Pukul 02:37
Di sebuah jalan raya di pinggir kota yang sepi, terlihat sebuah mobil Ferrari Aperta berwarna hitam yang terguling.
Mobil termahal yang hanya ada 200 unit saja itu sekarang dalam keadaan ringsek. Salah satu sisinya rusak parah dan di atas aspal tercetak bekas terseret.
Di dalamnya, terlihat Killian yang terkulai di balik kemudi dengan darah meleleh.
"A—apa dia sudah ...."
Ansia keluar dari mobil dan berdiri gemetar. Bukan disebabkan dinginnya hembusan angin malam, meski saat ini dia memang hanya mengenakan kimono tidur yang tipis, tapi karena kondisi Killian.
"Dd—dia nggak bergerak sama sekali," bisiknya dengan nada menggetar. "Dia ... masih hidup 'kan?"
Kedua tangannya saling meremas dengan wajah ketakutan. Penampilan Ansia saat ini memang berantakan, tapi dia masih terlihat menarik.
"Ayo cepat kita pergi," ajak Dion, menghampirinya dengan langkah tertatih.
"Tt—tapi ...."
"Ans, ini kesempatan terakhir sebelum orang-orangnya datang dan menangkap kita."
Ansia terdiam, menyadari kebenaran ucapan Dion. Namun masih ada ragu di hatinya untuk meninggalkan Killian begitu saja.
"Ayo!" ujar Dion lagi, menarik Ansia pergi.
Menoleh sekali lagi, Ansia akhirnya menurut. Mobilnya melaju pergi, meninggalkan Killian di jalanan sepi begitu saja.
Tidak lama kemudian, Killian mengerang. Tubuhnya perlahan bergerak, kedua netra berwarna hitam itu pun mulai terbuka. Di antara kepala yang berdenyut sakit dan nyeri yang mendera sekujur tubuh, Killian berusaha mengumpulkan kesadaran.
Namun di saat yang sama ada sorotan tajam cahaya menimpanya, disertai suara derum mesin dan decitan ban. Saat berikutnya, terdengar suara benturan keras ketika Ferrari Aperto yang terguling itu ditabrak.
•••
07:32
Adelaide, Australia
Sinar matahari pagi menerobos masuk ke sebuah kamar tidur. Sehelai tirai berwarna biru muda melambai, tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka.
Di atas ranjang dengan kelambu berwarna senada, sang pemilik kamar menggeliat perlahan. Sepasang matanya lalu terbuka, menampilkan warna abu yang jernih.
"Aila! Bangun, Sayang." Terdengar seruan dari luar kamar disertai ketukan pintu.
Dengan malas Aila beranjak bangun. Dia berjengit saat menyadari ada tangan yang melingkar di perutnya.
"Noah!" serunya kaget. "Kenapa kamu tidur di sebelahku? Kapan kamu masuk? Siapa yang mengijinkanmu? Lalu—"
"Morning kiss, Princess," potong Noah, langsung mencium kening Aila. "Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk menjawab."
Mendengus, wajah Aila cemberut memandang kekasihnya. Wajah Noah Albern termasuk tampan meski berkesan kalem. Rambutnya berwarna tembaga dengan sepasang warna bermata biru. Dengan sikap ramah dan murah senyumnya, membuat lelaki itu terlihat memikat.
"Aku tadi berniat membangunkanmu. Tante Lusi juga sudah memberi ijin kok," terang Noah, menarik Aila agar duduk di pangkuannya. "Lihat, sudah jam berapa sekarang?"
"Oh!" Aila berseru, memandang jam beker yang ada di atas nakasnya.
"Apa kamu bermimpi buruk?" tanya Noah, menyandarkan dagu di pundak Aila. "Dari tadi kamu mengerang, menyebut nama Ansia. Bukankah dia adik kembarmu?"
Aila mengangguk. "Perasaanku nggak enak, aku merasa seolah Ansia sedang berada dalam masalah besar."
"Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Kalian 'kan, sudah lama nggak bertemu, bisa jadi kamu merindukannya."
Menghela napas berat, Aila hanya diam. Memang, sudah empat belas tahun lebih mereka nyaris tidak bertemu. Bahkan sekedar bertukar kabar pun tidak karena Ansia sudah tidak pernah lagi membalas telepon maupun chat darinya sejak lima tahun terakhir.
"Apa kamu ingin pulang ke Indonesia? Saat ini kita 'kan, sedang liburan semester. Mau aku temani?" tawar Noah, kali ini menyibakkan rambut Aila lalu mengendusi lehernya.
Aila menggigit bibir, menahan geli, lalu menggeleng. Pulang ke Indonesia adalah pilihan terakhir baginya dan sebisa mungkin gadis itu ingin menghindarinya.
"Akh, Noah," desah Aila saat Noah menyesap kulit lehernya, membuat perempuan bermata abu itu pun mendongak dan bersandar di bahu Noah. "Geli."
"Aku suka baumu, Princess," bisik Noah, menggigit dan menjilat sekilas daun telinga Aila.
Aila menggigit bibir saat tangan Noah menyusup masuk ke piyama dan mengelus-elus perut ratanya. Sebelah tangan Noah juga perlahan membuka satu persatu kancing piama Aila
"Noah," desah Aila, merasakan sentuhan Noah yang perlahan, tapi terasa semakin intim. "Sudah, Noah."
"Sst. Jangan berisik, Princess. Nikmati saja."
Noah lalu membalik tubuhnya, membuat mereka duduk berhadapan. Dengan tatapan saling mengunci, Noah melepas sisa kancing piyama Aila. Tangannya sudah berada di tali bra, berniat menariknya turun, saat pintu kamar gadis itu tiba-tiba terbuka.
"Aila! Ada telepon dari Risa, ibumu," seru Lusi sambil menerobos masuk. "Katanya semalam Ansia kecelakaan. Jadi— Oh!"
Butuh waktu beberapa detik bagi Lusi untuk memahami situasi di mana Aila dan Noah mendadak panik dan berserabutan menjauh.
Wajah Aila seketika kecut, menyadari badai kemarahan yang harus dihadapinya.
•••
Lusi memandangi Noah dengan dahi berkerut.Tadi dia memang memberikan Noah ijin memasuki kamar Aila untuk membangunkan putri angkatnya, tapi jantung perempuan setengah baya itu nyaris naik ke tenggorokan saat melihat mereka malah bermesraan.Meski Noah sudah memasang tampang bersalah, tapi Lusi masih belum memaafkan pria bule itu sepenuhnya."Sayang, ibumu ingin bicara denganmu," ujar Lusi akhirnya, setelah memberi Noah pandangan penuh peringatan.Aila terdiam, mematung sesaat. Sepasang warna abunya menatap handphone yang disodorkan Lusi untuknya."Aila," tegur Lusi dengan nada lembut. "Risa menunggumu."Mengerjap, Aila memandang Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya. Ada pertanyaan yang coba disampaikan gadis itu lewat pandangan mata.Haruskah dia menerima panggilan telepon dari ibunya?Tapi wajah lembut dan senyuman Lusi sudah merupakan jawaban, membuat Aila akhirnya meraih
Pukul delapan pagi dan suasana di Adelaide International Airport sudah sedemikian ramainya.Aila berdiri di depan gate keberangkatan dengan membawa satu koper kecil, tidak berdaya dalam pelukan Lusi yang masih berat mengizinkannya pulang.
“Ugh! Lebih cepat! Akh!”“Sst .... Sarah, pelankan suaramu.”Sarah mendongak. Tubuhnya melenting merasakan nikmat sementara seseorang di belakangnya semakin cepat bergerakKamar mandi yang terletak di area bandara ini sedang ditutup karena rusak. Tentunya bukan tempat yang nyaman untuk digunakan, tapi hal tersebut tidak masalah bagi Sarah. Nyatanya, gadis bersurai pirang itu terus mengerang dan mendesah. Wajahnya memerah memancarkan kenikmatan, sementara tubuh polosnya sudah basah oleh keringat.Mengerang, perempuan bule bersurai pirang itu pun tidak berdaya merasakan gempuran nikmat dari belakang tubuhnya.“Ap-apakah kamu akan- akh! -melepaskannya begitu saj-ja?” tanya Sarah di antara sengal napas."Don't be kidding," sahut lelaki yang sedari tadi memacunya. Secara mendadak dia menarik lepas bagian tubuh yang tadi menyatu dengan Sarah, tapi belum sempat gadis itu menyua
Aila baru saja selesai mengambil bagasi lalu berniat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Penerbangan selama 20 jam sangat membuatnya lelah dan merasa sedikit kurang nyaman."Ck! Ada-ada saja," decaknya, memijat kepala yang pusing karena jet lag. Sekilas dia mengerling ke dinding kaca, sekedar memeriksa penampilannya sambil berjalan.Hari ini dia memakai atasan sabrina berwarna biru muda, dipadu dengan rok tulle putih selutut, sepatu model mary jane dan sling bag. Tersenyum, Aila merasa puas dengan penampilannya.Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kenapa Aila merasa seperti ada orang yang mengikutinya, ya?Aila menggeleng, membuang pikiran anehnya. Mungkin karena lelah, maka dia jadi berpikiran macam-macam. Yah, mana mungkin ada yang menguntitnya. Lagi pula, buat apa?Mengangkat bahu dan menyibakkan rambut cokelatnya, Aila lanjut melangkah ke kamar mandi terdekat.Lebih baik dia bergega
"Di mana aku harus membaringkannya?" Lelaki dengan dua warna mata itu kini berada di sebuah ruang kerja dengan menggendong Aila yang belum sadar. Sementara di dalam ruangan itu ada seorang lelaki lain yang sudah menunggu. Lelaki yang ditanya bukannya menjawab, tapi hanya mengedikkan dagu, menunjuk ke sebuah sofa bed. "Thanks, Adam," ujar lelaki itu sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi martini di tangannya. Membaringkan Aila dengan hati-hati, Adam, lelaki dengan dua warna mata, lalu menjawab, "Nggak masalah. Toh, bukan hal yang sulit untuk menangkapnya." Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya. "Biar kubantu," tawar Adam segera saat melihat lawan bicaranya masih meraba-raba. "Ngomong-ngomong, apa memang benar dia gadis yang kamu cari?" "Apa maksudmu?"
Aila merasakan tubuhnya lemas. Kedua matanya terasa sangat berat untuk terbuka, bahkan sekedar menggerakkan ujung jari pun terasa susah. Namun sesaat dia merasa seolah dibaringkan ke atas sesuatu yang lembut dan juga empuk. Pun, sayup terdengar pembicaraan antara dua orang.'Siapa?' pikirnya, merasa asing dengan kedua suara itu. Dia juga tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya sangat sulit untuk terfokus.Tidur. Yang diinginkan Aila saat ini hanyalah tidur. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang menutup menyusul sesuatu yang pecah."... Ansia ...."Terdengar bisikan seorang lelaki di dekat telinga. Aila meremang sewaktu daun telinganya dijilat dan digigit. Ditambah, elusan di kaki yang dirasakan semakin ke atas dan kini bahkan berhenti di pangkal paha lalu menyusup ke dalam rok.Ada rasa geli yang nikmat saat jari itu bergerak naik turun, mengelus permukaan celana dalam yang dikenakan. Aila bisa merasakan miliknya semaki
Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri."Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila."Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked
Killian mengarahkan miliknya ke bagian intim Aila. Tapi baru bagian ujung yang mulai masuk, gadis yang dia kira sebagai Ansia itu sudah menjerit kesakitan."Tuan muda! Gawat!" seru seorang pelayan pria, menjeblak pintu ruang kerjanya dan langsung menyerbu masuk."Shit!" maki Killian, langsung menindih Aila, berusaha menutupi tubuh gadis itu yang setengah bugil. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya."Ma-maaf. Sa-saya tidak bermaks-""Keluaar!!""Tt—ttapi ddi—di bawah ada—""KELUAARRR!!"Killian menggeram. Lelaki itu tetap menindih Aila sampai dia memastikan tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Diamlah di sini," perintah Killian penuh intimidasi. Tangannya membelai rambut dan mengusap keringat di dahi Aila. "Jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini, Ansia. Mengerti?!"Tubuh Aila membeku. Meski dililit perban, entah mengapa dia tetap bisa merasakan pandangan tajam dari sepasang mata itu."Pakai bajumu," perintah