Happy Reading
***** Refara menoleh pada lelaki kurang ajar yang telah melecehkannya. Sekuat tenaga mendorong tubuh Zayn. Namun, sayang tenaga sang wanita sangat jauh dibanding lawannya sehingga tubuh si lelaki tetap menempel. "Jangan kurang ajar, Pak," bentak Refara. "Saya memang bukan perempuan baik-baik, tapi untuk menjadi simpanan lelaki seperti Anda mendingan saya menjadi pembantu rumah tangga." Melangkahkan kakinya dengan cepat sebelum Zayn kembali bertindak aneh. Sepeninggal Refara, Zayn menghabiskan minumannya dengan sekali tegukan. "Menarik juga. Belum pernah ada yang menolakku seperti tadi," ucapnya lirih. ***** Pukul setengah tujuh, Refara sudah siap berangkat kerja dengan mengendarai motornya. Sebulan ini, dia mulai terbiasa menggunakan kendaraan tersebut walau sebelumnya sempat minder ketika bertemu sapa oleh orang yang mengenalnya saat berpapasan. Dia kini, bukanlah perempuan sosialita seperti ketika kedua orang tuanya masih hidup. Refara harus bertahan dengan segala kekurangan demi kesembuhan Harri. Mulai menarik tuas gas yang berada di tangan untuk melajukan kendaraan. Ponsel Refara berbunyi, sebuah chat masuk dari nomor tak dikenal. "Tolong siapkan sarapan untuk Pak Firhan. Kamu beli di restoran ini." Sang pengirim tak dikenal itu mengirimkan alamat restoran yang diinginkan. "Siapa?" balas Refara memastikan. "Ilham, asistennya Pak Firhan. Sebentar lagi, uang untuk pembelian akan ditransfer ke rekeningmu. Saya harap kamu tidak terlambat walau harus membelikan beliau sarapan. Pak Firhan tidak akan menoleransi karyawan yang telat apalagi orang baru sepertimu." Tak lagi membalas pesan yang dikirim oleh Ilham, Refara segera melajukan kendaraannya menuju restoran yang dimaksud. Kurang dari dua puluh menit kemudian, Refara sudah sampai di kantor. Segera ke lantai tiga di mana ruangan jajaran presidium berada. Sebelum mencapai pintu masuk ruangan Firhan, Ilham sudah berdiri menunggunya. "Cepat sedikit, Re. Beliau sudah hampir sampai kantor," kata Ilham. Melirik arloji di pergelangan tangannya, kening Refara berkerut. Masih lima belas menit lagi sebelum jam kantor di mulai. "Pantry di bawah, ya, Pak?" "Tidak perlu ke bawah, di sana saja. Ada beberapa peralatan yang bisa kamu gunakan," tunjuk Ilham pada ruangan tak jauh dari toilet. Kembali, Refara bergerak cepat tanpa bertanya apa pun lagi. Segera mengeluarkan makanan yang dia beli di restoran tadi dan menggantinya di mangkok serta piring. Walau telah menyelidiki latar belakang Firhan, tetapi dia tetap saja was-was. Takut jika lelaki itu kecewa dengan pilihan makanan untuk sarapannya. Menit berikutnya, Refara sudah berada di dekat Ilham berdiri. "Langsung saya taruh di meja beliau apa gimana, Pak?" tanyanya pada Ilham. "Taruh saja di meja dekat sofa." "Baik." Cekatan, Refara meletakkan semua makanan setelah Ilham membantunya membuka pintu. "Setelah ini, kamu siapkan materi untuk meeting Pak Firhan. Berkasnya sudah saya taruh di meja kerjamu. Tepat di sebelah meja kerja saya," terang Ilham. Sekali lagi, Refara mengangguk tanpa berkata apa pun. Banyak hal sudah dia pelajari tentang dua orang yang kini menjadi atasannya itu. Beberapa menit kemudian, Firhan terlihat berjalan ke ruangannya. Refara berdiri, membungkukkan badannya sedikit untuk menghormati sang atasan. Sama sekali tak melirik sekretaris barunya, Firhan berjalan lurus memasuki ruangan. "Huft. Susah juga menaklukkannya. Aku pikir, dia seperti CEO muda lainnya. Player, ternyata dia cukup dingin. Padahal dari informasi yang aku dapatkan, dia sering datang ke klub-klub malam," gumam Refara. Kembali duduk sambil memeriksa berkas yang diberikan Ilham. Perempuan itu mendapat chat dari Zayn. "Sudah dua hari dari waktu yang aku berikan, waktumu cuma tiga hari. Jika gagal, maka nyawa saudaramu dalam bahaya," tulis lelaki dingin itu. Mendengkus, Refara membalas pesan Zayn. "Nggak usah khawatir. Saya pasti melaksanakan semua tugas yang diberikan dengan baik asal bayarannya sesuai." "Matre," balas Zayn. Refara tersenyum membaca balasan pesan lelaki kejam itu tanpa menyadari jika Firhan dan Ilham sudah ada di hadapannya. "Sebaiknya, kamu simpan HP saat bekerja. Saya tidak suka jika ada karyawan tidak fokus dengan tugasnya," ucap Firhan dingin. "Mana berkas yang saya berikan tadi, Re," pinta Ilham. Refara memasang muka bersalah, menyerahkan berkas yang sudah dia periksa dan revisi. "Mohon koreksinya, takut ada yang salah." "Jika masih harus dikoreksi, untuk apa saya menyuruhmu membaca ulang. Bodoh!" Seketika, Refara menelan ludah dengan susah payah. Tak menyangka jika targetnya adalah sosok bermulut pedas. "Biar saya yang mengoreksi ulang," sahut Ilham, "kita sudah sangat terlambat jika terus berdebat." Firhan menatap sengit asisten pribadinya. "Biarkan dia ikut meeting kali ini," ucapnya mengajak Refara. "Tapi, Pak." "Lebih baik dia banyak belajar daripada terus melakukan kesalahan." Berjalan lebih dulu meninggalkan Ilham. "Kamu dengar itu, Re? Cepat ikut kami." Tanpa berpikir panjang lagi, Refara merapikan meja dan mengikuti langkah kedua atasannya tersebut. Masuk ruang meeting yang berada di lantai empat, Refara melihat beberapa orang sudah duduk dengan asisten masing-masing. Memberikan kode padanya untuk segera membagikan berkas tadi, perempuan itu mengangguk. "Tumben telat, Fir," ucap salah seorang dari mereka. Wajahnya mirip Firhan, tetapi sedikit lebih chubby. Refara mengenalinya sebagai salah satu keluarga Firhan. "Perutku sedikit mual, Mas. Jadi, sarapan dulu." "Siapa yang kamu bawa itu?" "Sekretaris baru, menggantikan Bu Komang," jawab Firhan setelah dia duduk di sebelah lelaki yang menyapa Firhan tadi. "Sepertinya, meeting kali ini sudah bisa dimulai. Semua pimpinan cabang sudah hadir," ucap salah seorang pria berumur sekitar lima puluh tahunan. "Rasanya belum semua pimpinan cabang hadir dan beliau merupakan orang terpenting dalam proyek kita kali ini. Jadi, sebaiknya kita menunggu kedatangannya," sahut lainnya. Refara cuma bisa menatap mereka semua dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala tanpa bisa bertanya siapa mereka sebenarnya. "Dasar anak pelakor. Tidak pernah bisa menghargai waktu." Di saat perkataan lelaki yang diketahui Refara adalah saudara kandung Firhan tersebut mengatupkan bibirnya. Pintu ruangan dibuka oleh seseorang. "Jaga mulutmu. Beraninya cuma di belakang saat orangnya tidak ada," ucap lelaki dengan sorot mata tajam penuh wibawa. Refara membulatkan mata. "Kenapa dia di sini? Apakah dia bagian dari Warna Jaya Grup?"Happy Reading*****Refara sempat melihat ekor mata Zayn meliriknya. Lalu, cepat-cepat perempuan itu menunduk supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui jika dia mengenal sosok pria yang baru datang tersebut. Zayn duduk di kursi kosong sebelah atasan Refara. Namun, suara Gandy, masnya Firhan terdengar menginterupsi. "Kamu tidak pantas duduk di sebelahnya. Tempat anak pelakor, selalu di urutan belakang. Pergi!" hardiknya disertai gerakan menyeret pergelangan Zayn. "Tutup mulutmu, Mas. Aku memiliki hak yang sama dengan kalian di perusahaan ini." Indera penglihatan Zayn mulai memerah. Wajahnya begitu menakutkan, tetapi Gandy tidak gentar sama sekali. "Hak yang sama bagaimana? Jelas-jelas keberadaanmu tidak dianggap di keluarga besar Rafiq," ejek lelaki yang memiliki postur tubuh lebih pendek dari Zayn. "Sudahlah, Mas, hanya masalah tempat duduk tidak perlu diributkan," ucap Firhan, menenangkan Gandy."Hentikan perdebatan kalian. Sudah dewasa, masih saja bertengkar," sahut seorang l
Happy Reading*****"Pak, lepas. Kalau ada yang melihat bagaimana?" tanya Refara. Berusaha menepis pegangan tangan Ilham. "Terlalu dini apa yang Pak Ilham katakan tadi. Anda belum mengenal saya bahkan latar belakang saya pasti tidak Anda ketahui.""Kata siapa?" jawab Ilham, enteng. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya ketika Refara hendak meninggalkannya. "Apa Anda tahu bagaimana latar belakang keluarga saya? Pekerjaan saya sebelumnya dan mungkin masih banyak lagi yang belum Anda ketahui.""Saya tahu semua tentangmu, Re. Apa kamu meragukan kemampuanku sebagai asistennya Pak Firhan?""Sudahlah, Pak. Jangan bercanda.""Siapa yang bercanda. Aku serius, Re. Jadi, tolong pertimbangkan lagi permintaanku tadi." Ilham sudah akan meninggalkan Refara, tetapi suara gadis itu terdengar menginterupsi. "Apa Pak Ilham masih akan mendekati saya jika latar belakang keluarga sangat buruk?""Seburuk apa keluargamu?""Silakan selidiki lagi bagaimana keluarga dan latar belakang saya." Refara melanjutka
Happy Reading *****"Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku."Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy. "Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja. "Carikan aku gaun pesta.""Untuk Bapak?" "Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara. "Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati. "Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firha
Happy Reading*****Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan.Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik."Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat
Happy Reading*****Tanpa sadar kalimat tersebut terucap cukup keras oleh Refara sehingga membuat sosok lelaki yang berbincang tadi melirik ke arahnya."Siapa di sana?" tanya si lelaki cukup keras. Refara bertindak cepat dengan meninggalkan keduanya. "Siapa, Zayn?" tanya si perempuan. Zayn yang tengah berbincang dengan Irene tadi, mengangkat kedua bahunya. "Mungkin, cuma orang yang mau ke toilet.""Bagaimana jika dia mendengar percakapan kita tadi?" "Apa peduliku?" Zayn begitu santai menanggapi pertanyaan Irene. Berbalik arah meninggalkan perempuan itu sendirian. "Sial. Kenapa aku masih belum bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah lama bersama," umpat Irene. Lalu, dia menghubungi seseorang untuk memastikan jika tidak ada yang mengetahui percakapannya dengan Zayn tadi. Kembali ke acara pesta dengan duduk di sebelah Ilham. Jantung Refara bergerak cepat ketika tatapan tajam Zayn mengarah padanya. Padahal, lelaki itu tengah menemani Elvira, tetapi entah mengapa Refara merasakan ses
Happy Reading*****Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, Zayn menampilkan wajah segar dengan rambut basah. Walau luka pada lengannya masih terlihat merah, tetapi lelaki itu tidak lagi menunjukkan kesakitan."Kenapa berteriak?""Apa yang sudah Anda lakukan?""Menurutmu?" Zayn balik bertanya. Lelaki itu bahkan tak segan mengenakan pakaiannya di depan Refara. Seolah-olah sang perempuan tidak ada di sana."Saya benci Anda. Selalu memanfaatkan situasi." Refara turun dari ranjang. Lalu, seperti memastikan sesuatu, perempuan itu tersenyum. "Ternyata aku masih perawan," ucapnya lirih. "Yakin masih perawan?" ucap Zayn. Lelaki itu bahkan tersenyum, seperti meremehkan ucapan Refara."Bukankah tidak ada noda darah? Tentunya kesucian itu masih terjaga." Di hati, Refara berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kejadian yang akan merugikannya kelak."Bodoh atau pura-pura bodoh. Tanda seorang cewek masih virgin itu bukan karena ada noda darah ketika pertama berhubungan intim. Coba baca lagi. Ad
Happy Reading*****Semenjak kejadian di hotel, Refara tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Instruksi tugas yang harus dikerjakan Refara pun, selalu Revan yang menyampaikan. Sang gadis tidak ambil pusing. Langkahnya semakin ringan ketika Zayn tidak terlalu ikut campur dengan tugas yang sudah dia susun. Hubungan Refara dengan Firhan juga semakin baik. Lelaki itu tidak lagi kaku dan dingin seperti sebelumnya walau masih memasang jarak pembatas. Besok, acara pernikahan Firhan dan Irene akan dilangsungkan. Pekerjaan Refara kian bertambah ketika diminta untuk menjadi pendamping pada pernikahan keduanya padahal dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Zayn.Menengok kanan kiri, Refara mulai menggerakkan jemarinya mengirimkan pesan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum membaca balasan pesannya. "Belum pulang, Re?" tanya Ilham mengagetkan Refara."Belum, Pak," sahut Refara gugup. "Mau pulang bareng?""Saya bawa motor sendiri,
Happy Reading*****"Kita mu ke mana, Re?" tanya Zayn setelah sampai di tempat sepi tak jauh dari toilet. "Pak, saya harap Anda tidak marah. Sungguh, saya tidak mengetahui bahwa lelaki itu sudah menikahi Bu Irene. Anda tidak boleh menghukum saya karena tugas yang diberikan sudah terselesaikan dengan baik tanpa harus membunuh janin yang tak berdosa," terang Refara."Tapi, caramu berakibat fatal nantinya. Aku tidak suka kamu bertindak gegabah seperti ini." Zayn memegang kuat lengan Refara."Maaf, jika kejadian tidak bisa menyatukan kembali cinta Anda dan Irene." Suara Refara mulai bergetar apalagi ketika netranya bersirobok dengan tatapan tajam Zayn. "Maksudmu?""Saya tahu Anda dan Irene memiliki hubungan spesial di masa lalu. Oleh karena itulah Anda meminta saya memisahkannya dari Pak Firhan dan melenyapkan janin di perutnya. Saya rasa, Anda harus mengkaji ulang jika ingin tetap bersama Irene."Zayn melepas tangannya dari pergelangan Refara, seketika tawanya meledak tak mampu ditahan