Happy Reading
***** "Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku." Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy. "Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja. "Carikan aku gaun pesta." "Untuk Bapak?" "Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara. "Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati. "Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firhan mengetahui hal ini. Setelah kamu menemukan gaun itu, hubungi aku." Gandy merebut ponsel yang dipegang Refara. Lalu, menyalin barcode sebuah aplikasi chat paling terkenal saat ini. Setelahnya, lelaki itu pergi begitu saja walau beberapa orang melirik dan berbisik ketika melihatnya keluar dari ruang ganti perempuan. Menggelengkan kepala, Refara bergegas mencari satu pakaian lagi sesuai permintaan Gandy setelah sebelumnya meminta bantuan karyawan untuk mengembalikan baju yang tidak sesuai. "Rasanya, baju-baju ini cocok untuk Bu Irene. Kalau untuk ceweknya Pak Gandi. Aku tidak tahu. Bertemu saja belum pernah. Bagaimana aku bisa memilihkan baju yang cocok." Refara bergegas menghampiri Firhan dan Ilham yang duduk santai di sofa sambil bermain ponsel. "Ini bajunya, Pak. Saya tidak tahu mana yang cocok. Silakan dipilih sesuai keinginan Bapak." Refara memberikan beberapa baju pesta yang menurutnya cukup menarik pada Firhan. Dia menyisakan dua pasang dengan ukuran berbeda. Ilham mengerutkan kening ketika melihat masih ada dia baju di tangan Refara. "Baju itu untukmu?" tanyanya penuh selidik. "Ehmm," jawab Refara. Gugup mulai menyerang karena Gandy tak kunjung membalas pesannya. Setelah ini, dia pasti akan kesulitan menjawab pertanyaan Ilham. "Kok, bingung?" Ilham kembali bertanya. "Peka dikit, Ham. Bayarinlah, tidak perlu ditanya," Firhan sudah mendapatkan pilihan baju Irene untuk pesta nanti malam. Dia berdiri, bersiap membayar di kasir. "Bener gitu, Re?" Cepat, Refara menggelengkan kepala disertai tangan yang bergoyang. "Ambil saja, aku yang bayar, Re. Anggap hadiah perkenalan," kata Ilham. "Baju ini bukan size saya, Pak. Saya tidak berminat membeli baju sama sekali." Refara langsung menjauhi Firhan dan Ilham. Berusaha mencari sosok Gandy yang bersembunyi. Setelah ketemu, perempuan itu langsung melempar baju pilihannya sesuai keinginan anak tertua keluarga Rafiq. "Cepat pergi sebelum ada yang tahu. Balas chat-nya, segera," ucap Gandy sebelum dia meninggalkan perempuan itu. Refara cuma bisa mengerutkan keningnya. "Dasar kelakuan orang kaya," umpatnya. "Kenapa dengan orang kaya, Re?" Suara lelaki yang sangat dikenal sang sekretaris terdengar begitu dekat di telinga. "Pak Ilham? Sejak kapan Anda berdiri di sini?" Refara begitu gugup, takut jika asisten Firhan itu melihat semua yang terjadi dengannya dan Gandy. "Kenapa kamu begitu gugup? Apa ada masalah?" "Tidak." Refara sedikit menjauhi Ilham. "Kamu harus memilih salah satu gaun untuk digunakan nanti malam karena aku adalah pasanganmu di pesta nanti. Jadi, pilih gaun yang kamu suka. Aku akan membayarnya." Nada suara Ilham mulai terdengar memaksa. "Untuk apa saya ikut ke pesta yang tidak saya ketahui. Lagian saya cuma karyawan biasa. Rasanya, tidak pantas datang ke pesta orang-orang kaya," jawab Refara dengan jelas menunjukkan keberatannya. Ilham tersenyum, melihat wajah Refara yang terlihat jengkel tanpa sebab semakin menambah gemas. Reflek, tangan lelaki itu mengusak rambut sang sekretaris pelan serta penuh kasih sayang. "Kamu harus ikut ke pesta malam ini. Aku tidak memiliki pasangan. Apakah kamu tega membiarkan aku seperti obat nyamuk melihat ketiga panggeran keluarga Rafiq membawa pasangan masing-masing." Sejenak, Refara terdiam. Berpikir serta menimbang perkataan Ilham. "Sudah tidak usah kebanyakan mikir. Baju ini sepertinya cocok untukmu." Ilham sudah mengambil gaun panjang dengan belahan rok di bawah lutut sedikit. Berbahan berokat dengan dalaman sutra berwarna biru muda. Refara tak lagi bisa menolak karena tangannya sudah diseret menuju kasir. Selesai berbelanja baju, Firhan amenepati janjinya. Mengajak Refara dan Ilham makan siang di restoran favoritnya. "Pesan apa saja yang kamu suka," kata Firhan saat Refara melihat menu yang ada di restoran tersebut. Refara menganggukkan kepala. Tak ingin membuang kesempatan yang ada karena perutnya sudah meronta-ronta minta diisi sejak tadi. Perempuan itu menyebutkan beberapa menu pada sang pelayan. "Re, kamu yakin bisa menghabiskan semua makanan yang kamu pesan tadi," kata Ilham lirih di telinga sang sekretaris. "Tentu saja, saya akan menghabiskan semua pesanan itu. Apa Pak Firhan keberatan dengan pesanan saya tadi?" tanya Refara setelah menjawab pertanyaan Ilham. Firhan menggelengkan kepalanya. "Pesan saja sesukamu." Beberapa menit kemudian ketika semua makanan yang dipesan sudah ada di meja mereka bertiga, Refara segera menyantapnya tanpa menunggu aba-aba dari sang atasan. "Pelan-pelan, Re. Tidak ada yang merebut makananmu," peringat Ilham karena melihat cara makan Refara tidak wajar seperti kebanyakan perempuan liannya. Sama sekali tidak ada rasa gengsi walau di depan dan sampingnya ada lelaki bahkan atasannya. Refara makan dengan lahap bahkan Firhan sampai menggelengkan kepala melihat tingkah perempuan itu. "Seribu satu perempuan sepertinya, Ham. Mungkin, dia benar-benar kelaparan." "Bisa jadi." Dua lelaki itu cuma bisa menatap Refara makan. Setelah semua makanan habis, Firhan mengajak mereka pulang. Dia bahkan mengantar sang sekretaris ke rumah kontrakannya. "Pak, beneran tidak masalah saya pulang duluan hari ini?" "Cerewet, saya atasanmu, menyuruh untuk bersiap ke pesta nanti malam. Jangan mengecewakan Ilham. Kamu harus tampil sebaik mungkin." Refara menatap asisten tersebut dengan kening berkerut. "Aku jemput jam enam. Pesta mulainya jam tujuh," ucap Ilham. "Terserah." Refara langsung berbalik, berjalan menjauhi mobil sang atasan. Ilham cuma bisa menggelengkan kepala. Segera menjalankan kendaraannya, meninggalkan rumah Refara. Baru akan membuka pintu, pergelangan Refara dicekal oleh seseorang. "Lepas," pinta sang perempuan ketika mengetahui siapa pelakunya. Bukannya melapas cekalannya, lelaki itu malah mengeraskan peganggannya. Matanya melotot, kentara sekali jika dia sedang marah. "Apa peringatanku kurang jelas? Kamu lupa tujuanmu bekerja pada Firhan?" Sekarang, bukan cuma satu tangan Refara yang dipegang begitu keras. Lelaki itu bahkan menekan leher hingga sang gadis hampir tidak bisa bernapas. "Pak, lepas, sakit," kata Refara. Suaranya terputus-putus. "Fokus tujuanmu jika tidak ingin saudaramu makin kesakitan di rumah sakit," ancam lelaki tersebut yang tak lain adalah Zayn. "Saya sudah hampir sampai pada tujuan, tapi jika Anda terus seperti ini. Maka, saya akan mengundurkan diri dari semua tugas ini." Zayn melepaskan semua tangannya dari tubuh Refara. Bukan karena takut akan ancaman gadis tersebut, tetapi karena ponselnya berdering. "Sepuluh menit lagi, saya sampai ke rumah tua," kata Zayn. Lalu, lelaki itu memutus sambungannya dan menatap Refara tajam. "Aku mengubah rencana. Kamu harus melenyapkan janin yang ada di perut Irene," ucap Zayn. "Saya tidak akan melakukannya." Refara menatap Zayn tak kalah tajam seperti menantangnya. "Tidak ada penolakan atau semua pengobatan saudaramu akan diputus sepihak." Melenggang pergi meninggalkan Refara yang terdiam bak patung.Happy Reading*****Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan.Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik."Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat
Happy Reading*****Tanpa sadar kalimat tersebut terucap cukup keras oleh Refara sehingga membuat sosok lelaki yang berbincang tadi melirik ke arahnya."Siapa di sana?" tanya si lelaki cukup keras. Refara bertindak cepat dengan meninggalkan keduanya. "Siapa, Zayn?" tanya si perempuan. Zayn yang tengah berbincang dengan Irene tadi, mengangkat kedua bahunya. "Mungkin, cuma orang yang mau ke toilet.""Bagaimana jika dia mendengar percakapan kita tadi?" "Apa peduliku?" Zayn begitu santai menanggapi pertanyaan Irene. Berbalik arah meninggalkan perempuan itu sendirian. "Sial. Kenapa aku masih belum bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah lama bersama," umpat Irene. Lalu, dia menghubungi seseorang untuk memastikan jika tidak ada yang mengetahui percakapannya dengan Zayn tadi. Kembali ke acara pesta dengan duduk di sebelah Ilham. Jantung Refara bergerak cepat ketika tatapan tajam Zayn mengarah padanya. Padahal, lelaki itu tengah menemani Elvira, tetapi entah mengapa Refara merasakan ses
Happy Reading*****Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, Zayn menampilkan wajah segar dengan rambut basah. Walau luka pada lengannya masih terlihat merah, tetapi lelaki itu tidak lagi menunjukkan kesakitan."Kenapa berteriak?""Apa yang sudah Anda lakukan?""Menurutmu?" Zayn balik bertanya. Lelaki itu bahkan tak segan mengenakan pakaiannya di depan Refara. Seolah-olah sang perempuan tidak ada di sana."Saya benci Anda. Selalu memanfaatkan situasi." Refara turun dari ranjang. Lalu, seperti memastikan sesuatu, perempuan itu tersenyum. "Ternyata aku masih perawan," ucapnya lirih. "Yakin masih perawan?" ucap Zayn. Lelaki itu bahkan tersenyum, seperti meremehkan ucapan Refara."Bukankah tidak ada noda darah? Tentunya kesucian itu masih terjaga." Di hati, Refara berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kejadian yang akan merugikannya kelak."Bodoh atau pura-pura bodoh. Tanda seorang cewek masih virgin itu bukan karena ada noda darah ketika pertama berhubungan intim. Coba baca lagi. Ad
Happy Reading*****Semenjak kejadian di hotel, Refara tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Instruksi tugas yang harus dikerjakan Refara pun, selalu Revan yang menyampaikan. Sang gadis tidak ambil pusing. Langkahnya semakin ringan ketika Zayn tidak terlalu ikut campur dengan tugas yang sudah dia susun. Hubungan Refara dengan Firhan juga semakin baik. Lelaki itu tidak lagi kaku dan dingin seperti sebelumnya walau masih memasang jarak pembatas. Besok, acara pernikahan Firhan dan Irene akan dilangsungkan. Pekerjaan Refara kian bertambah ketika diminta untuk menjadi pendamping pada pernikahan keduanya padahal dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Zayn.Menengok kanan kiri, Refara mulai menggerakkan jemarinya mengirimkan pesan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum membaca balasan pesannya. "Belum pulang, Re?" tanya Ilham mengagetkan Refara."Belum, Pak," sahut Refara gugup. "Mau pulang bareng?""Saya bawa motor sendiri,
Happy Reading*****"Kita mu ke mana, Re?" tanya Zayn setelah sampai di tempat sepi tak jauh dari toilet. "Pak, saya harap Anda tidak marah. Sungguh, saya tidak mengetahui bahwa lelaki itu sudah menikahi Bu Irene. Anda tidak boleh menghukum saya karena tugas yang diberikan sudah terselesaikan dengan baik tanpa harus membunuh janin yang tak berdosa," terang Refara."Tapi, caramu berakibat fatal nantinya. Aku tidak suka kamu bertindak gegabah seperti ini." Zayn memegang kuat lengan Refara."Maaf, jika kejadian tidak bisa menyatukan kembali cinta Anda dan Irene." Suara Refara mulai bergetar apalagi ketika netranya bersirobok dengan tatapan tajam Zayn. "Maksudmu?""Saya tahu Anda dan Irene memiliki hubungan spesial di masa lalu. Oleh karena itulah Anda meminta saya memisahkannya dari Pak Firhan dan melenyapkan janin di perutnya. Saya rasa, Anda harus mengkaji ulang jika ingin tetap bersama Irene."Zayn melepas tangannya dari pergelangan Refara, seketika tawanya meledak tak mampu ditahan
Happy Reading*****"Kapan, Mas, masuk?" tanya Firhan. "Saya permisi dulu, Pak." Refara meninggalkan keduanya. "Tidak perlu keluar, Re. Mas Zayn pasti tidak akan lama. Katakan ada apa, Mas? Jika kedatanganmu cuma untuk mengolok-olokku, kamu tidak perlu melakukannya. Aku tahu, aku lelaki bodoh yang percaya begitu saja pada perkataan Irene. Harusnya, ketika aku mendengar percakapan kalian waktu itu, aku melepaskan semua tipu dayanya untuk menjeratku."Zayn mendengkus. "Aku datang ke sini cuma mau ngasih tahu. Ada berkas yang harus kamu tanda tangani terkait ekspor ke Arab Saudi." Lelaki itu melempar map berwarna hitam pada Firhan."Mas, kok kamu tega meminta aku kerja dengan keadaan seperti ini.""Siapa yang memintamu kerja? Kamu, hanya perlu tanda tangan," tegas Zayn. Merasa sebagai orang asing yang tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran dua pewaris perusahaan tekstil terbesar di pulau itu, Refara pamit pulang. "Re, aku masih sangat membutuhkanmu.""Tapi, Pak. Saya tidak bisa m
Happy Reading*****Zayn menyentil kening Refara. "Apa yang kamu pikirkan? Bisa-bisanya tidak fokus. Sana masuk, Firhan sudah menunggu sejak tadi," peringatnya."Hah, iya." Sejenak, Refara melupakan pertanyaannya tadi. Wajah Firhan terlihat menakutkan saat ini. Refara duduk di sebelah Firhan yang kebetulan satu mobil dengan Gandy. Si sulung itu, saat ini duduk di samping sopir, sedangkan Zayn satu mobil dengan Sailendra. "Kamu yakin tidak memiliki keinginan menikahi Elvira, Fir?" tanya Gandy setelah mereka menempuh setengah perjalanan menuju hotel pesta berlangsung. "Tidak berminat sama sekali. Malas banget dengan tie perempuan seperti dia," sahut Firhan, "Mas kan tahu gimana tipeku.""Oke. Aku percaya kamu tidak akan mengkhianatiku," sahut Gandy, "Boleh ngasih saran?""Silakan."Refara masih setia mendengarkan percakapan dua lelaki itu, dia sama sekali tidak berniat menyela atau bergabung dengan keduanya. Di pikirannya kini, hanya ada jepit dasi yang dipakai Zayn. Kenapa berbeda
Happy Reading*****Zayn meninggalkan Refara yang terbengong dengan segala pemikirannya sendiri. Dia memilih pergi ke meja Elvira yang baru saja duduk setelah menyelesaikan dansa. "Tampaknya, kamu sangat tertarik pada saudaraku," ucap Zayn. Tanpa permisi, meminta ijin. Lelaki itu menyeret kursi di sebelah sang gadis.Elvira tak langsung menjawab, dia memilih meneguk minuman berwarna kuning di depannya. Setelah selesai minum, entah disengaja atau tidak. Perempuan itu sengaja menjilat sisa manis dari jus jeruk yang ada di bibirnya dengan sangat sensual. Zayn meneguk ludahnya sendiri, susah payah menahan gejolak yang ditimbulkan oleh gadis di depannya. Dia lelaki normal apalagi hidup di pulau yang katanya sangat bebas mengenai hubungan dua jenis kelamin yang berbeda. Tidak perlu munafik, lelaki itu sudah pernah mencicipi manisnya hubungan intim dengan seorang wanita walau belum menikah. Jadi, tak heran libidonya langsung naik ketika melihat aksi Elvira tadi. "Sial, apa kamu sengaja m