Darma, dosen ilmu perundang-undangan sekaligus dosen pembimbing akademik Olivia.
“Terusin aja nggak apa-apa. Anggap aja saya nggak ada di sini,” katanya.
Olivia langsung membalikkan badannya. Dia tersenyum kikuk karena kepergok oleh dosen. “Bapak ....”
“Jadi ini cem-cem-an baru kamu, Liv?” kata Pak Darma.
Olivia langsung terbelalak. “Erlangga? Dia pengganggu doang, Pak. Bukan pacar saya,” sahut Olivia.
Sementara Erlangga justru tersenyum senang. “Belum pacar, Pak. Mungkin akan jadi pacar,” kata Erlangga sambil merangkul bahu Olivia.
Pengakuan Erlangga langsung dibalas dengan pijakan kaki Olivia di atas sepatunya. “Apa-apaan, sih? Kamu udah gila, ya?” Olivia berbisik.
“Itu udah mesra banget. Mau kapan resminya?” tanya Pak Darma.
“Doain aja yang terbaik, Pak!”
“Er, kamu apa-apaan, sih? Pak, jangan dengerin kata Erlangga! Dia habis makan kecubung tadi siang. Jadi sedikit nggak beres otaknya,” kata Olivia.
Darma langsung tergelak mendengar jawaban Olivia. Dia sampai memukul-mukul tembok di sampingnya.
“Terserah kamu, Liv. Saya mau masuk kelas. Kamu mau masuk kelas atau mau pacaran?” Darma meninggalkan Olivia dan Erlangga di tempatnya.
“Saya nggak pacaran, iih!” protes Olivia sambil bergaya ingin memukul kepala dosennya.
Erlangga mencoba menenangkan emosi Olivia. “Ya udah nggak pacaran, tapi menuju pacaran aja gimana?”
Olivia semakin kesal. Dia melepaskan lengan Erlangg di bahunya. “Kamu juga kenapa kegatelan banget, sih?”
Erlangga kegatelan? Pria itu langsung tertawa mendengarnya. “Bukannya kamu seneng sama perlakuanku tadi? Buktinya malah keringetan begitu.”
“Jurnal mana yang mengatakan kalau orang keringetan itu lagi seneng? Keringetan itu karena capek. Aku lagi capek sama sikap kamu!” kata Olivia.
“Berarti nggak capek sama perasaan kamu ke aku, kan?”
Oke, Olivia sudah lelah berdebat dengan Erlangga. Tidak ada habisnya. Tanpa menunggu lagi, dia berjalan melewati Erlangga.
“Cewek Galak! Nanti pulangnya sama aku!” pekik Erlangga.
Olivia tidak menjawab. Dia terus berjalan seolah tidak ada yang mengajaknya berbicara.
“Nanti aku tunggu di parkiran, ya!”
***
“Mungkin itu saja kuliah kita hari ini. Terima kasih sudah hadir di kelas saya hari ini. Kita jumpa lagi minggu depan,” kata Darma.
Seisi kelas menjawabnya dengan serempak. Semuanya menjawab, kecuali Olivia. Perempuan itu sedang menatap jendela tanpa berkedip.
“Olivia!”
Panggilan pertama tidak dijawab oleh Olivia. Di tidak mendengarnya.
“Olivia!”
Panggilan kedua masih belum dijawab juga. Kali ini dia mendengar, tetapi samar.
“Oliv!” Pekikan Darma sukses membuat perempuan itu terlonjak. “Kamu masih mikirin cowok yang tadi?”
Teriakkan dari mahasiswa di ruangan membuat Olivia malu. Baru kali ini dia di-bully karena masalah pria. “Saya nggak mikirin Erlangga, Pak!”
“Lho memangnya saya bilang Erlangga? Bisa aja cowok yang lain, kan? Berarti kamu emang mikirin dia, ya?” kata Darma yang disambut dengan gelak tawa mahasiswa lain.
Setelah itu, Darma langsung pergi meninggalkan kelas yang ramai. “Jangan pada berisik kalian! Ganggu aja!” kata Olivia.
“Jadi, kamu sama Erlangga makin deket, nih?” kata pria bernama Putra.
“Kenapa emangnya? Kamu cemburu kalau aku dideketin sama dia?” Olivia menjawab dengan menantang Putra.
“Aku, sih, ogah banget ngedeketin kamu. Lebih baik aku deketan sama manusia serigala, deh.”
Jawaban yang membuat seluruh mahasiswa ruangan itu tertawa. Olivia tidak terima, dia akhirnya menggebrak buku yang dipegang ke atas meja.
Si Putra itu justru menantang Olivia. Dia berjalan ke arah Olivia dengan tatapan yang menurut perempuan itu tidak sopan. Tatapan menggoda mirip seperti pria hidung belang.
Sebelum pria itu lebih dekat, Erlangga langsung masuk dan menghalangi Putra. Erlangga juga langsung menggenggam tangan Olivia dengan erat.
Putra terkejut. Dia ingin berbalik, tetapi dia takut dikira pengecut oleh Erlangga. Dia memasang tubuh seolah berani dengan Erlangga.
“Kamu mau deketin cewek saya?” tanya Erlangga dengan nada yang rendah.
Suasana ruang kelas yang tadinya ramai menjadi sunyi. Aura Erlangga yang posesif begitu mendominasi hingga tidak yang berani menyangkalnya.
“Jangan pernah cari gara-gara sama saya atau Olivia!” ancam Erlangga yang dibalas anggukan kepala Putra.
“Ada yang mau deketin Olivia?” tanya Erlangga sekali lagi, tetap tidak ada jawaban. “Bagus. Jangan sampai ada perkelahian di antara kita semua hanya karena kalian merebut cewek saya!”
Mereka berdua berjalan keluar dari kelas. Siapa yang menyangka kalau Erlangga akan datang menjemput Olivia, bahkan perempuannya juga tidak menyangka. Pasalnya, Erlangga tadi bilang akan menunggu di parkiran.
“Bukannya tadi kamu bilang mau nunggu di parkiran?” tanya Olivia di tengah lorong sepi.
Senyum Erlangga menyadarkan Olivia kalau pria di sampingnya sedang bahagia. Padahal, sesaat sebelum itu Erlangga berhasil membuat satu kelas ketakutan.
Kamu cowok teraneh yang pernah aku temui, Er. Sayangnya, aku belum mengerti apa yang kamu inginkan. Apa kamu benar-benar peduli padaku? Apa ada motif lainnya?
Sesampainya di parkiran, Erlangga langsung membukakan pintu untuk Olivia. Hal yang membuat Olivia bingung. Mengapa dia kemarin bersikap jahat kalau bisa bersikap baik seperti ini?
“Hari ini kita mau ke mana, Liv?”
“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.” Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah. “Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia. Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga. “Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir. “Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel. Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.” “Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” O
Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar. “Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia. “Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang. “Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia. “Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya. “Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot. “Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu bu
“Kenapa diem aja?” tanya Erlangga. Mereka berdua sudah tiba di depan sebuah gedung tinggi daerah Kasablanka. Erlangga sengaja mengajak Olivia ke pertemuan kelompoknya. “Kamu masih marah sama aku?” Erlangga kembali bertanya. Dia melepas kaitan sabuk pengaman dan menghadap Olivia. “Nggak ada yang harus dimarahi. Ngapain kita ke sini?” Olivia akhirnya membuka suara, setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dia terdiam. “Saya mau ketemu temen-temen aku. Kamu nggak apa-apa ikut aku, kan?” tanya Erlangga. Embusan kasar napas Olivia mengartikan dia tidak senang. Perempuan itu seolah kehilangan mood untuk tersenyum setelah perbuatan yang Erlangga lakukan. “Hei! Kenapa nggak mau natap aku, sih?” Erlangga membuat wajah Olivia menatapnya. “Kamu masih marah masalah tadi?” “Kamu pikir a kumasih marah atau nggak? Kalau kamu punya pikiran, seharusnya kamu tahu,” sahut Olivia. Erlangga sadar kesalahannya. Dia tidak seharusn
“Ayo, Liv! Kita pergi dari sini!” Erlangga telah keluar dari ruangan tempat mereka berkumpul. Wajahnya yang ditekuk menyadarkan Yoseph bahwa pria itu sedang dalam keadaan tidak senang. “Apa yang terjadi di dalam sana? Kalian tidak saling bunuh, kan?” tanya Yoseph yang disambut dengan pekikan kejut Olivia. Jelas saja, perempuan itu terkejut karena Yoseph mengatakan kata bunuh dengan santai. Seolah bunuh adalah hal yang mudah dilakukan. Padahal, bagi Olivia kata itu bagaikan kata yang menyeramkan. “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya aman terkendali,” kata Erlangga dengan tenang. Dia menoleh ke arah Olivia dan tersenyum. “Kita pergi sekarang!” Erlangga langsung menggandeng tangan Olivia untuk segera pergi dari sana. Dia tidak mau lagi membawa Olivia ke dalam lingkungan Renoza. Dia mau Olivia tetap aman. “Kalian ngapain aja di dalam sana?” tanya Olivia di tengah perjalanan. Erlangga terus menatap lurus jalanan di depan ta
“Er, aku nggak mau tidur di kamar sebelah. Aku lebih suka pemandangan di kamar ini,” kata Olivia. Mereka masih saja bertengkar meributkan masalah kamar. Yang satu tidak mau pindah lantaran memang ini kamarnya, yang satu lagi tidak mau pindah lantaran suka dengan pemandangan di jendela. “Aku tidur di sini. Kalau kamu mau tidur di sini nggak masalah, kita bisa berbagi kasur. Emangnya kamu yakin kita hanya tidur kalau berduaan?” goda Erlangga. “Dasar cowok mesum! Kamu ini mikirnya ngeres aja, sih. Mending saya tidur di sofa dari pada harus tidur sama kamu!” bantah Olivia dengan suara yang meninggi. Yang diajak berbicara justru tertawa terbahak-bahak. Dia memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Hanya saja Olivia tidak mengetahui itu. “Kenapa kamu tidak mau? Bukannya kamu sudah jadi istriku secara tidak langsung? Aku sudah bilang, kalau kamu tidur di sini, itu artinya kamu menjadi istriku secara tidak langsung.” “Teori dari mana yan
Sejak kejadian tadi pagi, Olivia tidak menjawab setiap pertanyaan maupun teguran Erlangga. Dia merasa Erlangga tidak sopan karena sudah mencuri first kiss-nya. Olivia terus menjaga first kiss-nya hanya untuk pacar atau suaminya nanti. Namun, Erlangga dengan mudah mengambilnya begitu saja. “Kamu sudah rapi aja, mau ke mana?” tanya Erlangga yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Olivia mengabaikan pertanyaan yang Erlangga berikan. Dia terus memantaskan dirinya untuk pergi ke kampus. Entah apa yang sedang aku rasakan. Aku merasa marah karena first kiss-ku yang diambil oleh Er, tetapi di sisi lain aku merasakan tadi adalah hal yang luar biasa. Merasa pertanyaannya diabaikan, Erlangga langsung masuk ke kamar Olivia dan membanting pintu dari dalam. BLAM! Bantingan pintu membuat Olivia terkejut bukan main sehingga dia sampai terdiam di depan cermin besar. Dia menatap pantulan Erlangga yang sedang m
“Orang-orang pada ngeliatin kita, Er. Ada apa, sih?” tanya Olivia saat sampai di area fakultas hukum. Erlangga yang tidak peduli terus saja merangkul Olivia dari samping sambil berjalan menyusuri lorong gedung. Sementara Olivia mulai risih karena menjadi pusat perhatian. Dia memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi belum pernah dia menjadi pusat perhatian bersama Erlangga. “Aku ada kelas jam sepuluh, Er. Kita mau ke mana dulu sekarang?” tanya Olivia. Erlangga membawa perempuan itu ke arah gazebo belakang gedung fakultas. Tempat pria itu berkumpul bersama dua temannya, Lana dan Varo. “Ikut aku aja! Nanti kalau udah mendekati jam sepuluh, baru kamu ke kelas.” Olivia tidak menyahuti ucapan itu. Dia masih bertanya-tanya, ada apa dengan pria di sampingnya? Tadi bisa bersikap jahat bahkan sampai membuatnya ketakutan di dalam kamar. Sekarang Erlangga justru bersikap lembut dan manis. “Kirain hari ini mau bolos lagi, Er!” seru Varo yang s
Sejak kepergian Olivia untuk masuk ke kelas, Erlangga sengaja menunggu perempuannya di kelasnya juga. Dia tidak niat untuk belajar, hanya memerhatikan dosen yang berbicara di depan tanpa berniat untuk mencatat. Bahkan Varo sudah heran melihatnya. Erlangga terus saja bengong menatap papan tulis, bukan dosen. “Er, nanti kamu dihukum baru tau rasa!” ucap Lana yang duduk di samping kirinya. Erlangga mengabaikan ucapan Lana. Dia senang karena pagi ini dia sudah mendapatkan dua ciuman dari perempuan yang menjadi target penjagaannya. Apa lagi yang akan dia dapatkan nanti? Erlangga senang karena tugasnya kali ini menyenangkan. “Biarin aja kalau dihukum. Aku nggak mau bantuin pokoknya,” sahut Varo tanpa mengalihkan pandangan dari dosen yang menjelaskan di depan. Erlangga memang pakarnya keberuntungan. Selama perkuliahan berlangsung, dia tidak melakukan apa-apa selain menatap luar kelas dan papan tulis yang kosong. Selebihnya dia hanya memainkan bolpoin di tang
Di hadapannya, ada seorang pria yang sedang tidak sadarkan diri. Tangan kanannya diinfus sedangkan punggungnya diperban. Luka tusuk yang pria itu dapatkan tidak terlalu dalam, tetapi berhasil menghabiskan banyak darahnya.Erlangga terus bertahan untuk sadar dan menemani Olivia di perjalanan. Hingga akhirnya dia tidak kuat menahan kesadarannya sampai akhirnya dia tidak sadarkan diri. Justru itu yang membuat Olivia semakin ketakutan.Sekarang, Olivia sudah merasa lebih tenang. Pria yang dia khawatirkan masih belum sadar. Sejak tiga jam lalu, Erlangga masih memejamkan matanya seolah tidak ada yang menunggunya untuk bangun."Ada yang perlu kita bicarakan." Ruhn mem
“Semakin menyenangkan saja pertunjukan drama kali ini. Jadi kamu tidak akan menikah dengan Erlangga setelah ini, Liv? Kasihan sekali dirimu. Kamu sudah hamil, tetapi pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab,” ucap Jakob sambil tersenyum lebar. Dia melirik ke arah Firman dan berkata, “Apa yang akan Anda lakukan pada Erlangga, Pak Tua?”Firman sudah tidak mau berkata apa-apa. Dia sudah muak dengan Jakob dan hal yang sedang dia rasakan. Namun, dia tidak bisa lepas begitu saja. Dia tidak bisa melepaskan dirinya dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Firman merasa sangat tidak berguna sekarang.“Anda benar-benar pria paling berengsek yang pernah saya temui, Erlangga. Saya tidak sangka kalau Anda berani merusak putri saya dan ingin pergi begitu saja. Ternyata memang benar ucapan saya tadi kalau Anda adalah mafia yang licik,” jawab Firman.“Ya, dia memang licik, Pak Tua. Dia bahkan lebih licik dari pada saya. Beruntung se
“Dia adalah Renoza yang sebenarnya. Dia adalah pria yang sengaja saya jadikan kambing hitam setidaknya sampai saya tiba di rumah Anda, Pak Tua.” Jakob tertawa cekikikan.Kalau tahu yang sebenarnya, tidak mungkin Firman akan menahan Erlangga tadi. Dia mungkin akan menuruti semua perintah Erlangga demi keselamatan dirinya dan keluarga. Sayangnya, Jakob begitu memengaruhi pikiran Firman hingga dia terperdaya.“Sepertinya Anda juga tidak tahu apa yang membuat putri Anda datang ke Paris, ya? Tidak masalah, saya akan menjelaskannya pada Anda juga,” kata Jakob.Firman terus menatap wajah Jakob yang dekat padanya. Yang ditatap tidak berhentinya tertawa jahat. “Dia datang untuk meminta pertanggungjawaban dari calon suaminya, Pak Tua.”“Cukup, Jakob! Semua itu hak saya untuk mengatakannya pada keluarga! Bukan hak Anda sebagai orang asing yang jahat dan licik!” pekik Olivia dengan suara yang tinggi.Tria mulai m
Kehadiran Jakob dan para pengikutnya ke dalam rumah Firman Mahardika membuat semua keadaan berubah. Firman, pria tua yang seharusnya menjadi tuan di rumah itu karena seharusnya dilindungi, sekarang justru menjadi tahanan Jakob. Tidak hanya Firman Mahardika yang dia tahan, istri dan anaknya juga ikut ditahan secara paksa.Erlangga sudah tidak terkejut dengan semua yang terjadi saat ini padanya dan juga pada keluarga Mahardika. Dia sudah memperkirakannya sejak tadi ditahan oleh Firman. Pria yang sedang menikmati pertunjukan drama di depannya itu sudah tahu kalau ada orang yang menuduh dirinya dan menjebaknya sekarang.Sudah terbukti yang ada di dalam benaknya. Pasti ada anggota mafia Ryuzen yang menghasut Firman. “Jangan salahkan saya yang nggak memberikan peringatan. Saya terus bertanya, tetapi Anda memilih untuk ingin membunuh saya.”“Diam kamu! Siapa kamu sebenarnya?” Firman yang sudah kehabisan kesabaran terus menarik uratnya ketika ber
Seluruh manusia yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Seorang Erlangga dengan tenang menghadapi Firman. Dia tanpa rasa takutnya membalas ucapan Firman Mahardika saat banyak penjaganya sedang berada di ruangan yang sama pula. Erlangga dengan sangat berani dia menyunggingkan senyum miringnya.Olivia bahkan sampai menutup mulut. Dia yang sangat terkejut. “Apa maksudnya semua ini, Yah?”Firman menoleh ke belakang dan menatap putri semata wayangnya. Tatapan mata Olivia yang semakin sendu membuat pria tua itu tidak tega. Awalnya Firman ingin marah pada anaknya lantaran ceroboh dengan pria yang bisa mencelakainya. Namun, Firman urungka karena tidak tega.“Dia ini seorang mafia yang sangat licik, Liv. Dia adalah seorang yang bisa membunuh bahkan hanya dengan tangan kosong. Dia bisa saja membunuh semua orang yang ada di sini hanya untuk kemenangannya seorang. Orang yang sudah kamu dekati selama ini hanya menginginkan harta Ayah, bukan ketulusan men
"Kita nggak perlu ke rumah aku, Er. Aku hanya harus telepon Ayah aja. Nanti dia yang akan nyuruh anak buahnya untuk berhenti ganggu kita. Nanti kita akan ke rumah aku kalau keadaannya sudah aman semuanya. Baru kita rencanain bagaimanacame outkalau kita akan menikah karena tragedi ini," jelas Olivia yang mulai murung. Erlangga tidak habis pikir dengan jalan pikir Olivia. Perempuan itu menyangka kalau semua yang terjadi adalah ulah anak buah ayahnya. Pria itu mendengkus dan menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Apa yang kamu maksud anak buah ayah kamu? Apa kamu nggak sadar kalau itu semua bukan anak buah ayah kamu? Mereka semua ingin nyelakain kamu. bagaimana bisa mereka jadi anak buah ayah kamu?" Olivia tersenyum meremehkan dan membuka layar ponselnya. Dia menunjukkan isi pesan singkat yang sudah diterima dari ayahnya kepada Erlangga. Ayah: Kamu harus jaga diri! Kalau tidak aman, segera kembali ke ru
Mobil berhenti di parkiran apartemen Erlangga. Olivia yang senang karena akhirnya dapat bertemu dengan Erlangga pun tidak kuasa menahan senyumnya. Dia terus saja tersenyum sepanjang perjalanan. Mereka pun berjalan menuju unit apartemen milik Erlangga. Tangan mereka bertaut seolah tidak mau melepas satu sama lain. Siapa yang berani memisahian mereka berdua? Erlangga akan maju menghadapinya. Dia sudah siap dengan keahlian bela dirinya untuk menghajar orang yang mengganggu hidupnya.
Setelah perdebatan alot dengan ayahnya, Olivia akhirnya memutuskan panggilan itu. Dia tidak mau berbicara dengan ayahnya untuk beberapa saat ini. Dia masih sulit untuk percaya kalau ayahnya sendiri yang merencakan penyerangan itu.“Aku nggak nyangka kalau Ayah setega ini. Orang yang Oliv sayang bisa terluka gara-gara kekejaman Ayah. Apa Ayah nggak seneng lihat Oliv bahagia? Apa bahagia di mata Ayah?” gerutu Olivia di ruang tunggu.Dia sejak tadi sudah murung. Erlangga sudah terluka dan itu akibat ulah ayahnya. Sampai sekarang Olivia masih bingung dengan motif yang ayahnya berikan. Bagaimana bisa dia memerintahkan orang untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya bahkan sampai ke Paris?“Apa yang sebenarnya Ayah lakukan? Mengapa Ayah begitu terlihat tidak menyukai Erlangga?”Hampir satu jam Erlangga di dalam ruangan sana tanpa ada kabar dari perawat atau dokter. Olivia takut kalau Erlangga kehabisan darah. Dia melihat sendiri kalau
Seketika tubuh Erlangga membeku ketika letupan pistol itu memekakkan telinga mereka berdua. Olivia yang duduk di depannya juga membelakkan matanya. Pria itu melirik ke arah lengan kanannya yang sudah mengeluarkan darah dari sana.Olivia yang tidak tega ingin sekali melindungi Erlangga. Perempuan itu pun menarik tubuh Erlangga agar ikut bersembunyi di balik tembok bersamanya. Bagian lengan yang tadi mengeluarkan darah sudah ditahan oleh telapak tangan Erlangga. Namun, tetap saja masih mengeluarkan darah.“Kreeet!” Olivia merobek pakaiannya untuk digunakan membebat tangan Erlangga. Dia ikat luka itu dengan niat agar darahnya berhenti mengalir. Setelah selesai, Olivia mengeratkan pegangan tangannya dengan Erlangga.“Aku nggak kenapa-kenapa. Ayo kita pergi dari sini,” kata Erlangga.Saat itu juga Olivia menggelengkan kepalanya dengan wajah yang penuh keyakinan. Dia berniat melindungi Erlangga dengan cara yang dia pikirkan sendiri.