Share

6. Dasar Orang Kaya

Happy Reading

*****

"Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku."

Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy.

"Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja.

"Carikan aku gaun pesta."

"Untuk Bapak?"

"Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara.

"Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati.

"Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firhan mengetahui hal ini. Setelah kamu menemukan gaun itu, hubungi aku."

Gandy merebut ponsel yang dipegang Refara. Lalu, menyalin barcode sebuah aplikasi chat paling terkenal saat ini. Setelahnya, lelaki itu pergi begitu saja walau beberapa orang melirik dan berbisik ketika melihatnya keluar dari ruang ganti perempuan.

Menggelengkan kepala, Refara bergegas mencari satu pakaian lagi sesuai permintaan Gandy setelah sebelumnya meminta bantuan karyawan untuk mengembalikan baju yang tidak sesuai.

"Rasanya, baju-baju ini cocok untuk Bu Irene. Kalau untuk ceweknya Pak Gandi. Aku tidak tahu. Bertemu saja belum pernah. Bagaimana aku bisa memilihkan baju yang cocok." Refara bergegas menghampiri Firhan dan Ilham yang duduk santai di sofa sambil bermain ponsel.

"Ini bajunya, Pak. Saya tidak tahu mana yang cocok. Silakan dipilih sesuai keinginan Bapak." Refara memberikan beberapa baju pesta yang menurutnya cukup menarik pada Firhan. Dia menyisakan dua pasang dengan ukuran berbeda.

Ilham mengerutkan kening ketika melihat masih ada dia baju di tangan Refara. "Baju itu untukmu?" tanyanya penuh selidik.

"Ehmm," jawab Refara. Gugup mulai menyerang karena Gandy tak kunjung membalas pesannya. Setelah ini, dia pasti akan kesulitan menjawab pertanyaan Ilham.

"Kok, bingung?" Ilham kembali bertanya.

"Peka dikit, Ham. Bayarinlah, tidak perlu ditanya," Firhan sudah mendapatkan pilihan baju Irene untuk  pesta nanti malam. Dia berdiri, bersiap membayar di kasir.

"Bener gitu, Re?"

Cepat, Refara menggelengkan kepala disertai tangan yang bergoyang.

"Ambil saja, aku yang bayar, Re. Anggap hadiah perkenalan," kata Ilham.

"Baju ini bukan size saya, Pak. Saya tidak berminat membeli baju sama sekali." Refara langsung menjauhi Firhan dan Ilham. Berusaha mencari sosok Gandy yang bersembunyi. Setelah ketemu, perempuan itu langsung melempar baju pilihannya sesuai keinginan anak tertua keluarga Rafiq.

"Cepat pergi sebelum ada yang tahu. Balas chat-nya, segera," ucap Gandy sebelum dia meninggalkan perempuan itu.

Refara cuma bisa mengerutkan keningnya. "Dasar kelakuan orang kaya," umpatnya.

"Kenapa dengan orang kaya, Re?" Suara lelaki yang sangat dikenal sang sekretaris terdengar begitu dekat di telinga.

"Pak Ilham? Sejak kapan Anda berdiri di sini?" Refara begitu gugup, takut jika asisten Firhan itu melihat semua yang terjadi dengannya dan Gandy.

"Kenapa kamu begitu gugup? Apa ada masalah?"

"Tidak." Refara sedikit menjauhi Ilham.

"Kamu harus memilih salah satu gaun untuk digunakan nanti malam karena aku adalah pasanganmu di pesta nanti. Jadi, pilih gaun yang kamu suka. Aku akan membayarnya." Nada suara Ilham mulai terdengar memaksa.

"Untuk apa saya ikut ke pesta yang tidak saya ketahui. Lagian saya cuma karyawan biasa. Rasanya, tidak pantas datang ke pesta orang-orang kaya," jawab Refara dengan jelas menunjukkan keberatannya.

Ilham tersenyum, melihat wajah Refara yang terlihat jengkel tanpa sebab semakin menambah gemas. Reflek, tangan lelaki itu mengusak rambut sang sekretaris pelan serta penuh kasih sayang. "Kamu harus ikut ke pesta malam ini. Aku tidak memiliki pasangan. Apakah kamu tega membiarkan aku seperti obat nyamuk melihat ketiga panggeran keluarga Rafiq membawa pasangan masing-masing."

Sejenak, Refara terdiam. Berpikir serta menimbang perkataan Ilham.

"Sudah tidak usah kebanyakan mikir. Baju ini sepertinya cocok untukmu." Ilham sudah mengambil gaun panjang dengan belahan rok di bawah lutut sedikit. Berbahan berokat dengan dalaman sutra berwarna biru muda. Refara tak lagi bisa menolak karena tangannya sudah diseret menuju kasir.

Selesai berbelanja baju, Firhan amenepati janjinya. Mengajak Refara dan Ilham makan siang di restoran favoritnya.

"Pesan apa saja yang kamu suka," kata Firhan saat Refara melihat menu yang ada di restoran tersebut.

Refara menganggukkan kepala. Tak ingin membuang kesempatan yang ada karena perutnya sudah meronta-ronta minta diisi sejak tadi. Perempuan itu menyebutkan beberapa menu pada sang pelayan.

"Re, kamu yakin bisa menghabiskan semua makanan yang kamu pesan tadi," kata Ilham lirih di telinga sang sekretaris.

"Tentu saja, saya akan menghabiskan semua pesanan itu. Apa Pak Firhan keberatan dengan pesanan saya tadi?" tanya Refara setelah menjawab pertanyaan Ilham.

Firhan menggelengkan kepalanya. "Pesan saja sesukamu."

Beberapa menit kemudian ketika semua makanan yang dipesan sudah ada di meja mereka bertiga, Refara segera menyantapnya tanpa menunggu aba-aba dari sang atasan.

"Pelan-pelan, Re. Tidak ada yang merebut makananmu," peringat Ilham karena melihat cara makan Refara tidak wajar seperti kebanyakan perempuan liannya.

Sama sekali tidak ada rasa gengsi walau di depan dan sampingnya ada lelaki bahkan atasannya. Refara makan dengan lahap bahkan Firhan sampai menggelengkan kepala melihat tingkah perempuan itu.

"Seribu satu perempuan sepertinya, Ham. Mungkin, dia benar-benar kelaparan."

"Bisa jadi."

Dua lelaki itu cuma bisa menatap Refara makan. Setelah semua makanan habis, Firhan mengajak mereka pulang. Dia bahkan mengantar sang sekretaris ke rumah kontrakannya.

"Pak, beneran tidak masalah saya pulang duluan hari ini?"

"Cerewet, saya atasanmu, menyuruh untuk bersiap ke pesta nanti malam. Jangan mengecewakan Ilham. Kamu harus tampil sebaik mungkin."

Refara menatap asisten tersebut dengan kening berkerut.

"Aku jemput jam enam. Pesta mulainya jam tujuh," ucap Ilham.

"Terserah." Refara langsung berbalik, berjalan menjauhi mobil sang atasan. Ilham cuma bisa menggelengkan kepala. Segera menjalankan kendaraannya, meninggalkan rumah Refara.

Baru akan membuka pintu, pergelangan Refara dicekal oleh seseorang.

"Lepas," pinta sang perempuan ketika mengetahui siapa pelakunya.

Bukannya melapas cekalannya, lelaki itu malah mengeraskan peganggannya. Matanya melotot, kentara sekali jika dia sedang marah.

"Apa peringatanku kurang jelas? Kamu lupa tujuanmu bekerja pada Firhan?"

Sekarang, bukan cuma satu tangan Refara yang dipegang begitu keras. Lelaki itu bahkan menekan leher hingga sang gadis hampir tidak bisa bernapas.

"Pak, lepas, sakit," kata Refara. Suaranya terputus-putus.

"Fokus tujuanmu jika tidak ingin saudaramu makin kesakitan di rumah sakit," ancam lelaki tersebut yang tak lain adalah Zayn.

"Saya sudah hampir sampai pada tujuan, tapi jika Anda terus seperti ini. Maka, saya akan mengundurkan diri dari semua tugas ini."

Zayn melepaskan semua tangannya dari tubuh Refara. Bukan karena takut akan ancaman gadis tersebut, tetapi karena ponselnya berdering.

"Sepuluh menit lagi, saya sampai ke rumah tua," kata Zayn. Lalu, lelaki itu memutus sambungannya dan menatap Refara tajam. 

"Aku mengubah rencana. Kamu harus melenyapkan janin yang ada di perut Irene," ucap Zayn.

"Saya tidak akan melakukannya." Refara menatap Zayn tak kalah tajam seperti menantangnya.

"Tidak ada penolakan atau semua pengobatan saudaramu akan diputus sepihak." Melenggang pergi meninggalkan Refara yang terdiam bak patung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status