"Kiska."
Killian terpaksa mengetuk pintu kamar mandi di mana Selena berada. Setidaknya sudah tiga puluh menit berlalu, tapi perempuan itu masih belum juga keluar.
"Kiska? Apakah kamu masih lama?" tanyanya lagi, kembali mengetuk dan menunggu dengan sabar. "Kiska?"
Masih belum ada sahutan apa pun yang terdengar dari balik pintu, membuat Killian mulai merasa heran. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah semua perempuan memang selalu menghabiskan waktu selama ini hanya untuk berganti pakaian?
Atau ... mungkinkah terjadi sesuatu di dalam kamar mandi?
Bagaimana kalau Selena ternyata tiba-tiba pingsan di dalam sana? Bagaimana kalau sebenarnya perempuan itu sedang terkapar di atas lantai kamar mandi yang dingin?
Deg!
Untuk sesaat Killian berdiri terpaku. Tiba-tiba saja ada rasa cemas yang menyergapnya. Dalam hati Killian lantas memaki dirinya sendiri. Dia merasa bodoh karena sudah membiarkan Selena berganti pakaian sendirian saja.
Sehar
Keheningan melingkupi suasana di dalam sedan mewah tersebut. Selena duduk diam dan memasang ekspresi wajah kaku, sembari memangku Liliana yang sekarang tengah tertidur. Sementara itu di sisi lain, ada Andreas, yang sejak tadi berusaha keras agar tidak terlalu sering tersenyum. "Katakan, Reas." Selena akhirnya bersuara, memecah keheningan yang menggantung sejak mereka pergi meninggalkan rumah sakit tadi. Menoleh ke arah Andreas, sepasang mata abu perempuan itu menatapnya dengan bersungguh-sungguh. "Bagaimana caranya sehingga kamu bisa tiba-tiba ada di rumah sakit seperti tadi?" Andreas menutupi mulutnya dengan tangan lalu sedikit terbatuk, mencoba menghalau kenyataan bahwa saat ini dia sedang tersenyum lebar. "Bi Likah tadi menghubungi Ron, Babe," jawabnya. "Dia memberi tahu kalau kamu keluar untuk mencari anak itu." Ada dengusan napas kasar yang sekilas terdengar ketika Selena mendengarnya. R
Sementara itu, di kediaman Roxanne.Waktu sudah menunjukkan tengah malam, tapi Ansia belum juga bisa tertidur. Memasuki kamar kedua anaknya, dia memandangi Alexis dan Alden yang saat ini tengah tertidur pulas, dan lantas tersenyum lembut.Ansia masih sempat membelai kepala kedua jagoannya, menciumi mereka bergantian, sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.Ah, hari ini entah berapa kali sudah perempuan itu merasa begitu menyesali diri."Ke mana sebenarnya anak itu?" gumamnya sembari menyandarkan kepala ke kaca jendela kamar anaknya dan mengamati taman kediaman keluarga Roxanne yang sepi. "Padahal tadi aku sudah menunggunya selama hampir tiga jam, tapi dia tidak juga datang."Ada perasaan menyesal yang begitu dalam yang Ansia rasakan. Rasanya sedih sekali, seolah perempuan itu baru saja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang
"Apa kamu sudah gila, Hugo? Keluar dari keluarga Harron hanya demi seorang perempuan? Apalagi perempuan itu bukanlah perempuan yang setara dengan keluarga kita!""Ayah, tolong jaga ucapan Ayah," ujar Hugo dengan suara yang nyaris menggeram. Apabila dilihat dari ekspresi wajahnya, lelaki itu jelas sedang berusaha menahan amarah. "Keputusanku untuk keluar dari keluarga Harron bukan semata-mata karena Ansia, tapi karena aku merasa bahwa diriku sudah tidak lagi dianggap ada di sini.""Nak, apa maksudmu bicara seperti itu?" Kali ini, Maria Harron yang ikut berbicara. "Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu?"Hugo menatap ke arah Ibunya selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Adakah salah satu dari kita yang sudah menyempatkan datang menemui mereka, sekedar untuk meminta maaf?"Hening sesaat, sampai akhirnya Derrick Harron berkata dengan nada membentak, "Memangnya, kenapa kita harus meminta maaf kepada mereka? Keluarga Harron tidak berbuat kesalahan apa pun. Kecela
Derrick Harron pulang dengan sikap marah.Memasuki ruang kerjanya, lelaki baya itu segera saja menggebrak meja kerja dan menyapu semua yang ada di atasnya. Terakhir, dia mengeluarkan suara geraman mengerikan bernada marah."Ada apa ini?" tanya Maria Harron, yang kebetulan saja melintas di depan ruang kerja. Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya perempuan yang berusia nyaris separuh abad itu berencana akan keluar. "Derrick, kenapa kamu marah-marah begini? Memangnya, apa yang sudah terjadi?"Bukannya langsung menjawab, tapi Derrick hanya memandang istrinya sekilas sebelum kemudian mendengus kesal."Apa kamu masih belum mendengar berita soal itu?" tanyanya, masih dengan nada marah."Berita? Berita apa?" Maria balas bertanya dengan dahi berkerut dan wajah kebingungan. "Derrick, kalau aku tahu, tentu aku tidak akan bertanya. Sebenarnya, ada apa, sih?""Itu
Apa lebih baik kalau anak itu benar-benar aku coret dari kartu keluarga, ya? Selama setengah jam terakhir, Ivona benar-benar serius memikirkan satu kemungkinan tersebut. Saat ini pun, sudah ada kedutan-kedutan kecil yang mulai muncul di pelipisnya. Yah, hal yang wajar sebenarnya. Mengingat dia harus tetap bisa tersenyum dan memasang sikap ramah, sementara di dalam hati perempuan yang masih terlihat cantik di usia separuh bayanya itu sebenarnya sedang luar biasa merasa dongkol. "Selamat datang, Nyonya Agentine. Mohon maaf karena sudah membuat Anda menunggu terlalu lama." Ivona mengeratkan gerahamnya dan menarik napas dalam terlebih dulu, sebelum akhirnya melebarkan senyum dan membalas sapaan dari Maria Harron dengan tidak kalah ramahnya. "Tidak apa-apa, Nyonya Harron. Saya menyadari bahwa memang sayalah yang bersalah karena sudah datang tanpa memberi pemberitahuan sebelu
Liliana nyaris melompat-lompat ketika berjalan.Wajah mungilnya dihiasi senyuman dan kedua pipinya yang menggemaskan pun bergerak naik turun dengan lucu, mengikuti gerak langkahnya."Sepertinya kamu bahagia sekali, ya?" tanya Ashin, yang sekarang tengah menggandeng gadis cilik itu, berjawab anggukan kepala yang penuh semangat."Apakah kamu sesuka itu karena akan bertemu dengan Bos?" tanyanya lagi. Namun kemudian, dia lebih seperti sedang menggumam sendiri. "Aneh. Padahal Bos itu orang yang sangat menyeramkan, tapi kenapa kamu malah merasa gembira untuk bertemu dengannya? Apa kamu sama sekali tidak takut?"Liliana sedikit memiringkan kepalanya, menatap Ashin dengan pandangan tidak mengerti."Lihat saja." Ashin masih asyik berkata sendiri. "Hari ini Bos tiba-tiba memintaku untuk menjemputmu dari sekolah. Dia juga memberikan perintah untuk langsung membawamu ke kantor menemuinya. Di
Selena menatap tidak percaya ke layar ponselnya.Apa benar kalau panggilan teleponnya baru saja ditolak?"Ini ...," bisiknya, kesulitan untuk mencari kata-kata. "Ya, Tuhan! Apa-apaan, sih? Kenapa Kills justru menolak panggilanku pada saat seperti sekarang?"Terbelah antara perasaan kesal dan panik, Selena lantas mengetikkan sebuah pesan dan mengirimkannya. Namun, bahkan setelah lima menit dia menunggu pun, tidak kunjung ada pesan yang masuk sebagai balasannya."Padahal pesannya sudah dibaca, tapi kenapa belum dibalas-balas juga?" Perempuan itu mengeluarkan suara bernada geram. "Apa-apaan sebenarnya ini?"Berjalan dalam amarah, Selena lantas masuk ke mobil dan berkata, "Tolong antarkan aku ke gedung Ardhana.""Tapi, Nona, untuk apa?" tolak Ronald dengan segera. Sejak kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu, Andreas memang menempatkannya untuk selalu menema
"Apa kamu baik-baik saja?"Ansia mengambil tisu yang disodorkan Killian dan membersit hidungnya kuat-kuat. Dia lalu mengembalikan tisu bekas yang sudah basah oleh ingusnya ke tangan Killian, sebelum akhirnya kembali terisak.Killian menatap gumpalan tisu bekas di tangannya dan segera membuangnya. Kalau saja mereka sedang berada di situasi yang lain, kemungkinan besar dia akan mengomeli Ansia karena sikap joroknya tadi. Namun melihat kondisi perempuan itu saat ini, membuatnya lantas berubah pikiran."Ans, ayolah," ujarnya kemudian, berusaha membujuk. "Kalau kamu seperti ini terus, nanti lama-lama aku akan disangka sudah melakukan sesuatu yang tidak baik terhadapmu."Meski kedua matanya sudah membengkak sekalipun, Ansia masih bisa memberi Killian tatapan tajam."Perempuan itu," kata Ansia kemudian dengan suara yang sengau. "Siapa dia?""Bukankah tadi kamu juga