Happy Reading
***** "Maaf, maksud Anda bagaimana?" Refara menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga, mengurangi kecemasan. "Bapak salah sangka. Saya sama sekali tidak mengenal Mbak ini," tambah sang office girl. "Saya permisi. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." "Tunggu," cegah asisten Firhan, "siapa namamu?" Office girl itu menyebutkan nama. Lalu, cepat-cepat meninggalkan ketiga orang tersebut. Firhan begitu intens menatap perempuan yang berdiri di depannya. "Sekali lagi aku bertanya. Apa tujuanmu mendekatiku?" Refara menatap penuh keberanian lelaki di depannya. "Tujuan saya datang ke kantor ini cuma satu. Mengikuti seleksi interview. Apa masih kurang jelas? Silakan tanya bagian HRD untuk memastikannya." Meneliti dari atas ke bawah. Tatapan Firhan makin mengintimidasi. "Posisi apa yang kamu lamar?" "Basic saya di bagian keuangan karena saya lulusan terbaik sebuah universitas negeri di kota ini." Lugas tanpa rasa takut sama sekali walau lelaki di depannya terus mengintimidasi. "Kenapa tidak melamar di bagian sekretaris. Bukankah ada lowongan?" "Pak, sudah saatnya meeting online dengan klien yang di Singapura," ucap asisten sang lelaki. "Masih ada lima menit. Kita tidak akan terlambat." Setelah menjawab sang asisten, Firza kembali menatap Refara. "Jawab pertanyaan saya tadi." "Saya tidak memiliki basic kesekretariatan. Saya rasa, kecurigaan Anda sama sekali tidak beralasan. Hanya, karena saya tanpa sengaja menghalangi jalan, Anda menuduh sembarangan. Permisi." Refara mulai berjalan menjauhi Firhan walau tertatih-tatih. "Unik," gumam Firhan. "Tidak mungkin Anda tertarik dengannya, Pak? Bukankah sudah ada calon untuk segera dihalalkan?" tanya sang asisten. "Apa pekerjaanmu kurang banyak?" "Hmm. Maaf, deh." Sang asisten yang bernama Ilham itu mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. Merasa cukup jauh berjalan meninggalkan Firhan, Refara menengok ke belakang. "Tidak mungkin jika kamu tidak tertarik denganku setelah kejadian tadi," ucap Refara dalam hati. Kembali melanjutkan langkah, Refara masuk ke ruang interview. Beberapa saat kemudian, namanya dipanggil. "Refara ........" "Benar, Bu," jawab Refara. Badannya tegak dengan tatapan lurus lawan bicaranya. "Saya pernah mendengar nama besarmu di lingkungan lembaga keuangan. Kamu adalah salah satu konsultan keuangan terbaik di kota ini. Apa alasanmu melamar di perusahaan kami?" Menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan, Refara mencoba tersenyum. "Jika Anda pernah mendengar nama besar saya sebagai konsultan keuangan terbaik, maka Anda pun seharusnya sudah mendengar beberapa masalah yang saya hadapi saat ini." "Jadi, apa kamu benar-benar kekurangan uang hingga rela digaji bulanan seperti sekarang?" "Saya rasa, pertanyaan Ibu sudah masuk ranah privasi." Brak ... Tiba-tiba perempuan di depan Refara membanting map lamaran kerjanya. "Lancang kamu berkata demikian. Sebagai subjek interview, kamu wajib menjawab pertanyaan yang saya ajukan." "Apa jawaban saya salah?" sahut Refara cepat, "bukankah hal itu merupakan hal privasi yang tidak perlu ditanyakan saat interview." Perempuan yang rambutnya tergerai cuma diberi jepit di sisi kiri ini membulatkan mata sempurna. "Pergi, kamu tidak layak menjadi bagian perusahaan ini." Mendengkus, Refara menatap lawan bicaranya dengan remeh. "Hanya karena masalah sepele, saya tidak diterima di perusahaan sebesar ini. Ternyata, kolot juga pikiran oknum-oknum yang ada di sini." "Pergi, kamu nggak layak ada di sini," usir sang pewawancara, sekali lagi. Refara diam diperlakukan tidak adil seperti itu. Hendak, meninggalkan tempat itu. Seseorang memegang pundaknya. "Jadi, begini caramu melakukan interview pada calon karyawan di perusahaan kita?" "Pak Firhan?" tanya perempuan yang tadi memarahi Refara. Dia langsung berdiri dan membungkuk. "Jadikan dia sekretaris saya. Kalau kamu tidak bisa menerimanya di bagian keuangan," perintah Firhan. "Tapi, Pak?" "Kamu mau dipecat karena membantah perintah atasan?" tambah Ilham. "Maaf," sahut sang pewawancara yang tak lain adalah manajer HRD. "Saya akan segera menyiapkan kontrak untuk Refara." "Bagus," ucap Firhan, "mulai besok, kamu resmi menjadi pegawai di perusahaan ini dengan posisi sebagai sekretarisku." "Terima kasih, Pak," ucap Refara. Langsung pergi meninggalkan Firhan dan Ilham tanpa menoleh pada keduanya. "Eh," kata Ilham, "kok, tidak sopan gitu. Sudah dibantuin padahal." "Tutup mulutmu. Kembali kerja. Masih ada banyak pertemuan yang harus kita hadiri," titah sang atasan. ***** Pulang dari perusahaan Warna Jaya, Refara menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki. Namun, matanya membulat sempurna ketika bukan sang kakak yang ada di ruang tersebut. "Suster," teriak Refara keluar dari ruangan tersebut. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Ke mana pasien yang ada di ruangan ini?" Wajah Refara benar-benar keruh saat ini. "Kami telah memindahkannya sesuai permintaan suami Ibu," jelas sang perawat. "Suami saya?" tanya Refara, cengo. "Saya belum menikah, Sus." "Lho, tapi Mas tadi ngomong kalau suaminya Bu Refa." "Suster tidak salah dengar, kan?" "Tidak, Bu. Sesuai permintaan beliau, kami sudah memindahkannya di paviliun Mawar nomor 10." "Oke, terima kasih informasinya, Sus." Refara segera berpamitan. Setengah berlari, dia menuju paviliun yang terdapat di bagian kanan agak ke belakang dari rumah sakit tersebut. Matanya berbinar ketika orang yang terbaring di sana benar-benar saudaranya. Refara segera menghampiri lelaki yang semakin lama semakin terlihat kurus tersebut. "Maaf, Mas. Baru bisa jenguk sekarang, tapi Mas Harri tidak usah khawatir. Aku sudah mendapat pekerjaan dan semua biaya operasi itu akan segera lunas. Semangat untuk sembuh, ya, Mas," ucap Refara. Tangannya meraih telapak tangan lelaki yang hanya bisa diam tanpa bergerak sedikitpun. Mencium punggung tangan tersebut penuh kasih sayang. "Aku yakin. Mas, akan segera pulih setelah operasi nanti dan kita akan sama-sama mencari kebenaran dibalik kecelakaan seluruh keluarga kita. Termasuk orang yang memfitnahku hingga gelar profesional kerjaku dicopot." Terus mengajak saudara tertuanya mengobrol, Refara berusaha merangsang respon Harri. Namun, lelaki itu tak bergerak sama sekali. "Mas, aku pulang dulu, ya. Besok, sepulang kerja, aku jenguk lagi," pamit Refara setelah membaca pesan di ponselnya. Mengendarai motor matic miliknya, Refara menuju vila yang dikirimkan Zayn. Setengah jam kemudian, barulah perempuan itu sampai. "Langsung ke teras samping," ucap Zayn dari layar monitor keamanan di gerbangnya ketika Refara memencet bel vila. Suara hels yang dikenakan Refara membuat Zayn menoleh. Lelaki itu tengah mengenakan handuk kimono dengan jus jeruk di tangan kanannya. "Apa yang Bapak inginkan?" tanya Refara. Wajahnya di setel kaku dan sinis. Zayn melempar sebuah foto ke meja di hadapannya. "Buat dia menjauhi Firhan." "Tapi, tugas yang Anda berikan sebelumnya belum selesai," bantah Refara. "Jangan membantah!" bentak. Zayn, "kamu, hanya perlu mengangguk patuh untuk semua perkataanku. Mengerti?" Cepat, tangan kiri lelaki itu menekan pipi Refara. Zayn bahkan mencondongkan wajahnya hingga hidung mereka bersentuhan. "Ternyata, kamu pandai memikat cowok." "Bukankah itu tugas yang Anda berikan. Menarik simpati Pak Firhan hingga saya bisa bekerja sebagai sekretarisnya," jawab Refara setenang mungkin supaya lelaki di depannya tidak mengintimidasi lebih dalam. "Tapi, aku tidak suka caramu tadi." "Walau tidak suka, nyatanya semua yang saya lakukan membuahkan hasil." "Jangan membantah," teriak Zayn. Dia bahkan sudah mencekik leher Refara. "Sakit," rintih sang perempuan. "Aku tidak suka orangku ditindas seperti tadi." "Tidak perlu sok peduli. Terpenting tugas yang Anda berikan berjalan baik." Zayn bergerak cepat membungkam bibir Refara dengan bibirnya. Plak ... Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi lelaki otoriter tersebut. "Jaga batasan Anda. Saya bukan perempuan murahan yang bisa menghangatkan ranjang Anda." Refara berbalik, berniat pergi meninggalkan Zayn. Namun, pergelangan tangannya ditarik kuat. "Kalau begitu, jadilah simpananku," ucap sang lelaki di telinga disertai kecupan, melecehkan.Happy Reading*****Refara menoleh pada lelaki kurang ajar yang telah melecehkannya. Sekuat tenaga mendorong tubuh Zayn. Namun, sayang tenaga sang wanita sangat jauh dibanding lawannya sehingga tubuh si lelaki tetap menempel."Jangan kurang ajar, Pak," bentak Refara. "Saya memang bukan perempuan baik-baik, tapi untuk menjadi simpanan lelaki seperti Anda mendingan saya menjadi pembantu rumah tangga." Melangkahkan kakinya dengan cepat sebelum Zayn kembali bertindak aneh. Sepeninggal Refara, Zayn menghabiskan minumannya dengan sekali tegukan. "Menarik juga. Belum pernah ada yang menolakku seperti tadi," ucapnya lirih.*****Pukul setengah tujuh, Refara sudah siap berangkat kerja dengan mengendarai motornya. Sebulan ini, dia mulai terbiasa menggunakan kendaraan tersebut walau sebelumnya sempat minder ketika bertemu sapa oleh orang yang mengenalnya saat berpapasan. Dia kini, bukanlah perempuan sosialita seperti ketika kedua orang tuanya masih hidup. Refara harus bertahan dengan segala ke
Happy Reading*****Refara sempat melihat ekor mata Zayn meliriknya. Lalu, cepat-cepat perempuan itu menunduk supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui jika dia mengenal sosok pria yang baru datang tersebut. Zayn duduk di kursi kosong sebelah atasan Refara. Namun, suara Gandy, masnya Firhan terdengar menginterupsi. "Kamu tidak pantas duduk di sebelahnya. Tempat anak pelakor, selalu di urutan belakang. Pergi!" hardiknya disertai gerakan menyeret pergelangan Zayn. "Tutup mulutmu, Mas. Aku memiliki hak yang sama dengan kalian di perusahaan ini." Indera penglihatan Zayn mulai memerah. Wajahnya begitu menakutkan, tetapi Gandy tidak gentar sama sekali. "Hak yang sama bagaimana? Jelas-jelas keberadaanmu tidak dianggap di keluarga besar Rafiq," ejek lelaki yang memiliki postur tubuh lebih pendek dari Zayn. "Sudahlah, Mas, hanya masalah tempat duduk tidak perlu diributkan," ucap Firhan, menenangkan Gandy."Hentikan perdebatan kalian. Sudah dewasa, masih saja bertengkar," sahut seorang l
Happy Reading*****"Pak, lepas. Kalau ada yang melihat bagaimana?" tanya Refara. Berusaha menepis pegangan tangan Ilham. "Terlalu dini apa yang Pak Ilham katakan tadi. Anda belum mengenal saya bahkan latar belakang saya pasti tidak Anda ketahui.""Kata siapa?" jawab Ilham, enteng. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya ketika Refara hendak meninggalkannya. "Apa Anda tahu bagaimana latar belakang keluarga saya? Pekerjaan saya sebelumnya dan mungkin masih banyak lagi yang belum Anda ketahui.""Saya tahu semua tentangmu, Re. Apa kamu meragukan kemampuanku sebagai asistennya Pak Firhan?""Sudahlah, Pak. Jangan bercanda.""Siapa yang bercanda. Aku serius, Re. Jadi, tolong pertimbangkan lagi permintaanku tadi." Ilham sudah akan meninggalkan Refara, tetapi suara gadis itu terdengar menginterupsi. "Apa Pak Ilham masih akan mendekati saya jika latar belakang keluarga sangat buruk?""Seburuk apa keluargamu?""Silakan selidiki lagi bagaimana keluarga dan latar belakang saya." Refara melanjutka
Happy Reading *****"Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku."Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy. "Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja. "Carikan aku gaun pesta.""Untuk Bapak?" "Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara. "Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati. "Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firha
Happy Reading*****Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan.Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik."Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat
Happy Reading*****Tanpa sadar kalimat tersebut terucap cukup keras oleh Refara sehingga membuat sosok lelaki yang berbincang tadi melirik ke arahnya."Siapa di sana?" tanya si lelaki cukup keras. Refara bertindak cepat dengan meninggalkan keduanya. "Siapa, Zayn?" tanya si perempuan. Zayn yang tengah berbincang dengan Irene tadi, mengangkat kedua bahunya. "Mungkin, cuma orang yang mau ke toilet.""Bagaimana jika dia mendengar percakapan kita tadi?" "Apa peduliku?" Zayn begitu santai menanggapi pertanyaan Irene. Berbalik arah meninggalkan perempuan itu sendirian. "Sial. Kenapa aku masih belum bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah lama bersama," umpat Irene. Lalu, dia menghubungi seseorang untuk memastikan jika tidak ada yang mengetahui percakapannya dengan Zayn tadi. Kembali ke acara pesta dengan duduk di sebelah Ilham. Jantung Refara bergerak cepat ketika tatapan tajam Zayn mengarah padanya. Padahal, lelaki itu tengah menemani Elvira, tetapi entah mengapa Refara merasakan ses
Happy Reading*****Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, Zayn menampilkan wajah segar dengan rambut basah. Walau luka pada lengannya masih terlihat merah, tetapi lelaki itu tidak lagi menunjukkan kesakitan."Kenapa berteriak?""Apa yang sudah Anda lakukan?""Menurutmu?" Zayn balik bertanya. Lelaki itu bahkan tak segan mengenakan pakaiannya di depan Refara. Seolah-olah sang perempuan tidak ada di sana."Saya benci Anda. Selalu memanfaatkan situasi." Refara turun dari ranjang. Lalu, seperti memastikan sesuatu, perempuan itu tersenyum. "Ternyata aku masih perawan," ucapnya lirih. "Yakin masih perawan?" ucap Zayn. Lelaki itu bahkan tersenyum, seperti meremehkan ucapan Refara."Bukankah tidak ada noda darah? Tentunya kesucian itu masih terjaga." Di hati, Refara berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kejadian yang akan merugikannya kelak."Bodoh atau pura-pura bodoh. Tanda seorang cewek masih virgin itu bukan karena ada noda darah ketika pertama berhubungan intim. Coba baca lagi. Ad
Happy Reading*****Semenjak kejadian di hotel, Refara tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Instruksi tugas yang harus dikerjakan Refara pun, selalu Revan yang menyampaikan. Sang gadis tidak ambil pusing. Langkahnya semakin ringan ketika Zayn tidak terlalu ikut campur dengan tugas yang sudah dia susun. Hubungan Refara dengan Firhan juga semakin baik. Lelaki itu tidak lagi kaku dan dingin seperti sebelumnya walau masih memasang jarak pembatas. Besok, acara pernikahan Firhan dan Irene akan dilangsungkan. Pekerjaan Refara kian bertambah ketika diminta untuk menjadi pendamping pada pernikahan keduanya padahal dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Zayn.Menengok kanan kiri, Refara mulai menggerakkan jemarinya mengirimkan pesan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum membaca balasan pesannya. "Belum pulang, Re?" tanya Ilham mengagetkan Refara."Belum, Pak," sahut Refara gugup. "Mau pulang bareng?""Saya bawa motor sendiri,