"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi masih terdapat aktivitas di salah satu kamar apartemen mewah.Suara desahan dan erangan memenuhi seisi kamar. Aroma percintaan menguar dengan sangat pekat, bahkan pendingin ruangan pun seolah tidak berfungsi karena hawa yang tetap terasa panas.Di atas tempat tidur yang berukuran besar, sepasang pria dan wanita yang sama sekali sudah tidak berbusana sal
Pukul 02:37Di sebuah jalan raya di pinggir kota yang sepi, terlihat sebuah mobil Ferrari Aperta berwarna hitam yang terguling.Mobil termahal yang hanya ada 200 unit saja itu sekarang dalam keadaan ringsek. Salah satu sisinya rusak parah dan di atas aspal tercetak bekas terseret.Di dalamnya, terlihat Killian yang terkulai di balik kemudi dengan darah meleleh."A—apa dia sudah ...."Ansia keluar dari mobil dan berdiri gemetar. Bukan disebabkan dinginnya hembusan angin malam, meski saat ini dia memang hanya mengenakan kimono tidur yang tipis, tapi karena kondisi Killian."Dd—dia nggak bergerak sama sekali," bisiknya dengan nada menggetar. "Dia ... masih hidup 'kan?"Kedua tangannya saling meremas dengan wajah ketakutan. Penampilan Ansia saat ini memang berantakan, tapi dia masih terlihat menarik."Ayo cepat kita perg
Lusi memandangi Noah dengan dahi berkerut.Tadi dia memang memberikan Noah ijin memasuki kamar Aila untuk membangunkan putri angkatnya, tapi jantung perempuan setengah baya itu nyaris naik ke tenggorokan saat melihat mereka malah bermesraan.Meski Noah sudah memasang tampang bersalah, tapi Lusi masih belum memaafkan pria bule itu sepenuhnya."Sayang, ibumu ingin bicara denganmu," ujar Lusi akhirnya, setelah memberi Noah pandangan penuh peringatan.Aila terdiam, mematung sesaat. Sepasang warna abunya menatap handphone yang disodorkan Lusi untuknya."Aila," tegur Lusi dengan nada lembut. "Risa menunggumu."Mengerjap, Aila memandang Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya. Ada pertanyaan yang coba disampaikan gadis itu lewat pandangan mata.Haruskah dia menerima panggilan telepon dari ibunya?Tapi wajah lembut dan senyuman Lusi sudah merupakan jawaban, membuat Aila akhirnya meraih
Pukul delapan pagi dan suasana di Adelaide International Airport sudah sedemikian ramainya.Aila berdiri di depan gate keberangkatan dengan membawa satu koper kecil, tidak berdaya dalam pelukan Lusi yang masih berat mengizinkannya pulang.
“Ugh! Lebih cepat! Akh!”“Sst .... Sarah, pelankan suaramu.”Sarah mendongak. Tubuhnya melenting merasakan nikmat sementara seseorang di belakangnya semakin cepat bergerakKamar mandi yang terletak di area bandara ini sedang ditutup karena rusak. Tentunya bukan tempat yang nyaman untuk digunakan, tapi hal tersebut tidak masalah bagi Sarah. Nyatanya, gadis bersurai pirang itu terus mengerang dan mendesah. Wajahnya memerah memancarkan kenikmatan, sementara tubuh polosnya sudah basah oleh keringat.Mengerang, perempuan bule bersurai pirang itu pun tidak berdaya merasakan gempuran nikmat dari belakang tubuhnya.“Ap-apakah kamu akan- akh! -melepaskannya begitu saj-ja?” tanya Sarah di antara sengal napas."Don't be kidding," sahut lelaki yang sedari tadi memacunya. Secara mendadak dia menarik lepas bagian tubuh yang tadi menyatu dengan Sarah, tapi belum sempat gadis itu menyua