Share

5. Bingung

Happy Reading

*****

"Pak, lepas. Kalau ada yang melihat bagaimana?" tanya Refara. Berusaha menepis pegangan tangan Ilham. "Terlalu dini apa yang Pak Ilham katakan tadi. Anda belum mengenal saya bahkan latar belakang saya pasti tidak Anda ketahui."

"Kata siapa?" jawab Ilham, enteng. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya ketika Refara hendak meninggalkannya.

"Apa Anda tahu bagaimana latar belakang keluarga saya? Pekerjaan saya sebelumnya dan mungkin masih banyak lagi yang belum Anda ketahui."

"Saya tahu semua tentangmu, Re. Apa kamu meragukan kemampuanku sebagai asistennya Pak Firhan?"

"Sudahlah, Pak. Jangan bercanda."

"Siapa yang bercanda. Aku serius, Re. Jadi, tolong pertimbangkan lagi permintaanku tadi." Ilham sudah akan meninggalkan Refara, tetapi suara gadis itu terdengar menginterupsi.

"Apa Pak Ilham masih akan mendekati saya jika latar belakang keluarga sangat buruk?"

"Seburuk apa keluargamu?"

"Silakan selidiki lagi bagaimana keluarga dan latar belakang saya." Refara melanjutkan langkah. Namun, ketika dia akan memasuki lift, seseorang mendorongnya masuk dengan cepat.

"Aduh," rintih Refara. Dia berniat memarahi orang yang mendorongnya, tetapi urung ketika wajah Zayn terlihat.

Lelaki itu bergerak mendekati Refara dengan kilat amarah. Ketakutan, sang perempuan mundur hingga punggungnya menempel pada dinding lift.

"Ini kantor. Sebaiknya, Anda tidak berbuat macam-macam," ucap Refara. Kedua tangannya menyilang menutupi bagian dada.

"Aku menyuruhmu mendekati Firhan dan menjauhkan perempuan itu darinya. Tapi, apa yang kamu lakukan tadi, hah?!"

Refara menutup mata dengan tubuh bergetar. Suara Zayn benar-benar menakutkan apalagi tatapan tajamnya yang seolah hendak menelan Refara bulat-bulat.

"Apa kamu begitu kesepian hingga menarik perhatian Ilham juga? Apa tawaranku kemarin begitu merendahkan hingga kamu memilih Ilham? Katakan, Refa!" bentak Zayn.

Lelaki itu kini mencengkeram kedua pipi Refara, kuat. Salah satu tangannya yang terbebas mengurung pergerakan sang gadis. Kobaran api kemarahan bercampur nafsu jelas terlihat di mata Zayn bahkan bibirnya  kini hampir tak berjarak lagi, embusan napasnya terasa panas menyentuh kulit Refara.

"Anda tahu bahwa saya bukan perempuan baik-baik. Jangan sampai saya melakukan hal yang tidak masuk akal untuk menyakiti Anda," ancam si perempuan. Di tangan Refara, sudah ada semprotan merica yang bisa digunakan untuk perlindungan diri.

"Lakukan!" Zayn bergerak cepat membungkam bibir Refara dengan bibirnya. Sedikit memaksakan keinginan untuk menikmati daging kenyal kemerahan itu.

Refara menggerakkan kepala ke kanan kiri. Gerakannya semakin cepat ketika Zayn semakin brutal menciumnya. Tak tahan lagi dengan perbuatan sang lelaki, perempuan itu menginjak kaki Zayn, keras. Tak hanya itu, si gadis juga memukul alat vital si lelaki dengan lutut.

Zayn melepaskan ciumannya. Sekuat tenaga menahan rasa sakit di bagian pusatnya. "Aku bisa melakukan lebih jika kamu tidak patuh."

Napas memburu dengan keadaan berantakan membuat Refara tidak menjawab perkataan Zayn. Dia memilih merapikan apa yang sudah berantakan tersebut sebelum pintu lift terbuka.

"Gila," ucap Refara ketika meninggalkan lift.

Zayn menegakkan badan. Tersenyum miring ketika ucapan Refara terdengar. Nyatanya, rasa sakit yang dia tampakkan tadi, hanyalah kebohongan. Memegang bibirnya, ciuman itu masih terasa hangat.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Zayn?" tanya Sailendra. Lelaki sepuh itu sudah berdiri di hadapannya kini.

"Kakek?"

"Ikut Kakek. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui." Sailendra berjalan terlebih dahulu, di belakangnya ada Zayn serta asistennya dan asisten Sailendra.

*****

Niat semula ingin makan siang di kantin, urung. Dia melihat Zayn dan asistennya tengah makan siang sambil membahas sesuatu. Refara memilih order makanan online dan kembali ke ruangannya. Segala perilaku tak senonoh Zayn terbayang jelas.

"Sialan memang. Kenapa ada orang sebejat dia di dunia ini. Aku kira, CEO mesum dan sok kuasa itu cuma ada di novel dan drama-drama saja. Tapi, kenapa di kehidupan nyata juga ada," umpat Refara sepanjang perjalanan menuju ruangannya.

Baru mendaratkan bokongnya ke kursi, interkom di depannya berbunyi nyaring.

"Ke ruangan saya sekarang," ucap seseorang yang suaranya mulai dikenali oleh Refara.

"Tapi, Pak. Ini jam makan siang."

"Lalu, kenapa kamu tidak makan siang malah ada di meja kerja. Saya tidak menerima penolakan." Telepon ditutup dengan suara yang cukup keras.

Refara menggelengkan kepala, heran sekaligus kesal. "Kenapa semua keluarganya sok kuasa banget, sih. Heran aku, apa tidak bisa jangan sok arogan gitu," umpatnya. Namun, dia tetap berdiri, menuju ruangan sang atasan.

"Masuk," suruh Firhan dari dalam setelah Refara mengetuk pintu.

Firhan menatap Refara dari atas sampai bawah, lalu tersenyum simpul. Perempuan itu dibuat terpesona oleh senyum si bos yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

"Selera berpakaianmu cukup bagus. Jadi, ikut saya setelah ini." Firhan mulai merapikan berkas di hadapannya.

"Apa maksudnya, Pak?"

"Tidak perlu banyak tanya. Cukup ikuti saya saja."

"Tapi, Pak. Saya belum makan siang dan sebentar lagi pesanan saya sampai."

"Kamu niat kerja apa makan?!" bentak Firhan dengan wajah mengerikan dan mata yang terbuka sempurna.

"Baik, Pak." Refara segera menunduk. Mulai mengikuti langkah Firhan ogah-ogahan hingga dia masuk ke mobil. Di sana sudah ada Ilham di bagian kemudi.

"Kamu di belakang, Re. Duduk bersebelahan dengan saya. Bisa bahaya jika kamu di samping Ilham," perintah Firhan ketika Refara hendak membuka pintu mobil di sebelah Ilham.

"Jika terus begini, kapan aku bisa dekat sama dia, Fir?" tanya Ilham yang membuat Refara menyipitkan mata.

"Tidak usah heran jika perkataannya tak lagi formal seperti tadi. Kami berdua sebenernya bersahabat," jelas Firhan setelah Refara duduk di sampingnya.

"Oo," sahut Refara. "Ngapain juga menjelaskan. Toh, aku tidak bertanya tentang semua ini. Terserah apa hubungan kalian, aku tidak tertarik," ucapnya dalam hati.

Mobil terhenti di mall, mereka semua turun dengan Firhan di bagian depan.

"Kamu sudah makan siang, Re?" tanya Ilham.

"Belum juga datang pesanan makan siang, Pak bos ngajak ke sini. Susah jika jadi karyawan seperti saya," keluh Refara.

"Tidak usah drama. Setelah kamu memilihkan baju untuk Irene, saya akan mentraktir makan siang."

"Jadi, saya diajak ke sini cuma untuk milihin baju Bu Irene?" tanya Refara sedikit kesal. Dalam hati mengumpat sikap Firhan yang seperti penjajah.

"Kalau mau beli baju juga, minta Ilham yang bayar. Dia punya banyak uang."

"Tidak perlu." Refara melangkah mendahului bosnya, masuk ke toko dengan merk terkenal mahal yang ada di mall tersebut.

Dua lelaki di belakang Refara mengikuti dengan gelengan kepala.

"Wanita selalu benar," bisik Ilham pada Firhan.

Si bos tersenyum. "Setelah ini, akan ada drama apalagi. Aku kira, Refara berbeda dengan wanita lainnya. Ternyata sama saja." Keduanya pun tertawa.

Refara yang merasa kesal, tanpa bertanya pada Firhan baju apa yang ingin dibelinya, langsung mengambil beberapa baju dengan merk ternama berharga fantastis.

"Saya cuma perlu satu baju untuk acara pesta nanti malam. Kenapa kamu mengambil baju begitu banyak?" tanya Firhan. Wajahnya mulai terlihat menakutkan dengan alis nyaris bertautan.

"Salah sendiri tidak mengatakan hal itu sebelumnya."

"Sudah mulai berani kamu?"

"Sudahlah, Fir. Masalah sepele tidak perlu dibesar-besarkan." Ilham memegang lengan atasannya. Berusaha meredam kemarahan Firhan.

Refara melengos, berjalan cepat untuk mengembalikan baju yang dia ambil ke tempat semula. Dia, hanya akan fokus mencari gaun pesta untuk calon istri atasannya.

Namun, baru satu baju yang berhasil dia kembalikan. Sebuah tangan berhasil menariknya dengan kuat ke arah ruang ganti.

"Tolong! Apa maumu?" teriak Refara. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status