“Ugh! Lebih cepat! Akh!”
“Sst .... Sarah, pelankan suaramu.”
Sarah mendongak. Tubuhnya melenting merasakan nikmat sementara seseorang di belakangnya semakin cepat bergerak
Kamar mandi yang terletak di area bandara ini sedang ditutup karena rusak. Tentunya bukan tempat yang nyaman untuk digunakan, tapi hal tersebut tidak masalah bagi Sarah. Nyatanya, gadis bersurai pirang itu terus mengerang dan mendesah. Wajahnya memerah memancarkan kenikmatan, sementara tubuh polosnya sudah basah oleh keringat.
Mengerang, perempuan bule bersurai pirang itu pun tidak berdaya merasakan gempuran nikmat dari belakang tubuhnya.
“Ap-apakah kamu akan- akh! -melepaskannya begitu saj-ja?” tanya Sarah di antara sengal napas.
"Don't be kidding," sahut lelaki yang sedari tadi memacunya. Secara mendadak dia menarik lepas bagian tubuh yang tadi menyatu dengan Sarah, tapi belum sempat gadis itu menyuarakan protes, dengan segera dia menyumpal mulut Sarah. "Ya, seperti itu," gumamnya, menyeringai merasakan nikmat.
Tidak ada sahutan yang bisa Sarah berikan dengan mulut terisi penuh.
"Aku memang sengaja menyimpannya agar bisa dinikmati nanti," sambung lelaki itu, lalu berganti mencium Sarah dengan ganas. "Tapi perlahan, aku akan membuat dia tunduk. Kalau saja si bibi sialan itu nggak masuk ke kamar dan memergoki kami. Cih!"
“Tapi dia per-gi. Akh!”
"Hanya selama seminggu," sahut si lelaki. "Lagi pula, permen yang kuberikan akan membuatnya ingin segera pulang dan menemuiku. Saat itu, aku akan bisa menikmati sepuasku."
"Engghhh!" Sarah mendongak dan membuka mulut saat ada sesuatu yang kembali menyeruak memasuki miliknya. Ada kenikmatan luar biasa yang dirasakan gadis itu sehingga membuatnya terus mengerang.
"Hhh ... padahal tadi sebelum berangkat ke bandara kita sudah melakukannya, sampai akhirnya terlambat datang," erang si lelaki, mempercepat gerakan dan menimbulkan suara berisik. "Pasti akan lebih nikmat lagi saat aku melakukan dengannya nanti. Aku akan jadi yang pertama bagi gadis itu."
Saat ini, di pandangan lelaki itu bukanlah gadis pirang bermata biru yang tengah dipacunya, melainkan seorang gadis berambut coklat dan bermata abu.
"Ngh, Ailaa," erangnya, merasa semakin bernafsu. "Ailaa ... aku akan menjadikanmu milikku. Akan kujadikan kamu seperti perempuan murahan yang haus oleh sentuhanku.”
Sarah kembali mengerang, tapi lawan mainnya sama sekali tidak peduli. Di puncak kenikmatan dia memekik, menjeritkan nama lelaki yang sudah memberikan kenikmatan. "Argh! Noaahh!”
Permainan mereka masih berlanjut, tanpa menyadari bahwa ada seorang pria separuh baya yang diam-diam mengamati. Setelah rampung memuaskan diri sendiri, dia pun bergegas pergi dengan seulas senyuman penuh arti di wajah yang mulai dipenuhi keriput itu.
•••
"Sayang, kenapa lama sekali?" Lusi mencebik sebal saat Arthur akhirnya datang.
Tadi, selepas kepergian Aila dan baik Noah maupun Sarah sudah berpamitan, Arthur menyuruhnya agar menunggu di dalam mobil sementara dia akan ke kamar mandi dulu. Setidaknya, ada setengah jam lebih Lusi harus menunggu.
"Maaf, Sayang," sahut Arthur sambil memasang sabuk pengaman. "Kamar mandinya tadi sedang dipakai, jadi aku harus mengantri cukup lama. Bahkan akhirnya aku harus mencari kamar mandi lain yang kosong."
Lusi mendengus menyahuti. Dia masih sedih atas kepulangan Aila ke Indonesia sehingga tidak terlalu menghiraukan ucapan suaminya.
"Nah, kita pulang sekarang."
Arthur melihat wajah murung istrinya lalu melirik miliknya di bawah yang ternyata masih menggembung. Ada seulas senyum yang menggaris sebelum akhirnya dia menyalakan motor mobil.
Tidak lama kemudian, mobil Corolla Hatchback berwarna hijau lime itu pun melaju meninggalkan area bandara.
•••
Aila baru saja selesai mengambil bagasi lalu berniat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Penerbangan selama 20 jam sangat membuatnya lelah dan merasa sedikit kurang nyaman."Ck! Ada-ada saja," decaknya, memijat kepala yang pusing karena jet lag. Sekilas dia mengerling ke dinding kaca, sekedar memeriksa penampilannya sambil berjalan.Hari ini dia memakai atasan sabrina berwarna biru muda, dipadu dengan rok tulle putih selutut, sepatu model mary jane dan sling bag. Tersenyum, Aila merasa puas dengan penampilannya.Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kenapa Aila merasa seperti ada orang yang mengikutinya, ya?Aila menggeleng, membuang pikiran anehnya. Mungkin karena lelah, maka dia jadi berpikiran macam-macam. Yah, mana mungkin ada yang menguntitnya. Lagi pula, buat apa?Mengangkat bahu dan menyibakkan rambut cokelatnya, Aila lanjut melangkah ke kamar mandi terdekat.Lebih baik dia bergega
"Di mana aku harus membaringkannya?" Lelaki dengan dua warna mata itu kini berada di sebuah ruang kerja dengan menggendong Aila yang belum sadar. Sementara di dalam ruangan itu ada seorang lelaki lain yang sudah menunggu. Lelaki yang ditanya bukannya menjawab, tapi hanya mengedikkan dagu, menunjuk ke sebuah sofa bed. "Thanks, Adam," ujar lelaki itu sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi martini di tangannya. Membaringkan Aila dengan hati-hati, Adam, lelaki dengan dua warna mata, lalu menjawab, "Nggak masalah. Toh, bukan hal yang sulit untuk menangkapnya." Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya. "Biar kubantu," tawar Adam segera saat melihat lawan bicaranya masih meraba-raba. "Ngomong-ngomong, apa memang benar dia gadis yang kamu cari?" "Apa maksudmu?"
Aila merasakan tubuhnya lemas. Kedua matanya terasa sangat berat untuk terbuka, bahkan sekedar menggerakkan ujung jari pun terasa susah. Namun sesaat dia merasa seolah dibaringkan ke atas sesuatu yang lembut dan juga empuk. Pun, sayup terdengar pembicaraan antara dua orang.'Siapa?' pikirnya, merasa asing dengan kedua suara itu. Dia juga tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya sangat sulit untuk terfokus.Tidur. Yang diinginkan Aila saat ini hanyalah tidur. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang menutup menyusul sesuatu yang pecah."... Ansia ...."Terdengar bisikan seorang lelaki di dekat telinga. Aila meremang sewaktu daun telinganya dijilat dan digigit. Ditambah, elusan di kaki yang dirasakan semakin ke atas dan kini bahkan berhenti di pangkal paha lalu menyusup ke dalam rok.Ada rasa geli yang nikmat saat jari itu bergerak naik turun, mengelus permukaan celana dalam yang dikenakan. Aila bisa merasakan miliknya semaki
Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri."Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila."Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked
Killian mengarahkan miliknya ke bagian intim Aila. Tapi baru bagian ujung yang mulai masuk, gadis yang dia kira sebagai Ansia itu sudah menjerit kesakitan."Tuan muda! Gawat!" seru seorang pelayan pria, menjeblak pintu ruang kerjanya dan langsung menyerbu masuk."Shit!" maki Killian, langsung menindih Aila, berusaha menutupi tubuh gadis itu yang setengah bugil. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya."Ma-maaf. Sa-saya tidak bermaks-""Keluaar!!""Tt—ttapi ddi—di bawah ada—""KELUAARRR!!"Killian menggeram. Lelaki itu tetap menindih Aila sampai dia memastikan tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Diamlah di sini," perintah Killian penuh intimidasi. Tangannya membelai rambut dan mengusap keringat di dahi Aila. "Jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini, Ansia. Mengerti?!"Tubuh Aila membeku. Meski dililit perban, entah mengapa dia tetap bisa merasakan pandangan tajam dari sepasang mata itu."Pakai bajumu," perintah
Killian dengan gusar keluar dari ruang kerja. Dia sama sekali tidak suka bila kegiatannya diganggu, apalagi kalau mengenai urusan birahi."Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin."I—iittu ...." Si pelayan meneguk ludah dan menunduk sedalam mungkin, sama sekali tidak berani mendongak karena meski kedua mata Killian dalam keadaan buta, tapi bukan berarti kengerian dari lelaki itu bisa dihilangkan. "Ddi—ddiii bbaa—waah ad—adda—""BICARA YANG JELAS!""Di bawah ada kedua orang tua Tuan Muda!"Si pelayan buru-buru menutup mulut dan bertampang panik seketika. Sementara itu Killian menghela napas kesal. Dia sudah gatal ingin menghajar pelayan di depannya ini tapi suara isakan yang terdengar membuatnya tertegun.Menangis? Siapa yang menangis?Saat ini dia masih berada di depan pintu ruang kerjanya dan suara isakan pelan itu terdengar dari sana.Mungkinkah itu Ansia yang menangis?"Cih!" makinya, menghilangkan pemikiran bodohnya barusan.&nb
Aila berusaha untuk bisa lepas dari lelaki yang hendak menindihnya, tapi kondisi tubuh yang sejak awal sudah lemas, membuat gadis itu tidak bisa berbuat banyak."Toloongg," teriaknya diiringi isak tangis.Ada rasa putus asa yang dirasakan Aila, dia bingung mengapa semua hal mengerikan ini harus dialaminya?"Diam dan jangan banyak tingkah, Ans," sergah Adam, memeluknya dari belakang dan menciumi leher Aila. "Bukankah kamu sudah terbiasa melayani Killian dan Dion, pacar gelapmu itu? Jadi nggak ada bedanya 'kan kalau sekarang kamu melayaniku?"Gadis itu menggeleng kuat. Dia Aila, bukan Ansia. Dia sudah membuka mulut hendak mengatakan yang sebenarnya, saat tangan Adam meremas bagian dada dan membuatnya menjerit."Nggaaakk! Nggaak mau! Lepaaasss!""Jangan sok suci dan jual mahal, Ans!"Adam menarik dan membanting Aila ke atas karpet. Seperti ada yang mencengkeram kuat bagian dadanya, membuat gadis itu sesak, bahkan untuk bernapas normal pun sulit
"Ada apa, Ivona?"Kedua alis tebal Claude menyatu, sepasang mata elangnya mengamati sang istri lamat-lamat karena sejak mereka pulang dari rumah Killian, Ivona terus saja termenung seolah ada yang dipikirkan.Ivona hanya diam, terus saja teringat dengan gadis yang berada di ruang kerja putranya. Dia tahu siapa gadis itu, tapi justru hal inilah yang membuat heran.Dia tidak pernah menyukai Ansia. Boleh dikata sejak awal mereka bertemu, Ivona sudah merasa gadis itu bukanlah pilihan yang tepat bagi Killian."Lalu, kenapa sekarang aku mencemaskannya?" keluhnya.Ini pertama kali Ivona menaruh perhatian untuk Ansia. Apa karena dia melihat bekas cekikan di leher gadis itu sehingga membuatnya kasihan?Lagi pula, Ansia yang ditemuinya tadi terlihat sedikit berbeda.Mata Ansia berwarna hitam tapi gadis di ruang kerja putranya tadi memiliki mata berwarna abu-abu cerah."Wajahnya memang mirip, tapi kesannya seperti orang lain," gumam Ivona