Selena menghela napas panjang.
Sejak meninggalkan ruang rias Ansia, perasaannya dengan cepat menjadi muram. Apalagi, ditambah dengan kehadiran Andreas yang terus menempel dengannya seperti ini.
"Aku hanya khawatir karena kamu pergi terlalu lama, Babe," ujarnya beralasan. "Makanya, aku datang menyusulmu."
"Aku hanya pergi selama lima belas menit, Reas," balas Selena dengan menahan rasa kesalnya. "Jangan bersikap berlebihan."
"Bukan berlebihan, tapi itu karena aku khawatir."
"Memangnya, apa yang kamu khawatirkan?"
"Itu—" Andreas terdiam untuk sejenak, sebab bahkan dia sendiri pun tidak paham. Mengapa akhir-akhir ini dia kerap didera oleh perasaan cemas? "Aku ... aku hanya khawatir kalau kamu akan meninggalkanku. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dirimu, Babe."
Selena menghembuskan napas berat sekali lagi. "Sekarang beri t
Beberapa saat sebelumnya."Kills?" Selena terperanjat. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berada di sin—"Kali berikutnya, perempuan itu pun terkesiap ketika Killian dengan cepat sudah langsung mendekatinya."Aku merindukanmu, Queen," ujarnya, semakin memperpendek jarak di antara mereka. "Aku benar-benar merindukanmu."Selama ini ada begitu banyak hal yang mungkin saja tidak bisa Selena pahami, tapi untuk sekarang perempuan itu begitu yakin atas satu hal.Bahwa dia pun sangat merindukan lelaki ini."Aku juga merindukanmu, Kills," sahut Selena, benar-benar berharap kalau Killian memeluknya saat ini juga. Namun seolah tidak memahami keinginannya, Killian justru berhenti dengan menyisakan sedikit jarak. "Kenapa kamu sama sekali tidak menghubungiku? Apakah ... apakah kamu tidak menyukaiku lagi? Atau apakah kamu tidak lagi menginginkanku?"&nbs
Charlotte bersenandung sendiri.Rupanya saat ini putri tunggal keluarga Harron tersebut dalam suasana hati yang bahagia. Sebab, bagaimana tidak?Hari ulang tahunnya hanya tinggal sebentar lagi. Ditambah, ada kejutan menyenangkan yang akan dia terima di hari kelahirannya tersebut."Bagaimana dengan gaun ini, Nona?" tanya salah seorang asisten desainer, sembari menunjukkan sebuah contoh gaun bergaya sabrina dengan warna putih. "Warna putih pasti akan terlihat sangat cocok bila Anda kenakan."Wajah Charlotte seketika cemberut. "Apa menurutmu gaun yang sederhana seperti itu layak untukku?"Asisten desainer itu pun terdiam. Gaun yang dia rekomendasikan memang bergaya simpel, tapi terlihat elegan dan juga manis.Namun karena dia paham bahwa setiap orang memiliki selera masing-masing, maka dengan senyuman di wajah perempuan itu pun lantas bertanya, "Kalau begitu, ga
"Brengsek!"Andreas membanting jam digital yang semula berada di atas meja kerjanya. Tidak berhenti sampai di situ, dia juga berlanjut melemparkan beberapa benda yang lain."Kenapa lelaki seperti dia tidak menghilang saja? Sialan!"Sesaat Ronald memejamkan mata ketika Andreas kembali membanting benda lain, kali ini bahkan dibarengi dengan gebrakan meja yang kuat.Menarik napas dalam-dalam, asisten pribadi itu berusaha untuk tetap bisa bersikap tenang. Sebab sejak pulang dari acara pernikahan Ansia Roxanne tadi siang, atasannya itu terus saja marah-marah.Andreas hanya sanggup menahan amarah, setidaknya sampai mengantarkan Selena pulang. Rupanya lelaki itu ingin agar tetap bisa terlihat bersikap tenang, apabila di hadapan tunangannya.Namun setelah itu, barulah sifat Andreas yang sebenarnya pun keluar.Bahkan hingga waktu yang saat i
Salahkah bila dia berharap agar bisa mendapatkan kesempatan kedua?"Ayo kita berpisah," ujar Andreas waktu itu. Dia bicara dengan nada enteng, seolah ucapannya tadi bukanlah sesuatu yang cukup penting.Hal tersebut sangat berkebalikan dengan perempuan bermata abu yang kini memandangnya dengan wajah pucat. Selena Hills."A—apa? Tapi, kenapa? Andreas, kenapa kamu tiba-tiba—""Yah, ingin saja. Lagi pula, aku juga sudah bosan denganmu, Babe. Ah, tunggu. Tentu saja mulai sekarang aku tidak perlu memanggilmu seperti itu lagi. Benar begitu kan, Nona Hills?"Selena Hills tidak sanggup mengatakan apa pun. Perempuan yang sebenarnya sudah mengenal Andreas sejak masa sekolah itu hanya sanggup berdiri diam sambil berusaha mengatur napasnya.Ya, Tuhan. Sesak sekali rasanya."Jadi, apa arti hubungan kita selama ini?" tanyanya dalam bisikan y
Killian memegang dua lembar kertas di tangannya dengan gemetar.Entah bagaimana sebenarnya perasaan yang dia alami saat ini, tapi yang jelas ada ekspresi marah dan sedih yang silih berganti melintas di wajahnya."Bu, ini ...?" Killian menelan ludah beberapa kali, merasa kesulitan untuk mencari kata-kata. "Ini ..., maksudku, surat ini .... Jadi, ini berarti bahwa Selena sebenarnya waktu itu sedang .... Ya, Tuhan."Mendongakkan kepala dan menghela napas berat, Killian berusaha menahan air mata yang sudah hendak jatuh."Iya, Ian," jawab Ivona dengan suara yang sedikit tercekat. "Iya. Itu surat yang diberikan Aria Hills kepadaku. Tadinya dia malah sempat tidak mau menemuiku. Aku benar-benar kesulitan untuk bisa bertemu dengannya. Bahkan, aku pun sampai heran dengan sikap Aria yang terus berusaha menghindariku seperti itu.""Lalu, Bu?""Lalu—" Ivona menarik
Grand ballroom Double Tree by Hilton terlihat sangat megah malam ini.Desain interiornya begitu mewah, dipenuhi aksen berwarna putih dan emas yang merupakan warna khas milik keluarga Harron. Bahkan bunga-bunga hidup yang menghiasi banyak sudut pun dirangkai dan diberi hiasan dengan warna yang serupa.Ada seribu orang yang diundang ke acara yang begitu spesial ini dan mereka pun mulai berdatangan. Tidak ada satu orang pun yang tidak berdecak kagum ketika memasuki grand ballroom. Venue yang langsung menyambut begitu mereka memasuki ruangan balllroom, memang benar-benar mengesankan.Apakah ini sekedar acara ulang tahun atau sebuah acara pernikahan?Tidak sedikit dari para tamu undangan yang menanyakan hal yang sama. Sebab apabila melihat dari suasana glamor yang ada, maka acara kali ini memang lebih pantas bila digunakan untuk sebuah pernikahan.Di bagian depan ballroom terdapat seb
"Babe?" Andreas memanggilnya sekali lagi. Namun seolah tidak mendengarkan, Selena tetap saja bergeming. Perempuan itu kini justru tampak terpaku, memandang ke arah dua orang pasangan kekasih yang sekarang berlalu pergi sembari berpelukan. Tunggu. Tunggu dulu. Apakah dia baru saja berpikir bahwa kedua orang tadi adalah sepasang kekasih? "Babe? Hei!" Kali ini Andreas menyentuh pipi Selena, sehingga membuat perempuan itu sedikit terkejut. "Ada apa?" "Ha? Apa?" "Justru aku yang seharusnya bertanya kepadamu, Babe. Ada apa sebenarnya?" "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Reas, memangnya aku kenapa?" "Tadi aku sudah memanggilmu beberapa kali, tapi kamu diam saja. Lalu sekarang, kamu malah terlihat seperti orang yang sedang marah." Selena mengerjap mendengarnya. Marah? Apakah dia sedang m
"Lakukan sekarang, Erick.""Baik, Tuan Muda."Saat ini Erick berada di dalam ruang monitor. Dari tempat inilah dia bisa mengawasi sebagian besar area ballroom melalui CCTV, sekaligus mengatur tampilan yang akan muncul pada layar LED yang terdapat di bagian belakang panggung.Beberapa orang yang seharusnya bertugas di ruangan ini sekarang tergeletak di satu sisi, dalam kondisi yang sudah tidak sadarkan diri. Sekedar untuk melumpuhkan tiga orang staf dan dua orang petugas jaga, tentu saja bukan hal yang terlalu sulit bagi lelaki baya itu."Pertunjukannya akan segera dimulai, Tuan Muda," ujarnya disertai senyuman. Menggerakkan kursor dan memilih file yang diinginkan, Erick pun lantas menekan tombol 'play'. "Selamat menikmati."***Sementara itu, Charlotte yang hendak meniup lilin pun merasa sedikit bingung.Tadinya dia sudah menunduk di atas
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida