Aila baru saja selesai mengambil bagasi lalu berniat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Penerbangan selama 20 jam sangat membuatnya lelah dan merasa sedikit kurang nyaman.
"Ck! Ada-ada saja," decaknya, memijat kepala yang pusing karena jet lag. Sekilas dia mengerling ke dinding kaca, sekedar memeriksa penampilannya sambil berjalan.
Hari ini dia memakai atasan sabrina berwarna biru muda, dipadu dengan rok tulle putih selutut, sepatu model mary jane dan sling bag. Tersenyum, Aila merasa puas dengan penampilannya.
Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kenapa Aila merasa seperti ada orang yang mengikutinya, ya?
Aila menggeleng, membuang pikiran anehnya. Mungkin karena lelah, maka dia jadi berpikiran macam-macam. Yah, mana mungkin ada yang menguntitnya. Lagi pula, buat apa?
Mengangkat bahu dan menyibakkan rambut cokelatnya, Aila lanjut melangkah ke kamar mandi terdekat.
Lebih baik dia bergegas membasuh wajah lalu pergi ke rumah sakit tempat Ansia dirawat. Aila juga berencana menginap di sana untuk menemani adik kembarnya itu. Setidaknya nanti dia ada alasan untuk tidak pulang ke rumah dulu.
•••
Wajah Aila terlihat tegang. Ternyata perasaannya tadi tidak salah. Saat ini, memang ada beberapa orang yang menguntit.
Awalnya dia tidak menggubris.
Kamar mandi yang ditujunya ternyata masih penuh. Malas menunggu, Aila lalu memutuskan mencari kamar mandi lain di area bandara yang luas ini.
Saat itulah keanehan semakin dia rasakan. Kamar mandi kedua sedang dalam perbaikan dan Aila kembali menemui beberapa lelaki yang sama yang lagi-lagi ada di sekitarnya.
Kalau dianggap sebagai kebetulan, rasanya tidak mungkin karena sampai ke kamar mandi ketiga pun mereka masih ada.
Sikap mereka seperti pengunjung bandara yang lain: menelepon, mengobrol, bermain handphone atau sekedar berdiri menyandar. Tapi tetap saja aneh. Kenapa mereka selalu ada di mana pun Aila berada?
Merasa ada yang tidak beres, Aila lalu bergegas ke pintu keluar. Mungkin lebih baik kalau dia langsung pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Ansia.
"Taksi," serunya, melambaikan tangan. Tapi belum sampai taksi yang dipanggilnya mendekat, sebuah mobil mewah berwarna hitam berkilat tiba-tiba meluncur dan berhenti di depannya.
"Nona Ansia?" sapa seorang lelaki separuh baya dengan setelan jas hitam yang baru saja keluar dari mobil. "Mari ikut saya. Beliau sudah menunggu."
"Eh, apa?" Aila mengerjap, kebingungan.
Kenapa mereka mencari Ansia? Bukankah Ansia dirawat di rumah sakit?
"Ehm, maaf," ujarnya sambil selangkah mundur. "Sepertinya Anda salah orang."
"Nona, mohon menurut dan segera ikut dengan kami. Nona tahu bukan, kalau beliau tidak suka menunggu lama?"
"Hah?"
Beliau? Beliau, siapa?
"Silakan masuk."
Aila tersentak saat lelaki berjas itu tiba-tiba memegang lengannya. "Nggak! Lepasin!"
Sekilas Aila melihat sekeliling. Ini area umum dan ada banyak orang. Kalau dia teriak, pasti ada yang akan menolongnya 'kan?
"Anda salah orang," ujarnya, berusaha bersikap setenang mungkin. "Saya tidak mengenal Anda dan saya tidak berniat mau menurut begitu saja, apalagi sampai mengikuti Anda."
"Apa ini berarti Nona Ansia menolak untuk ikut secara baik-baik?"
"Sudah saya katakan, Anda salah orang. Saya bukan Ansia!"
Aila semakin melangkah mundur. Beberapa kali dia menoleh, mencoba menemukan petugas keamanan bandara. Ada rasa takut yang mulai timbul dalam hati, juga pertanyaan yang berputar dalam benaknya.
Sebenarnya, apa hubungan Ansia dengan semua ini? Kenapa sampai ada orang yang mencarinya seperti ini?
"Kamu terlibat apaan, sih, Sia?" keluhnya.
"Baik. Kalau Nona menolak untuk ikut dengan tenang, maka saya tidak punya pilihan lain."
"Ja-jangan macam-macam atau saya akan teriak," ancam Aila dengan suara naik satu oktaf. Jujur saja, sekarang dia mulai merasakan panik. "Saya pergi. Permisi."
Aila tidak langsung berbalik begitu saja, tapi berjalan mundur beberapa langkah dengan curiga. Setelah memastikan kalau lelaki berjas itu tidak akan mengejar atau berbuat sesuatu padanya, dia baru berbalik.
Tapi di saat yang sama, tiba-tiba ada lelaki lain yang merangkul pundaknya dan bersikap seolah mereka sudah saling mengenal.
"Ap-apa-apaan, sih? Lepas!" seru Aila spontan, berusaha melepaskan diri.
"Beb, kamu kenapa? Masih marah?" balas lelaki itu dengan senyuman tanpa dosa.
"Hah?"
Aila mengamatinya sekilas. Lelaki itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Badannya tinggi dengan rambut sedikit gondrong, tapi yang membuat Aila terpana adalah warna matanya yang berbeda. Yang satu berwarna hijau, yang satu berwarna amber.
"Kamu ini siapa? Jangan seenaknya peluk-peluk orang!" hardik Aila, merasa kesal karena tidak juga berhasil bebas. Dia berjengit waktu lelaki itu tiba-tiba menunduk ke arahnya.
"Diamlah," bisiknya di telinga Aila. "Jadilah gadis manis dan menurutlah. Beliau sudah menunggumu, Nona Ansia."
"Ap- Tung- Hei, lepas!"
Aila panik seketika. Lelaki ini ternyata satu komplotan dengan lelaki berjas tadi. Parahnya, sekarang dia berlaku seolah mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Tentunya agar tidak menarik perhatian orang lain.
"Maaf, Pak. Pacar saya ini sedang ngambek karena saya terlambat menjemputnya tadi." dusta lelaki itu, saat ada petugas keamanan yang mendekat.
"Bukan, Pak! Saya buk- akh!" Aila meringis, merasakan sakit di tengkuk kirinya.
"Makanya, diam saja," bisik lelaki itu, langsung menyeret Aila masuk ke mobil mewah yang tadi sudah menunggunya.
"Lepas! Kalian ini siapa? Kenapa seenaknya membawaku?"
Aila terus memberontak dan mencoba kabur, tapi sayangnya pintu mobil terkunci. Kedua mata coklatnya lalu membelalak saat lelaki itu mengeluarkan sebuah suntikan.
"Ap-apa yang akan kamu lakukan?" jeritnya histeris, memandang takut jarum suntikan yang sekarang terarah padanya. "Tolong! Tolong!" teriak Ansia sambil memukul-mukul kaca mobil.
"Ini karena kamu sangat berisik," ujar lelaki itu, menarik paksa tangan Aila lalu menyuntiknya.
"Jangan! Jangan suntik! Jang- Akh!"
Aila masih sempat berontak sesaat, tapi gerakannya dengan cepat semakin lemah. Tubuhnya terasa lemas dan pandangannya menggelap. Aila pingsan.
•••
"Di mana aku harus membaringkannya?" Lelaki dengan dua warna mata itu kini berada di sebuah ruang kerja dengan menggendong Aila yang belum sadar. Sementara di dalam ruangan itu ada seorang lelaki lain yang sudah menunggu. Lelaki yang ditanya bukannya menjawab, tapi hanya mengedikkan dagu, menunjuk ke sebuah sofa bed. "Thanks, Adam," ujar lelaki itu sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi martini di tangannya. Membaringkan Aila dengan hati-hati, Adam, lelaki dengan dua warna mata, lalu menjawab, "Nggak masalah. Toh, bukan hal yang sulit untuk menangkapnya." Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya. "Biar kubantu," tawar Adam segera saat melihat lawan bicaranya masih meraba-raba. "Ngomong-ngomong, apa memang benar dia gadis yang kamu cari?" "Apa maksudmu?"
Aila merasakan tubuhnya lemas. Kedua matanya terasa sangat berat untuk terbuka, bahkan sekedar menggerakkan ujung jari pun terasa susah. Namun sesaat dia merasa seolah dibaringkan ke atas sesuatu yang lembut dan juga empuk. Pun, sayup terdengar pembicaraan antara dua orang.'Siapa?' pikirnya, merasa asing dengan kedua suara itu. Dia juga tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya sangat sulit untuk terfokus.Tidur. Yang diinginkan Aila saat ini hanyalah tidur. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang menutup menyusul sesuatu yang pecah."... Ansia ...."Terdengar bisikan seorang lelaki di dekat telinga. Aila meremang sewaktu daun telinganya dijilat dan digigit. Ditambah, elusan di kaki yang dirasakan semakin ke atas dan kini bahkan berhenti di pangkal paha lalu menyusup ke dalam rok.Ada rasa geli yang nikmat saat jari itu bergerak naik turun, mengelus permukaan celana dalam yang dikenakan. Aila bisa merasakan miliknya semaki
Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri."Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila."Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked
Killian mengarahkan miliknya ke bagian intim Aila. Tapi baru bagian ujung yang mulai masuk, gadis yang dia kira sebagai Ansia itu sudah menjerit kesakitan."Tuan muda! Gawat!" seru seorang pelayan pria, menjeblak pintu ruang kerjanya dan langsung menyerbu masuk."Shit!" maki Killian, langsung menindih Aila, berusaha menutupi tubuh gadis itu yang setengah bugil. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya."Ma-maaf. Sa-saya tidak bermaks-""Keluaar!!""Tt—ttapi ddi—di bawah ada—""KELUAARRR!!"Killian menggeram. Lelaki itu tetap menindih Aila sampai dia memastikan tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Diamlah di sini," perintah Killian penuh intimidasi. Tangannya membelai rambut dan mengusap keringat di dahi Aila. "Jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini, Ansia. Mengerti?!"Tubuh Aila membeku. Meski dililit perban, entah mengapa dia tetap bisa merasakan pandangan tajam dari sepasang mata itu."Pakai bajumu," perintah
Killian dengan gusar keluar dari ruang kerja. Dia sama sekali tidak suka bila kegiatannya diganggu, apalagi kalau mengenai urusan birahi."Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin."I—iittu ...." Si pelayan meneguk ludah dan menunduk sedalam mungkin, sama sekali tidak berani mendongak karena meski kedua mata Killian dalam keadaan buta, tapi bukan berarti kengerian dari lelaki itu bisa dihilangkan. "Ddi—ddiii bbaa—waah ad—adda—""BICARA YANG JELAS!""Di bawah ada kedua orang tua Tuan Muda!"Si pelayan buru-buru menutup mulut dan bertampang panik seketika. Sementara itu Killian menghela napas kesal. Dia sudah gatal ingin menghajar pelayan di depannya ini tapi suara isakan yang terdengar membuatnya tertegun.Menangis? Siapa yang menangis?Saat ini dia masih berada di depan pintu ruang kerjanya dan suara isakan pelan itu terdengar dari sana.Mungkinkah itu Ansia yang menangis?"Cih!" makinya, menghilangkan pemikiran bodohnya barusan.&nb
Aila berusaha untuk bisa lepas dari lelaki yang hendak menindihnya, tapi kondisi tubuh yang sejak awal sudah lemas, membuat gadis itu tidak bisa berbuat banyak."Toloongg," teriaknya diiringi isak tangis.Ada rasa putus asa yang dirasakan Aila, dia bingung mengapa semua hal mengerikan ini harus dialaminya?"Diam dan jangan banyak tingkah, Ans," sergah Adam, memeluknya dari belakang dan menciumi leher Aila. "Bukankah kamu sudah terbiasa melayani Killian dan Dion, pacar gelapmu itu? Jadi nggak ada bedanya 'kan kalau sekarang kamu melayaniku?"Gadis itu menggeleng kuat. Dia Aila, bukan Ansia. Dia sudah membuka mulut hendak mengatakan yang sebenarnya, saat tangan Adam meremas bagian dada dan membuatnya menjerit."Nggaaakk! Nggaak mau! Lepaaasss!""Jangan sok suci dan jual mahal, Ans!"Adam menarik dan membanting Aila ke atas karpet. Seperti ada yang mencengkeram kuat bagian dadanya, membuat gadis itu sesak, bahkan untuk bernapas normal pun sulit
"Ada apa, Ivona?"Kedua alis tebal Claude menyatu, sepasang mata elangnya mengamati sang istri lamat-lamat karena sejak mereka pulang dari rumah Killian, Ivona terus saja termenung seolah ada yang dipikirkan.Ivona hanya diam, terus saja teringat dengan gadis yang berada di ruang kerja putranya. Dia tahu siapa gadis itu, tapi justru hal inilah yang membuat heran.Dia tidak pernah menyukai Ansia. Boleh dikata sejak awal mereka bertemu, Ivona sudah merasa gadis itu bukanlah pilihan yang tepat bagi Killian."Lalu, kenapa sekarang aku mencemaskannya?" keluhnya.Ini pertama kali Ivona menaruh perhatian untuk Ansia. Apa karena dia melihat bekas cekikan di leher gadis itu sehingga membuatnya kasihan?Lagi pula, Ansia yang ditemuinya tadi terlihat sedikit berbeda.Mata Ansia berwarna hitam tapi gadis di ruang kerja putranya tadi memiliki mata berwarna abu-abu cerah."Wajahnya memang mirip, tapi kesannya seperti orang lain," gumam Ivona
Killian memainkan pisau makan di tangannya.Sudah sepuluh menit berlalu sejak sarapan dihidangkan tapi Killian belum menyentuhnya sama sekali. Dia malah asyik memutar pisau, membuat para pelayan yang mendampingi mulai berkeringat dingin.Salah satu pelayan perempuan menjerit kaget sewaktu Killian tiba-tiba melempar pisau, tepat saat dia membuka pintu ruang makan dan berjalan masuk."Bagaimana?" tanya Killian dengan nada sedatar kertas.Megap-megap menarik napas sambil berusaha menenangkan degup jantung, pelayan perempuan itu melirik ngeri pisau yang tertancap di daun pintu yang baru saja dibukanya.Hanya kurang lima senti, pisau itu akan mengenainya, membuat pelayan perempuan itu terus gemetar ketakutan."Aku tidak suka mengulang ucapan," ujar Killian, kali ini dengan nada sedingin es meski ekspresi wajahnya masih sama datar. "Jadi, jawab pertanyaanku!""Nnno—nonnaa Anss—ssiaa," pelayan itu tergagap-gagap menjawab. "Bbeliau ttidak mma—u iiik