Happy Reading
***** Refara sempat melihat ekor mata Zayn meliriknya. Lalu, cepat-cepat perempuan itu menunduk supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui jika dia mengenal sosok pria yang baru datang tersebut. Zayn duduk di kursi kosong sebelah atasan Refara. Namun, suara Gandy, masnya Firhan terdengar menginterupsi. "Kamu tidak pantas duduk di sebelahnya. Tempat anak pelakor, selalu di urutan belakang. Pergi!" hardiknya disertai gerakan menyeret pergelangan Zayn. "Tutup mulutmu, Mas. Aku memiliki hak yang sama dengan kalian di perusahaan ini." Indera penglihatan Zayn mulai memerah. Wajahnya begitu menakutkan, tetapi Gandy tidak gentar sama sekali. "Hak yang sama bagaimana? Jelas-jelas keberadaanmu tidak dianggap di keluarga besar Rafiq," ejek lelaki yang memiliki postur tubuh lebih pendek dari Zayn. "Sudahlah, Mas, hanya masalah tempat duduk tidak perlu diributkan," ucap Firhan, menenangkan Gandy. "Hentikan perdebatan kalian. Sudah dewasa, masih saja bertengkar," sahut seorang lelaki yang rambutnya sudah berubah warna semua dari ambang pintu ruang meeting. "Kakek, kenapa bisa ke sini?" Firhan segera berdiri dan menghampiri lelaki sepuh itu. Terlihat sekali jika atasannya Refara begitu menyayanginya. "Jadi, lelaki tua ini adalah Pak Sailendra sang pendiri Warna Jaya?" tegas Refara pada dirinya sendiri. "Jika Kakek tidak segera datang, maka kalian pasti akan berkelahi. Ingat umur, kalian bertiga itu sudah bukan remaja lagi. Emosi harus terkontrol supaya tidak menimbulkan masalah. Kalian itu adalah pimpinan cabang usaha keluarga. Tidak pantas berdebat apalagi mengumbar aib seperti tadi." Lelaki sepuh yang ternyata adalah pendiri Warna Jaya tersebut duduk setelah Firhan menyeret kursi di bagian ujung dekat dengannya. "Maaf, Kek," ucap Zayn. Suaranya tegas dengan tatapan mata tajam seperti yang biasa dilihat Refara selama ini. "Jadi, dia bagian keluarga Rafiq? Kenapa aku tidak bisa mendapatkan akses informasi tentangnya saat menyelidiki seluruh keluarga pak Firhan? Aneh? Apa tujuannya memberiku tugas itu?" tanya Refara dalam hati. "Lupakan, jangan lagi diperpanjang masalah tadi. Duduklah di sebelah adikmu." Lelaki yang rambutnya berwarna putih itu meminta kaca mata pada sang asisten. Setelahnya, dia membuka berkas yang dibagikan tadi. Refara, Ilham beserta asisten lainnya berdiri di belakang atasan masing-masing. Semua orang tengah membahas proyek kerja sama dengan pihak Lotus Company. Proyek yang bernilai milyaran itu harus ditangani oleh orang yang tepat karena Lotus merupakan garment terbesar di pulau tersebut yang merajai para pesaingnya. Konon, pihak Lotus memiliki butik di luar negeri untuk memasarkan seluruh produknya. "Begini saja. Oleh karena banyak pimpinan cabang lain mencalonkan kalian bertiga sebagai penanggung jawab proyek ini. Maka, harus diambil suara terbanyak untuk menentukan," kata Sailendra. "Namaku, sebaiknya tidak perlu dimasukkan dalam pemilihan suara, Kek. Sebentar lagi, aku akan disibukkan dengan pernikahan. Jadi, tidak akan fokus pada pekerjaan selama satu bulan ini," ucap Firhan menginterupsi pendapat kakeknya tadi. "Jadi, dia sudah akan menikah. Sialan memang Zayn, apa tujuannya memintaku dekat dengan Firhan?" umpat Refara dalam hati. "Baiklah, biarkan dua saudaramu yang ikut pemilihan ini." Sailendra menatap semua peserta meeting. "Jadi, siapa yang setuju jika Gandy yang menjadi penanggung jawab proyek ini? Silakan angkat tangan." Mulai menghitung perolehan suara untuk Gandy. Sailendra kembali berkata dan meminta semua orang yang ada di sana mengangkat tangan untuk dukungan pada Zayn. "Perolehan suara imbang. Jadi, saya tidak bisa memutuskan siapa yang akan menjadi penanggung jawab itu. Sementara, saya akan memegang kedali. Saya akan membicarakannya secara pribadi dengan Zayn dan Gandy." Baru saja Sailendra menyelesaikan perkataannya, pintu ruang meeting dibuka oleh seseorang tanpa mengetuk pintu. "Sayang," panggil Firhan. Lelaki itu segera berdiri dan menghampiri perempuan berambut lurus dengan pakaian sedikit terbuka. "Kenapa ke sini? Tidak menunggu di ruanganku saja." "Jadi, ini wanita yang akan menjadi istrinya Firhan. Cantik dan seksi. Pantas jika Firhan tidak melirikku sama sekali. Tunggu dulu, bukankah dia terlihat mirip dengan foto yang diberikan Zayn kemarin?" gumam Refara dalam hati. Lalu, dia melihat penampilan dirinya sendiri yang berbanding jauh dengan sang wanita. Memasang muka manja dan menggoda, perempuan itu tak segan melingkarkan tangannya pada lengan Firhan. "Aku merindukanmu. Semalam, kamu mengatakan sakit perut dan tadi pagi pas aku telpon tidak diangkat. Aku khawatir, tahu," ucapnya manja. "Jaga perlakuanmu, Irene. Apa kamu tidak malu mengatakan hal seperti itu di depan banyak orang," kata Sailendra keras, menghentikan perempuan yang akan memeluk cucunya. "Biarlah, Kek. Toh, mereka akan segera menikah," bela Gandy. Lelaki itu masih duduk dengan tenang dan sombong. "Kalian anak muda, sulit sekali untuk dinasehati." Sailendra menghentakkan kakinya. Pergi meninggalkan ruangan yang membuat dadanya begitu sesak. "Kakek, tunggu. Ada yang perlu aku diskusikan," panggil Zayn. Berdiri dan mengejar Sailendra. Namun, lelaki itu masih sempat melirik Refara dengan tatapan memerintah walau orang yang diperintah tidak mengerti sama sekali maksudnya. Sepeninggal Zayn serta anggota meeting lainnya. Refara kembali fokus pada Firhan. "Sayang, kenapa kakekmu masih sengit sama aku, sih. Padahal jelas-jelas aku akan memberikan seorang pewaris di keluarga ini." Firhan dengan cepat membekap mulut Irene. "Jangan ungkap kebenaran itu. Kita bisa celaka dan Kakek tidak akan pernah merestui hubungan kita ini." Jika Ilham bersikap biasa saja dengan perkataan Irene tadi. Maka, berbanding terbalik dengan sikap Refara. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan lingkungannya saat ini. "Gila ... bener-bener gila si Zayn," ucap Refara dalam hati. Tanpa sadar, gadis itu menggelengkan kepalanya, heran dengan segala tindak tanduk Zayn dan tugas yang diberikan padanya. "Kenapa kamu menggelengkan kepala?" bisik seorang lelaki tepat di telinga kiri Refara. "Apakah tidak pernah menemui kasus pasangan yang belum menikah, tapi hamil duluan." "Mas," ucap Firhan tegas. Ternyata, lelaki yang bertanya pada Refara tadi adalah Gandy. "Aku heran, kenapa kamu menerima cewek seperti ini untuk menjadi sekretaris?" Tatapan Gandy pada Refara jelas-jelas menunjukkan ejekan. "Dia dinilai bersih oleh Firhan, Mas. Walau tampilannya sederhana, tapi isi kepalanya cukup mempesona. Terbukti, isi proposal yang dibuat olehnya tadi, langsung disetujui semua orang," jelas Ilham. Refara kembali dibuat melongo oleh kalimat yang dikeluarkan rekan kerjanya. "Jangan katakan kalau kamu tertarik padanya, Ham. Bisa-bisa si ono menargetkannya." Suara tawa Gandy menggelegar. Ilham menggaruk kepalanya yang tak gatal. Salah tingkah ketika kalimatnya bisa ditebak Gandy. "Bener itu, Ham? Kamu tertarik sama Refara?" tanya Firhan. "Ih, kenapa bahas dia, sih. Aku dicuekin," kata Irene manja. Gestur tubuhnya dibuat sedekat mungkin dengan lelaki berkulit kuning Langsat di sampingnya. "Hmm. Gitu aja cemburu. Aku tidak akan pernah berpaling darimu, Sayang. Apalagi sudah ada si kecil ini di perutmu." "Sekiranya tidak ada pekerjaan di sini, saya permisi. Masih banyak pekerjaan yang harus saya pelajari." Refara bersiap meninggalkan mereka semua. Memberikan isyarat melalui mata, Firhan meminta Ilham untuk mengejar Refara. "Terobos saja jika kamu suka," ucapnya memberi semangat sang asisten. "Re, tunggu," panggil Ilham. Refara menghentikan langkahnya. "Apa kamu marah?" "Kenapa harus marah, Pak?" "Terus? Kenapa kamu langsung pamit pergi?" "Bukan ranah saya untuk mendengarkan obrolan dan gurauan atasan. Saya di sini digaji untuk bekerja bukan mendengar candaan." Ilham memberanikan diri memegang pergelangan tangan Refara walau gadis itu menepisnya. "Jadi, apakah aku masih memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?" Ilham menatap serius gadis di depannya. Tangannya kembali berusaha memegang tangan Refara. Melihat tak ada penolakan dari gadis di depan Ilham. Seseorang yang sejak tadi mengintip keduanya meninggalkan tempat tersebut. "Dasar wanita. Mudah sekali luluh dengan ajakan tak jelas seperti itu," umpat seseorang tersebut.Happy Reading*****"Pak, lepas. Kalau ada yang melihat bagaimana?" tanya Refara. Berusaha menepis pegangan tangan Ilham. "Terlalu dini apa yang Pak Ilham katakan tadi. Anda belum mengenal saya bahkan latar belakang saya pasti tidak Anda ketahui.""Kata siapa?" jawab Ilham, enteng. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya ketika Refara hendak meninggalkannya. "Apa Anda tahu bagaimana latar belakang keluarga saya? Pekerjaan saya sebelumnya dan mungkin masih banyak lagi yang belum Anda ketahui.""Saya tahu semua tentangmu, Re. Apa kamu meragukan kemampuanku sebagai asistennya Pak Firhan?""Sudahlah, Pak. Jangan bercanda.""Siapa yang bercanda. Aku serius, Re. Jadi, tolong pertimbangkan lagi permintaanku tadi." Ilham sudah akan meninggalkan Refara, tetapi suara gadis itu terdengar menginterupsi. "Apa Pak Ilham masih akan mendekati saya jika latar belakang keluarga sangat buruk?""Seburuk apa keluargamu?""Silakan selidiki lagi bagaimana keluarga dan latar belakang saya." Refara melanjutka
Happy Reading *****"Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku."Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy. "Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja. "Carikan aku gaun pesta.""Untuk Bapak?" "Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara. "Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati. "Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firha
Happy Reading*****Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan.Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik."Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat
Happy Reading*****Tanpa sadar kalimat tersebut terucap cukup keras oleh Refara sehingga membuat sosok lelaki yang berbincang tadi melirik ke arahnya."Siapa di sana?" tanya si lelaki cukup keras. Refara bertindak cepat dengan meninggalkan keduanya. "Siapa, Zayn?" tanya si perempuan. Zayn yang tengah berbincang dengan Irene tadi, mengangkat kedua bahunya. "Mungkin, cuma orang yang mau ke toilet.""Bagaimana jika dia mendengar percakapan kita tadi?" "Apa peduliku?" Zayn begitu santai menanggapi pertanyaan Irene. Berbalik arah meninggalkan perempuan itu sendirian. "Sial. Kenapa aku masih belum bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah lama bersama," umpat Irene. Lalu, dia menghubungi seseorang untuk memastikan jika tidak ada yang mengetahui percakapannya dengan Zayn tadi. Kembali ke acara pesta dengan duduk di sebelah Ilham. Jantung Refara bergerak cepat ketika tatapan tajam Zayn mengarah padanya. Padahal, lelaki itu tengah menemani Elvira, tetapi entah mengapa Refara merasakan ses
Happy Reading*****Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, Zayn menampilkan wajah segar dengan rambut basah. Walau luka pada lengannya masih terlihat merah, tetapi lelaki itu tidak lagi menunjukkan kesakitan."Kenapa berteriak?""Apa yang sudah Anda lakukan?""Menurutmu?" Zayn balik bertanya. Lelaki itu bahkan tak segan mengenakan pakaiannya di depan Refara. Seolah-olah sang perempuan tidak ada di sana."Saya benci Anda. Selalu memanfaatkan situasi." Refara turun dari ranjang. Lalu, seperti memastikan sesuatu, perempuan itu tersenyum. "Ternyata aku masih perawan," ucapnya lirih. "Yakin masih perawan?" ucap Zayn. Lelaki itu bahkan tersenyum, seperti meremehkan ucapan Refara."Bukankah tidak ada noda darah? Tentunya kesucian itu masih terjaga." Di hati, Refara berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kejadian yang akan merugikannya kelak."Bodoh atau pura-pura bodoh. Tanda seorang cewek masih virgin itu bukan karena ada noda darah ketika pertama berhubungan intim. Coba baca lagi. Ad
Happy Reading*****Semenjak kejadian di hotel, Refara tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Instruksi tugas yang harus dikerjakan Refara pun, selalu Revan yang menyampaikan. Sang gadis tidak ambil pusing. Langkahnya semakin ringan ketika Zayn tidak terlalu ikut campur dengan tugas yang sudah dia susun. Hubungan Refara dengan Firhan juga semakin baik. Lelaki itu tidak lagi kaku dan dingin seperti sebelumnya walau masih memasang jarak pembatas. Besok, acara pernikahan Firhan dan Irene akan dilangsungkan. Pekerjaan Refara kian bertambah ketika diminta untuk menjadi pendamping pada pernikahan keduanya padahal dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Zayn.Menengok kanan kiri, Refara mulai menggerakkan jemarinya mengirimkan pesan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum membaca balasan pesannya. "Belum pulang, Re?" tanya Ilham mengagetkan Refara."Belum, Pak," sahut Refara gugup. "Mau pulang bareng?""Saya bawa motor sendiri,
Happy Reading*****"Kita mu ke mana, Re?" tanya Zayn setelah sampai di tempat sepi tak jauh dari toilet. "Pak, saya harap Anda tidak marah. Sungguh, saya tidak mengetahui bahwa lelaki itu sudah menikahi Bu Irene. Anda tidak boleh menghukum saya karena tugas yang diberikan sudah terselesaikan dengan baik tanpa harus membunuh janin yang tak berdosa," terang Refara."Tapi, caramu berakibat fatal nantinya. Aku tidak suka kamu bertindak gegabah seperti ini." Zayn memegang kuat lengan Refara."Maaf, jika kejadian tidak bisa menyatukan kembali cinta Anda dan Irene." Suara Refara mulai bergetar apalagi ketika netranya bersirobok dengan tatapan tajam Zayn. "Maksudmu?""Saya tahu Anda dan Irene memiliki hubungan spesial di masa lalu. Oleh karena itulah Anda meminta saya memisahkannya dari Pak Firhan dan melenyapkan janin di perutnya. Saya rasa, Anda harus mengkaji ulang jika ingin tetap bersama Irene."Zayn melepas tangannya dari pergelangan Refara, seketika tawanya meledak tak mampu ditahan
Happy Reading*****"Kapan, Mas, masuk?" tanya Firhan. "Saya permisi dulu, Pak." Refara meninggalkan keduanya. "Tidak perlu keluar, Re. Mas Zayn pasti tidak akan lama. Katakan ada apa, Mas? Jika kedatanganmu cuma untuk mengolok-olokku, kamu tidak perlu melakukannya. Aku tahu, aku lelaki bodoh yang percaya begitu saja pada perkataan Irene. Harusnya, ketika aku mendengar percakapan kalian waktu itu, aku melepaskan semua tipu dayanya untuk menjeratku."Zayn mendengkus. "Aku datang ke sini cuma mau ngasih tahu. Ada berkas yang harus kamu tanda tangani terkait ekspor ke Arab Saudi." Lelaki itu melempar map berwarna hitam pada Firhan."Mas, kok kamu tega meminta aku kerja dengan keadaan seperti ini.""Siapa yang memintamu kerja? Kamu, hanya perlu tanda tangan," tegas Zayn. Merasa sebagai orang asing yang tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran dua pewaris perusahaan tekstil terbesar di pulau itu, Refara pamit pulang. "Re, aku masih sangat membutuhkanmu.""Tapi, Pak. Saya tidak bisa m