Selena menatap tidak percaya ke layar ponselnya.
Apa benar kalau panggilan teleponnya baru saja ditolak?
"Ini ...," bisiknya, kesulitan untuk mencari kata-kata. "Ya, Tuhan! Apa-apaan, sih? Kenapa Kills justru menolak panggilanku pada saat seperti sekarang?"
Terbelah antara perasaan kesal dan panik, Selena lantas mengetikkan sebuah pesan dan mengirimkannya. Namun, bahkan setelah lima menit dia menunggu pun, tidak kunjung ada pesan yang masuk sebagai balasannya.
"Padahal pesannya sudah dibaca, tapi kenapa belum dibalas-balas juga?" Perempuan itu mengeluarkan suara bernada geram. "Apa-apaan sebenarnya ini?"
Berjalan dalam amarah, Selena lantas masuk ke mobil dan berkata, "Tolong antarkan aku ke gedung Ardhana."
"Tapi, Nona, untuk apa?" tolak Ronald dengan segera. Sejak kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu, Andreas memang menempatkannya untuk selalu menema
"Apa kamu baik-baik saja?"Ansia mengambil tisu yang disodorkan Killian dan membersit hidungnya kuat-kuat. Dia lalu mengembalikan tisu bekas yang sudah basah oleh ingusnya ke tangan Killian, sebelum akhirnya kembali terisak.Killian menatap gumpalan tisu bekas di tangannya dan segera membuangnya. Kalau saja mereka sedang berada di situasi yang lain, kemungkinan besar dia akan mengomeli Ansia karena sikap joroknya tadi. Namun melihat kondisi perempuan itu saat ini, membuatnya lantas berubah pikiran."Ans, ayolah," ujarnya kemudian, berusaha membujuk. "Kalau kamu seperti ini terus, nanti lama-lama aku akan disangka sudah melakukan sesuatu yang tidak baik terhadapmu."Meski kedua matanya sudah membengkak sekalipun, Ansia masih bisa memberi Killian tatapan tajam."Perempuan itu," kata Ansia kemudian dengan suara yang sengau. "Siapa dia?""Bukankah tadi kamu juga
Killian sengaja menghentikan mobilnya, beberapa meter sebelum sampai di kediaman utama keluarga Ardhana. Sudah beberapa tahun berselang, semenjak dia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah yang sebenarnya menjadi tempat tinggalnya dari kecil. Sejak peristiwa tragis yang menimpa Aila lima tahun lalu, Killian benar-benar tidak sanggup untuk tetap tinggal di kediaman mewah tersebut. Sesak sekali rasanya. Di setiap sudut rumah yang ada, selalu ada ingatan soal Aila dan itu membuatnya semakin putus asa dan tenggelam dalam kesedihan. Kediaman itu kini bagai sebuah tempat yang menyimpan semua mimpi buruknya. "Tidak apa-apa," gumamnya, mencengkeram erat setir mobilnya. "Tidak apa-apa. Sekarang, ada sesuatu yang benar-benar perlu aku lakukan." Menarik napas panjang, lelaki itu pun kembali menjalankan mobilnya. Hari ini, setelah beberapa tahun berselang, Killian kembali mem
"Nyaris tidak ada bukti apa pun yang bisa saya temukan, Tuan Muda. Hanya ada sedikit sekali petunjuk yang bisa saya jadikan sebagai pegangan." Ada kerutan tipis yang mulai muncul di dahi Killian. "Yang pertama adalah adanya bekas ban yang berasal dari dua jenis mobil yang berbeda. Jejak yang pertama, menandakan ada bekas mengerem dan alur ban yang tertinggal pun cocok dengan ban mobil yang digunakan oleh Nyonya Muda. Sementara untuk jejak ban yang kedua, apabila dilihat dari bekas yang ditinggalkan, seperti berasal dari ban mobil yang digas secara mendadak." "Apa polisi tidak bisa menyadari hal tersebut?" "Mereka sebenarnya juga sudah mengetahui soal itu, termasuk mengenai kondisi bagian belakang mobil Nyonya Muda yang rusak parah. Namun, yang menjadi kendala adalah tidak adanya bukti lain, sehingga hal tersebut membuat pihak kepolisian mengalami kesulitan untuk memperkirakan kejadian yang se
"Nona Harron bisa sampai berhubungan dengan lelaki itu adalah melalui bantuan salah satu pegawai yang bekerja di keluarganya. Kalau menurut pendapat saya, sepertinya beliau melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan Tuan dan Nyonya Besar Harron, juga Tuan Muda Hugo."Killian tidak memberi tanggapan apa pun. Jangankan menjawab, melirik ke arah Erick pun tidak. Lelaki itu hanya bertopang dagu dengan sebelah tangan dan membuang pandangan ke luar jendela mobil."Lelaki itu, Evan, dia berhasil mencelakakan Nyonya Muda karena sudah mengintai gedung kantor kita selama beberapa hari sebelumnya," ujar Erick lagi, melanjutkan laporannya. Sebab setelah Killian pergi, lelaki baya itu lantas memutuskan untuk meneruskan kembali proses interogasi. "Lalu, kebetulan saja pada hari itu Nyonya Muda datang ke kantor, sehingga dia pun bergegas membuntuti ketika beliau pergi. Sampai kemudian ...."Erick tidak lagi meneruskan ucapannya. Dia me
Selena menghela napas panjang. Sejak meninggalkan ruang rias Ansia, perasaannya dengan cepat menjadi muram. Apalagi, ditambah dengan kehadiran Andreas yang terus menempel dengannya seperti ini. "Aku hanya khawatir karena kamu pergi terlalu lama, Babe," ujarnya beralasan. "Makanya, aku datang menyusulmu." "Aku hanya pergi selama lima belas menit, Reas," balas Selena dengan menahan rasa kesalnya. "Jangan bersikap berlebihan." "Bukan berlebihan, tapi itu karena aku khawatir." "Memangnya, apa yang kamu khawatirkan?" "Itu—" Andreas terdiam untuk sejenak, sebab bahkan dia sendiri pun tidak paham. Mengapa akhir-akhir ini dia kerap didera oleh perasaan cemas? "Aku ... aku hanya khawatir kalau kamu akan meninggalkanku. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dirimu, Babe." Selena menghembuskan napas berat sekali lagi. "Sekarang beri t
Beberapa saat sebelumnya."Kills?" Selena terperanjat. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berada di sin—"Kali berikutnya, perempuan itu pun terkesiap ketika Killian dengan cepat sudah langsung mendekatinya."Aku merindukanmu, Queen," ujarnya, semakin memperpendek jarak di antara mereka. "Aku benar-benar merindukanmu."Selama ini ada begitu banyak hal yang mungkin saja tidak bisa Selena pahami, tapi untuk sekarang perempuan itu begitu yakin atas satu hal.Bahwa dia pun sangat merindukan lelaki ini."Aku juga merindukanmu, Kills," sahut Selena, benar-benar berharap kalau Killian memeluknya saat ini juga. Namun seolah tidak memahami keinginannya, Killian justru berhenti dengan menyisakan sedikit jarak. "Kenapa kamu sama sekali tidak menghubungiku? Apakah ... apakah kamu tidak menyukaiku lagi? Atau apakah kamu tidak lagi menginginkanku?"&nbs
Charlotte bersenandung sendiri.Rupanya saat ini putri tunggal keluarga Harron tersebut dalam suasana hati yang bahagia. Sebab, bagaimana tidak?Hari ulang tahunnya hanya tinggal sebentar lagi. Ditambah, ada kejutan menyenangkan yang akan dia terima di hari kelahirannya tersebut."Bagaimana dengan gaun ini, Nona?" tanya salah seorang asisten desainer, sembari menunjukkan sebuah contoh gaun bergaya sabrina dengan warna putih. "Warna putih pasti akan terlihat sangat cocok bila Anda kenakan."Wajah Charlotte seketika cemberut. "Apa menurutmu gaun yang sederhana seperti itu layak untukku?"Asisten desainer itu pun terdiam. Gaun yang dia rekomendasikan memang bergaya simpel, tapi terlihat elegan dan juga manis.Namun karena dia paham bahwa setiap orang memiliki selera masing-masing, maka dengan senyuman di wajah perempuan itu pun lantas bertanya, "Kalau begitu, ga
"Brengsek!"Andreas membanting jam digital yang semula berada di atas meja kerjanya. Tidak berhenti sampai di situ, dia juga berlanjut melemparkan beberapa benda yang lain."Kenapa lelaki seperti dia tidak menghilang saja? Sialan!"Sesaat Ronald memejamkan mata ketika Andreas kembali membanting benda lain, kali ini bahkan dibarengi dengan gebrakan meja yang kuat.Menarik napas dalam-dalam, asisten pribadi itu berusaha untuk tetap bisa bersikap tenang. Sebab sejak pulang dari acara pernikahan Ansia Roxanne tadi siang, atasannya itu terus saja marah-marah.Andreas hanya sanggup menahan amarah, setidaknya sampai mengantarkan Selena pulang. Rupanya lelaki itu ingin agar tetap bisa terlihat bersikap tenang, apabila di hadapan tunangannya.Namun setelah itu, barulah sifat Andreas yang sebenarnya pun keluar.Bahkan hingga waktu yang saat i