Happy Reading
***** "Pak, lepas. Kalau ada yang melihat bagaimana?" tanya Refara. Berusaha menepis pegangan tangan Ilham. "Terlalu dini apa yang Pak Ilham katakan tadi. Anda belum mengenal saya bahkan latar belakang saya pasti tidak Anda ketahui." "Kata siapa?" jawab Ilham, enteng. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya ketika Refara hendak meninggalkannya. "Apa Anda tahu bagaimana latar belakang keluarga saya? Pekerjaan saya sebelumnya dan mungkin masih banyak lagi yang belum Anda ketahui." "Saya tahu semua tentangmu, Re. Apa kamu meragukan kemampuanku sebagai asistennya Pak Firhan?" "Sudahlah, Pak. Jangan bercanda." "Siapa yang bercanda. Aku serius, Re. Jadi, tolong pertimbangkan lagi permintaanku tadi." Ilham sudah akan meninggalkan Refara, tetapi suara gadis itu terdengar menginterupsi. "Apa Pak Ilham masih akan mendekati saya jika latar belakang keluarga sangat buruk?" "Seburuk apa keluargamu?" "Silakan selidiki lagi bagaimana keluarga dan latar belakang saya." Refara melanjutkan langkah. Namun, ketika dia akan memasuki lift, seseorang mendorongnya masuk dengan cepat. "Aduh," rintih Refara. Dia berniat memarahi orang yang mendorongnya, tetapi urung ketika wajah Zayn terlihat. Lelaki itu bergerak mendekati Refara dengan kilat amarah. Ketakutan, sang perempuan mundur hingga punggungnya menempel pada dinding lift. "Ini kantor. Sebaiknya, Anda tidak berbuat macam-macam," ucap Refara. Kedua tangannya menyilang menutupi bagian dada. "Aku menyuruhmu mendekati Firhan dan menjauhkan perempuan itu darinya. Tapi, apa yang kamu lakukan tadi, hah?!" Refara menutup mata dengan tubuh bergetar. Suara Zayn benar-benar menakutkan apalagi tatapan tajamnya yang seolah hendak menelan Refara bulat-bulat. "Apa kamu begitu kesepian hingga menarik perhatian Ilham juga? Apa tawaranku kemarin begitu merendahkan hingga kamu memilih Ilham? Katakan, Refa!" bentak Zayn. Lelaki itu kini mencengkeram kedua pipi Refara, kuat. Salah satu tangannya yang terbebas mengurung pergerakan sang gadis. Kobaran api kemarahan bercampur nafsu jelas terlihat di mata Zayn bahkan bibirnya kini hampir tak berjarak lagi, embusan napasnya terasa panas menyentuh kulit Refara. "Anda tahu bahwa saya bukan perempuan baik-baik. Jangan sampai saya melakukan hal yang tidak masuk akal untuk menyakiti Anda," ancam si perempuan. Di tangan Refara, sudah ada semprotan merica yang bisa digunakan untuk perlindungan diri. "Lakukan!" Zayn bergerak cepat membungkam bibir Refara dengan bibirnya. Sedikit memaksakan keinginan untuk menikmati daging kenyal kemerahan itu. Refara menggerakkan kepala ke kanan kiri. Gerakannya semakin cepat ketika Zayn semakin brutal menciumnya. Tak tahan lagi dengan perbuatan sang lelaki, perempuan itu menginjak kaki Zayn, keras. Tak hanya itu, si gadis juga memukul alat vital si lelaki dengan lutut. Zayn melepaskan ciumannya. Sekuat tenaga menahan rasa sakit di bagian pusatnya. "Aku bisa melakukan lebih jika kamu tidak patuh." Napas memburu dengan keadaan berantakan membuat Refara tidak menjawab perkataan Zayn. Dia memilih merapikan apa yang sudah berantakan tersebut sebelum pintu lift terbuka. "Gila," ucap Refara ketika meninggalkan lift. Zayn menegakkan badan. Tersenyum miring ketika ucapan Refara terdengar. Nyatanya, rasa sakit yang dia tampakkan tadi, hanyalah kebohongan. Memegang bibirnya, ciuman itu masih terasa hangat. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Zayn?" tanya Sailendra. Lelaki sepuh itu sudah berdiri di hadapannya kini. "Kakek?" "Ikut Kakek. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui." Sailendra berjalan terlebih dahulu, di belakangnya ada Zayn serta asistennya dan asisten Sailendra. ***** Niat semula ingin makan siang di kantin, urung. Dia melihat Zayn dan asistennya tengah makan siang sambil membahas sesuatu. Refara memilih order makanan online dan kembali ke ruangannya. Segala perilaku tak senonoh Zayn terbayang jelas. "Sialan memang. Kenapa ada orang sebejat dia di dunia ini. Aku kira, CEO mesum dan sok kuasa itu cuma ada di novel dan drama-drama saja. Tapi, kenapa di kehidupan nyata juga ada," umpat Refara sepanjang perjalanan menuju ruangannya. Baru mendaratkan bokongnya ke kursi, interkom di depannya berbunyi nyaring. "Ke ruangan saya sekarang," ucap seseorang yang suaranya mulai dikenali oleh Refara. "Tapi, Pak. Ini jam makan siang." "Lalu, kenapa kamu tidak makan siang malah ada di meja kerja. Saya tidak menerima penolakan." Telepon ditutup dengan suara yang cukup keras. Refara menggelengkan kepala, heran sekaligus kesal. "Kenapa semua keluarganya sok kuasa banget, sih. Heran aku, apa tidak bisa jangan sok arogan gitu," umpatnya. Namun, dia tetap berdiri, menuju ruangan sang atasan. "Masuk," suruh Firhan dari dalam setelah Refara mengetuk pintu. Firhan menatap Refara dari atas sampai bawah, lalu tersenyum simpul. Perempuan itu dibuat terpesona oleh senyum si bos yang belum pernah dia lihat sebelumnya. "Selera berpakaianmu cukup bagus. Jadi, ikut saya setelah ini." Firhan mulai merapikan berkas di hadapannya. "Apa maksudnya, Pak?" "Tidak perlu banyak tanya. Cukup ikuti saya saja." "Tapi, Pak. Saya belum makan siang dan sebentar lagi pesanan saya sampai." "Kamu niat kerja apa makan?!" bentak Firhan dengan wajah mengerikan dan mata yang terbuka sempurna. "Baik, Pak." Refara segera menunduk. Mulai mengikuti langkah Firhan ogah-ogahan hingga dia masuk ke mobil. Di sana sudah ada Ilham di bagian kemudi. "Kamu di belakang, Re. Duduk bersebelahan dengan saya. Bisa bahaya jika kamu di samping Ilham," perintah Firhan ketika Refara hendak membuka pintu mobil di sebelah Ilham. "Jika terus begini, kapan aku bisa dekat sama dia, Fir?" tanya Ilham yang membuat Refara menyipitkan mata. "Tidak usah heran jika perkataannya tak lagi formal seperti tadi. Kami berdua sebenernya bersahabat," jelas Firhan setelah Refara duduk di sampingnya. "Oo," sahut Refara. "Ngapain juga menjelaskan. Toh, aku tidak bertanya tentang semua ini. Terserah apa hubungan kalian, aku tidak tertarik," ucapnya dalam hati. Mobil terhenti di mall, mereka semua turun dengan Firhan di bagian depan. "Kamu sudah makan siang, Re?" tanya Ilham. "Belum juga datang pesanan makan siang, Pak bos ngajak ke sini. Susah jika jadi karyawan seperti saya," keluh Refara. "Tidak usah drama. Setelah kamu memilihkan baju untuk Irene, saya akan mentraktir makan siang." "Jadi, saya diajak ke sini cuma untuk milihin baju Bu Irene?" tanya Refara sedikit kesal. Dalam hati mengumpat sikap Firhan yang seperti penjajah. "Kalau mau beli baju juga, minta Ilham yang bayar. Dia punya banyak uang." "Tidak perlu." Refara melangkah mendahului bosnya, masuk ke toko dengan merk terkenal mahal yang ada di mall tersebut. Dua lelaki di belakang Refara mengikuti dengan gelengan kepala. "Wanita selalu benar," bisik Ilham pada Firhan. Si bos tersenyum. "Setelah ini, akan ada drama apalagi. Aku kira, Refara berbeda dengan wanita lainnya. Ternyata sama saja." Keduanya pun tertawa. Refara yang merasa kesal, tanpa bertanya pada Firhan baju apa yang ingin dibelinya, langsung mengambil beberapa baju dengan merk ternama berharga fantastis. "Saya cuma perlu satu baju untuk acara pesta nanti malam. Kenapa kamu mengambil baju begitu banyak?" tanya Firhan. Wajahnya mulai terlihat menakutkan dengan alis nyaris bertautan. "Salah sendiri tidak mengatakan hal itu sebelumnya." "Sudah mulai berani kamu?" "Sudahlah, Fir. Masalah sepele tidak perlu dibesar-besarkan." Ilham memegang lengan atasannya. Berusaha meredam kemarahan Firhan. Refara melengos, berjalan cepat untuk mengembalikan baju yang dia ambil ke tempat semula. Dia, hanya akan fokus mencari gaun pesta untuk calon istri atasannya. Namun, baru satu baju yang berhasil dia kembalikan. Sebuah tangan berhasil menariknya dengan kuat ke arah ruang ganti. "Tolong! Apa maumu?" teriak Refara.Happy Reading *****"Tutup mulutmu jika tidak ingin ada keributan di tempat ini," bisik seseorang di telinga kiri Refara. "Aku harap, kamu mau membantuku."Refara menatap aneh pada lelaki di depannya. Keberadaannya benar-benar tak terprediksi sama sekali. Refara sempat menyangka jika yang menarik tangannya tadi adalah Zayn mengingat jika lelaki itu selalu muncul tiba-tiba di hadapannya.Namun, prediksinya meleset. Bukan Zayn yang menariknya, melainkan Gandy. "Bantu apa. Pak?" tanya Refara. Walau setengah terkejut, gadis itu tetap menampilkan profesional kerja. "Carikan aku gaun pesta.""Untuk Bapak?" "Kamu bodoh apa gimana? Masak aku mau beli baju pesta di outlet pakaian wanita, yang bener saja." Gandy menatap tajam pada Refara. "Dasar keluarga sadis. Ketiga saudara ini punya kesamaan yaitu bermulut pedas," umpat sang gadis dalam hati. "Sana carikan aku satu baju pesta dengan ukuran M. Kalau bisa yang paling mahal." Gandy mendorong tubuh Refara keluar. "Ingat, jangan sampai Firha
Happy Reading*****Sepeninggal Zayn, Refara terduduk lemas di kursi teras. Pikirannya melanglang buana mencari cara untuk melakukan tugas yang diberikan lelaki kejam tadi. Jika dia melenyapkan janin yang ada di perut Irene, maka dia sudah menjadi pembunuh. Namun, jika tugas itu tidak segera diselesaikan, nyawa saudaranya dipertaruhkan.Gadis itu memejamkan mata, sejenak membayangkan kejadian sebulan lalu yang mengakibatkan dunianya berbalik 180 derajat. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua, serta adiknya dan menyebabkan saudara tertuanya sekarang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan itu teramat menyakitkan ketika dia harus menguburkan satu per satu anggota keluarganya padahal dirinya sendiri tengah menghadapi masalah pelik."Tidak, aku harus melaksanakan tugas dari Zayn. Mas Harri adalah kunci utama kecelakaan itu. Aku yakin, jika dia sadar nanti pasti akan menceritakan kejadian yang sebenarnya." Mata Refara terbuka sempurna setelah menggumamkan kalimat
Happy Reading*****Tanpa sadar kalimat tersebut terucap cukup keras oleh Refara sehingga membuat sosok lelaki yang berbincang tadi melirik ke arahnya."Siapa di sana?" tanya si lelaki cukup keras. Refara bertindak cepat dengan meninggalkan keduanya. "Siapa, Zayn?" tanya si perempuan. Zayn yang tengah berbincang dengan Irene tadi, mengangkat kedua bahunya. "Mungkin, cuma orang yang mau ke toilet.""Bagaimana jika dia mendengar percakapan kita tadi?" "Apa peduliku?" Zayn begitu santai menanggapi pertanyaan Irene. Berbalik arah meninggalkan perempuan itu sendirian. "Sial. Kenapa aku masih belum bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah lama bersama," umpat Irene. Lalu, dia menghubungi seseorang untuk memastikan jika tidak ada yang mengetahui percakapannya dengan Zayn tadi. Kembali ke acara pesta dengan duduk di sebelah Ilham. Jantung Refara bergerak cepat ketika tatapan tajam Zayn mengarah padanya. Padahal, lelaki itu tengah menemani Elvira, tetapi entah mengapa Refara merasakan ses
Happy Reading*****Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, Zayn menampilkan wajah segar dengan rambut basah. Walau luka pada lengannya masih terlihat merah, tetapi lelaki itu tidak lagi menunjukkan kesakitan."Kenapa berteriak?""Apa yang sudah Anda lakukan?""Menurutmu?" Zayn balik bertanya. Lelaki itu bahkan tak segan mengenakan pakaiannya di depan Refara. Seolah-olah sang perempuan tidak ada di sana."Saya benci Anda. Selalu memanfaatkan situasi." Refara turun dari ranjang. Lalu, seperti memastikan sesuatu, perempuan itu tersenyum. "Ternyata aku masih perawan," ucapnya lirih. "Yakin masih perawan?" ucap Zayn. Lelaki itu bahkan tersenyum, seperti meremehkan ucapan Refara."Bukankah tidak ada noda darah? Tentunya kesucian itu masih terjaga." Di hati, Refara berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kejadian yang akan merugikannya kelak."Bodoh atau pura-pura bodoh. Tanda seorang cewek masih virgin itu bukan karena ada noda darah ketika pertama berhubungan intim. Coba baca lagi. Ad
Happy Reading*****Semenjak kejadian di hotel, Refara tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Instruksi tugas yang harus dikerjakan Refara pun, selalu Revan yang menyampaikan. Sang gadis tidak ambil pusing. Langkahnya semakin ringan ketika Zayn tidak terlalu ikut campur dengan tugas yang sudah dia susun. Hubungan Refara dengan Firhan juga semakin baik. Lelaki itu tidak lagi kaku dan dingin seperti sebelumnya walau masih memasang jarak pembatas. Besok, acara pernikahan Firhan dan Irene akan dilangsungkan. Pekerjaan Refara kian bertambah ketika diminta untuk menjadi pendamping pada pernikahan keduanya padahal dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Zayn.Menengok kanan kiri, Refara mulai menggerakkan jemarinya mengirimkan pesan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum membaca balasan pesannya. "Belum pulang, Re?" tanya Ilham mengagetkan Refara."Belum, Pak," sahut Refara gugup. "Mau pulang bareng?""Saya bawa motor sendiri,
Happy Reading*****"Kita mu ke mana, Re?" tanya Zayn setelah sampai di tempat sepi tak jauh dari toilet. "Pak, saya harap Anda tidak marah. Sungguh, saya tidak mengetahui bahwa lelaki itu sudah menikahi Bu Irene. Anda tidak boleh menghukum saya karena tugas yang diberikan sudah terselesaikan dengan baik tanpa harus membunuh janin yang tak berdosa," terang Refara."Tapi, caramu berakibat fatal nantinya. Aku tidak suka kamu bertindak gegabah seperti ini." Zayn memegang kuat lengan Refara."Maaf, jika kejadian tidak bisa menyatukan kembali cinta Anda dan Irene." Suara Refara mulai bergetar apalagi ketika netranya bersirobok dengan tatapan tajam Zayn. "Maksudmu?""Saya tahu Anda dan Irene memiliki hubungan spesial di masa lalu. Oleh karena itulah Anda meminta saya memisahkannya dari Pak Firhan dan melenyapkan janin di perutnya. Saya rasa, Anda harus mengkaji ulang jika ingin tetap bersama Irene."Zayn melepas tangannya dari pergelangan Refara, seketika tawanya meledak tak mampu ditahan
Happy Reading*****"Kapan, Mas, masuk?" tanya Firhan. "Saya permisi dulu, Pak." Refara meninggalkan keduanya. "Tidak perlu keluar, Re. Mas Zayn pasti tidak akan lama. Katakan ada apa, Mas? Jika kedatanganmu cuma untuk mengolok-olokku, kamu tidak perlu melakukannya. Aku tahu, aku lelaki bodoh yang percaya begitu saja pada perkataan Irene. Harusnya, ketika aku mendengar percakapan kalian waktu itu, aku melepaskan semua tipu dayanya untuk menjeratku."Zayn mendengkus. "Aku datang ke sini cuma mau ngasih tahu. Ada berkas yang harus kamu tanda tangani terkait ekspor ke Arab Saudi." Lelaki itu melempar map berwarna hitam pada Firhan."Mas, kok kamu tega meminta aku kerja dengan keadaan seperti ini.""Siapa yang memintamu kerja? Kamu, hanya perlu tanda tangan," tegas Zayn. Merasa sebagai orang asing yang tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran dua pewaris perusahaan tekstil terbesar di pulau itu, Refara pamit pulang. "Re, aku masih sangat membutuhkanmu.""Tapi, Pak. Saya tidak bisa m
Happy Reading*****Zayn menyentil kening Refara. "Apa yang kamu pikirkan? Bisa-bisanya tidak fokus. Sana masuk, Firhan sudah menunggu sejak tadi," peringatnya."Hah, iya." Sejenak, Refara melupakan pertanyaannya tadi. Wajah Firhan terlihat menakutkan saat ini. Refara duduk di sebelah Firhan yang kebetulan satu mobil dengan Gandy. Si sulung itu, saat ini duduk di samping sopir, sedangkan Zayn satu mobil dengan Sailendra. "Kamu yakin tidak memiliki keinginan menikahi Elvira, Fir?" tanya Gandy setelah mereka menempuh setengah perjalanan menuju hotel pesta berlangsung. "Tidak berminat sama sekali. Malas banget dengan tie perempuan seperti dia," sahut Firhan, "Mas kan tahu gimana tipeku.""Oke. Aku percaya kamu tidak akan mengkhianatiku," sahut Gandy, "Boleh ngasih saran?""Silakan."Refara masih setia mendengarkan percakapan dua lelaki itu, dia sama sekali tidak berniat menyela atau bergabung dengan keduanya. Di pikirannya kini, hanya ada jepit dasi yang dipakai Zayn. Kenapa berbeda