Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.
Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.
Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri.
"Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila.
"Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked
Killian mengarahkan miliknya ke bagian intim Aila. Tapi baru bagian ujung yang mulai masuk, gadis yang dia kira sebagai Ansia itu sudah menjerit kesakitan."Tuan muda! Gawat!" seru seorang pelayan pria, menjeblak pintu ruang kerjanya dan langsung menyerbu masuk."Shit!" maki Killian, langsung menindih Aila, berusaha menutupi tubuh gadis itu yang setengah bugil. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya."Ma-maaf. Sa-saya tidak bermaks-""Keluaar!!""Tt—ttapi ddi—di bawah ada—""KELUAARRR!!"Killian menggeram. Lelaki itu tetap menindih Aila sampai dia memastikan tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Diamlah di sini," perintah Killian penuh intimidasi. Tangannya membelai rambut dan mengusap keringat di dahi Aila. "Jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini, Ansia. Mengerti?!"Tubuh Aila membeku. Meski dililit perban, entah mengapa dia tetap bisa merasakan pandangan tajam dari sepasang mata itu."Pakai bajumu," perintah
Killian dengan gusar keluar dari ruang kerja. Dia sama sekali tidak suka bila kegiatannya diganggu, apalagi kalau mengenai urusan birahi."Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin."I—iittu ...." Si pelayan meneguk ludah dan menunduk sedalam mungkin, sama sekali tidak berani mendongak karena meski kedua mata Killian dalam keadaan buta, tapi bukan berarti kengerian dari lelaki itu bisa dihilangkan. "Ddi—ddiii bbaa—waah ad—adda—""BICARA YANG JELAS!""Di bawah ada kedua orang tua Tuan Muda!"Si pelayan buru-buru menutup mulut dan bertampang panik seketika. Sementara itu Killian menghela napas kesal. Dia sudah gatal ingin menghajar pelayan di depannya ini tapi suara isakan yang terdengar membuatnya tertegun.Menangis? Siapa yang menangis?Saat ini dia masih berada di depan pintu ruang kerjanya dan suara isakan pelan itu terdengar dari sana.Mungkinkah itu Ansia yang menangis?"Cih!" makinya, menghilangkan pemikiran bodohnya barusan.&nb
Aila berusaha untuk bisa lepas dari lelaki yang hendak menindihnya, tapi kondisi tubuh yang sejak awal sudah lemas, membuat gadis itu tidak bisa berbuat banyak."Toloongg," teriaknya diiringi isak tangis.Ada rasa putus asa yang dirasakan Aila, dia bingung mengapa semua hal mengerikan ini harus dialaminya?"Diam dan jangan banyak tingkah, Ans," sergah Adam, memeluknya dari belakang dan menciumi leher Aila. "Bukankah kamu sudah terbiasa melayani Killian dan Dion, pacar gelapmu itu? Jadi nggak ada bedanya 'kan kalau sekarang kamu melayaniku?"Gadis itu menggeleng kuat. Dia Aila, bukan Ansia. Dia sudah membuka mulut hendak mengatakan yang sebenarnya, saat tangan Adam meremas bagian dada dan membuatnya menjerit."Nggaaakk! Nggaak mau! Lepaaasss!""Jangan sok suci dan jual mahal, Ans!"Adam menarik dan membanting Aila ke atas karpet. Seperti ada yang mencengkeram kuat bagian dadanya, membuat gadis itu sesak, bahkan untuk bernapas normal pun sulit
"Ada apa, Ivona?"Kedua alis tebal Claude menyatu, sepasang mata elangnya mengamati sang istri lamat-lamat karena sejak mereka pulang dari rumah Killian, Ivona terus saja termenung seolah ada yang dipikirkan.Ivona hanya diam, terus saja teringat dengan gadis yang berada di ruang kerja putranya. Dia tahu siapa gadis itu, tapi justru hal inilah yang membuat heran.Dia tidak pernah menyukai Ansia. Boleh dikata sejak awal mereka bertemu, Ivona sudah merasa gadis itu bukanlah pilihan yang tepat bagi Killian."Lalu, kenapa sekarang aku mencemaskannya?" keluhnya.Ini pertama kali Ivona menaruh perhatian untuk Ansia. Apa karena dia melihat bekas cekikan di leher gadis itu sehingga membuatnya kasihan?Lagi pula, Ansia yang ditemuinya tadi terlihat sedikit berbeda.Mata Ansia berwarna hitam tapi gadis di ruang kerja putranya tadi memiliki mata berwarna abu-abu cerah."Wajahnya memang mirip, tapi kesannya seperti orang lain," gumam Ivona
Killian memainkan pisau makan di tangannya.Sudah sepuluh menit berlalu sejak sarapan dihidangkan tapi Killian belum menyentuhnya sama sekali. Dia malah asyik memutar pisau, membuat para pelayan yang mendampingi mulai berkeringat dingin.Salah satu pelayan perempuan menjerit kaget sewaktu Killian tiba-tiba melempar pisau, tepat saat dia membuka pintu ruang makan dan berjalan masuk."Bagaimana?" tanya Killian dengan nada sedatar kertas.Megap-megap menarik napas sambil berusaha menenangkan degup jantung, pelayan perempuan itu melirik ngeri pisau yang tertancap di daun pintu yang baru saja dibukanya.Hanya kurang lima senti, pisau itu akan mengenainya, membuat pelayan perempuan itu terus gemetar ketakutan."Aku tidak suka mengulang ucapan," ujar Killian, kali ini dengan nada sedingin es meski ekspresi wajahnya masih sama datar. "Jadi, jawab pertanyaanku!""Nnno—nonnaa Anss—ssiaa," pelayan itu tergagap-gagap menjawab. "Bbeliau ttidak mma—u iiik
Aila menarik selimut sampai nyaris menutupi kepala. Sejak semalam dia merasa tidak enak badan dan sekarang malah menggigil. Tapi yang paling dirasakan sakit dan membuat gadis itu merintih adalah pergelangan tangan kirinya."Sakiit ...," erangnya, meringkuk di balik selimut, mengelus pelan pergelangan tangan yang sekarang bengkak dan semakin membiru. "Sakiit, Maa. Mamaa, tolongin Ailaa."Padahal belum lama sejak dia berpisah dengan Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya, tapi semua terasa bagai mimpi. Dalam 24 jam terakhir gadis itu sudah mengalami terlalu banyak teror dan kejadian mengerikan."Pulang," isaknya. "Aku mau pulang."Tangisnya mungkin akan berlanjut, tapi suara di luar pintu kamar membuatnya waspada.Tadi memang ada seorang pelayan perempuan yang datang dan memintanya agar ikut sarapan, tapi tentu saja Aila menolak. Sekujur tubuhnya saja sudah terasa nyeri walau hanya untuk sedikit bergerak, apalagi kalau harus dipaksa turun untuk sarapan b
Aiden melongo setelah memasuki kamar. Bukannya apa-apa, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Lalu, di mana Ansia?Mengedarkan pandangan, dahinya berkerut kala melihat sesuatu di pojok kamar, tersembunyi di antara sela lemari dan dinding."Ans?" sapa Aiden, keheranan melihat gadis yang dikenalnya sekarang meringkuk di balik selimut dengan tubuh gemetar. "Ansia?""Kamu kenapa di situ?" Aiden perlahan mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya terhenti karena melihat reaksi terkejut gadis itu. "Ans? Ini aku, Aiden."Kerutan di dahinya semakin dalam, dia bingung kenapa Ansia bersikap ketakutan seperti ini?"Ja—jangan mendekat," bisik Aila, menarik selimut agar lebih menutupi dirinya. "Jangan mendekat. Jangan sentuh."Kalau saja bukan karena kondisi Ansia yang membuatnya bingung, Aiden pasti sudah mengerang putus asa.Tadi Killian yang memberinya larangan agar tidak mendekat dan menyentuh Ansia, dan sekarang gadis itu juga memi
Aila menangis. Tadi dia memang sudah tertidur, tapi ternyata tubuhnya begitu sensitif soal 'orang itu' sehingga terbangun.Dia sangat ketakutan dengan lelaki buta itu, membuat dirinya tanpa sadar menjadi begitu waspada. Bahkan sekedar kedatangan atau suara 'orang itu' pun bisa membuat Aila gemetar."Mamaa," isaknya, mengusap dahi yang tadi dicium. Dia tidak menyukai semua sentuhan yang dilakukan 'orang itu' padanya. Sekedar teringat saja sudah membuat Aila bergidik ngeri. "Mamaa .... Aila mau pulang."Noah.Air mata Aila mengalir semakin deras saat teringat kekasihnya. Dia merasa sangat kotor karena telah disentuh lelaki lain. Meski sudah berkali-kali menggosok dan mengelap kulit, tapi sentuhan dan ciuman 'orang itu' masih juga terasa, membuatnya meremang.Mengusap air mata, Aila tergugu. Dia merasa seolah jatuh ke neraka sejak datang ke sini."Tenang, Aila. Tenanglah," bisiknya. "Cobalah berpikir, bagaimana caranya pergi dari sini?"