Aiden melongo setelah memasuki kamar. Bukannya apa-apa, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Lalu, di mana Ansia?
Mengedarkan pandangan, dahinya berkerut kala melihat sesuatu di pojok kamar, tersembunyi di antara sela lemari dan dinding.
"Ans?" sapa Aiden, keheranan melihat gadis yang dikenalnya sekarang meringkuk di balik selimut dengan tubuh gemetar. "Ansia?"
"Kamu kenapa di situ?" Aiden perlahan mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya terhenti karena melihat reaksi terkejut gadis itu. "Ans? Ini aku, Aiden."
Kerutan di dahinya semakin dalam, dia bingung kenapa Ansia bersikap ketakutan seperti ini?
"Ja—jangan mendekat," bisik Aila, menarik selimut agar lebih menutupi dirinya. "Jangan mendekat. Jangan sentuh."
Kalau saja bukan karena kondisi Ansia yang membuatnya bingung, Aiden pasti sudah mengerang putus asa.
Tadi Killian yang memberinya larangan agar tidak mendekat dan menyentuh Ansia, dan sekarang gadis itu juga memi
Aku sama bang Aiden aja, bang Killian terlalu serem 😭😭😭
Aila menangis. Tadi dia memang sudah tertidur, tapi ternyata tubuhnya begitu sensitif soal 'orang itu' sehingga terbangun.Dia sangat ketakutan dengan lelaki buta itu, membuat dirinya tanpa sadar menjadi begitu waspada. Bahkan sekedar kedatangan atau suara 'orang itu' pun bisa membuat Aila gemetar."Mamaa," isaknya, mengusap dahi yang tadi dicium. Dia tidak menyukai semua sentuhan yang dilakukan 'orang itu' padanya. Sekedar teringat saja sudah membuat Aila bergidik ngeri. "Mamaa .... Aila mau pulang."Noah.Air mata Aila mengalir semakin deras saat teringat kekasihnya. Dia merasa sangat kotor karena telah disentuh lelaki lain. Meski sudah berkali-kali menggosok dan mengelap kulit, tapi sentuhan dan ciuman 'orang itu' masih juga terasa, membuatnya meremang.Mengusap air mata, Aila tergugu. Dia merasa seolah jatuh ke neraka sejak datang ke sini."Tenang, Aila. Tenanglah," bisiknya. "Cobalah berpikir, bagaimana caranya pergi dari sini?"
Aila tahu, seharusnya dia tidak boleh lengah. Tidak, terlebih dengan iblis yang menyerupai manusia ini.Tapi, bukankah memang iblis diciptakan dengan begitu menarik agar bisa memikat? Dan tampilan lelaki jelmaan iblis ini memang sangat sempurna.Sepertinya, Aila sudah terjatuh dalam jebakan Sang Iblis Hitam."Kills ....""Sst. Just shut up and kiss me back, Ans."Aila berusaha menarik napas sebisa mungkin, tapi tidak ada terlalu banyak kesempatan baginya. Melepaskan tautan bibir mereka sepertinya bukan hal yang perlu bagi Killian."Kills, sud— eghmp ...."Tidak lebih dari beberapa detik bila Aila memaksa menyudahi ciuman, percuma saja karena Killian sudah langsung melumat bibirnya lagi.Aneh. Ini aneh.Bukankah tadi mereka hanya sedang minum teh bersama? Lalu kenapa sekarang mereka malah berciuman dengan panasnya?Sejak memakan camilan dan meminum teh tadi, entah mengapa perasaan Aila menjadi lebih ringan. S
"Bu, pelan-pelan."Langkah Aila terburu, susah payah mengikuti sementara Risa terus berjalan cepat dan setengah menyeret putrinya. Tubuh gadis itu masih terasa lemas sementara pikiran pun belum fokus, membuat dia tidak bisa mencerna keadaan yang ada."Bu, apa yang- Akh!"Risa menyentakkan tangan, membuat Aila terjerembab. Tapi saat gadis itu terhuyung ke belakang, Heri yang tadi menyusul mereka dan baru datang, langsung menangkap putrinya sehingga tidak sampai terjatuh."Bu," tanya Aila yang masih kebingungan. "Ada ap-"PLAKK!!Aila terpaku. Pipi kirinya terasa panas dan sakit."Risa!" seru Heri, kaget karena istrinya tiba-tiba menampar Aila. "Ada apa ini sebenarnya?""Tanya putrimu!" balas Risa berteriak marah. "Apa yang sudah dia lakukan bersama lelaki iblis itu?!"Deg!Tamparan Risa membuat pikiran Aila perlahan menjadi jernih. Kepala gadis itu masih pusing dan telinga pun berdenging, tapi ingatannya mulai memu
"Bagaimana?" tanya Killian, mengusap bibirnya dengan lap. Dia baru saja menyuapkan sepotong daging sewaktu Erik datang dan melapor."Nona Ansia masih menolak untuk makan dan minum," jawab Erik dengan nada tenang.Sunyi sesaat. Lelaki buta itu perlahan menarik napas dalam, membuat para pelayan dan pengawal yang menyertai acara makannya mulai merasa gelisah."Antar aku ke kamarnya," ujar Killian, melempar lap makannya begitu saja.Erik mengangguk patuh dan segera menemani tuan mudanya. Sepeninggal mereka, bisa dikata para pelayan dan pengawal yang masih berdiri di ruang makan, semua serentak menghela napas lega.Sepengetahuan mereka, sudah tiga hari ini 'Nona Ansia' menolak makan dan minum. Gadis cantik itu bahkan mengurung diri dalam kamar dan tidak mengijinkan siapa pun masuk. Lalu selama tiga hari itu pulalah, Killian bersikap lebih diam.Memang tidak ada kemarahan atau amukan yang lelaki buta itu lakukan. Belum, lebih tepatnya. Namun
Aiden memarkirkan mobilnya begitu saja dan langsung terburu keluar. Tidak ada langkah kaki menggaung yang terdengar kala dokter muda itu berlari menyusuri koridor. Lapisan tebal karpet Persia kualitas terbaik yang menghampar, selain nyaman untuk diinjak ternyata juga efektif meredam suara."Sebelah sini, Dokter!" seru pelayan yang memandunya karena Aiden terus berlari lurus saat dia seharusnya membelok.Memaki dalam hati, dokter muda itu menggerutu dengan banyaknya koridor dan ruangan di rumah besar yang lebih mirip hotel ini.Kediaman utama keluarga Ardhana memang tidak main-main soal kemewahan, tapi sekarang Aiden sangat berharap kalau jarak yang harus ditempuhnya tidak perlu sejauh ini."Ian!" serunya menyerbu masuk ke sebuah kamar. "Mana yang luka? Perlihatkan, biar kuperiksa."Menanggapi Aiden yang terengah setelah berlari dan setengah mati khawatir, Killian hanya mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke arah belakang dokter muda
"Sakit," ringis Aila saat Killian mencengkeram kuat pergelangan tangan dan menyeretnya pergi.Tidak ada sahutan dan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sedikit banyak dia sudah tahu bagaimana kasar dan mengerikannya sikap lelaki buta ini. Menggigit bibir, Aila berusaha menahan sakit."Aduh!" Aila menjerit pelan saat bahunya membentur dinding, tapi tetap saja, bukannya peduli Killian malah terus menyeret gadis cantik itu membelok ke koridor lain dan menaiki tangga. "Ini kita mau ke man— Akh!"Sebuah pintu ruangan dibuka dan dia dilemparkan masuk begitu saja. Masih kebingungan, sambil meringis menahan sakit, lengan kiri Aila sudah ditarik lagi dan Killian menyeretnya seperti sekarung beras tanpa mau repot membantu gadis bermata abu itu berdiri."Lepas!" ronta Aila, berusaha menarik dan menjejak, tapi Killian tetap bergeming. "Lepas! Akh!"Lagi-lagi Killian melemparnya. Terdengar jeritan kecil saat gadis cantik itu jatuh, terjerembab ke atas
"Diam saja dan lihat aku.""Ap-apa?"Tidak terdengar jawaban yang lelaki buta itu berikan, tapi Aila bisa melihat ada segaris senyuman miring di wajah tampannya."Ansia Roxanne," ujarnya lirih dengan nada menggoda. "Diam dan lihat aku. Hm?"Aila kesulitan menelan ludah meski tenggorokannya sudah terasa sangat kering. Dia begitu terpaku dan tercengang dengan kelakuan Killian yang tiba-tiba melepas pakaiannya satu-persatu."Stop! Stop, Kills! Jangan teruskan. Untuk yang satu itu, jangan kamu lepas. Oke?" seru Aila buru-buru. Wajah gadis itu sudah merah padam karena sekarang Killian hanya mengenakan boxer saja.Salah satu alis Killian menaik. "Memangnya kenapa? Toh, kamu juga sudah sering melihat isinya. Iya kan?"Dalam hati Aila mengerang frustasi. Gadis itu bingung, harus dengan cara apa lagi dia harus memberi tahu bahwa dia bukan Ansia?"Apa kamu selalu keras kepala seperti ini?" tanyanya, memasang wajah kesal.Killian t
Heri Roxanne sedang duduk meringkuk saat seorang petugas membuka pintu jeruji kurungan dan memanggilnya. "Keluarlah." "Apa? "Silakan keluar, Tuan Roxanne. Mulai hari ini Anda bebas." Ada beberapa saat yang Heri lewatkan untuk mencerna ucapan petugas polisi tersebut, sebelum akhirnya terperangah. "Sa—saya bebas? Benarkah?" serunya penuh keheranan. Sudah dua minggu ini dia terpaksa mendekam dalam penjara atas tuduhan yang tidak pernah dilakukannya. Bahkan para pengacara keluarga Roxanne pun sudah menyatakan tidak berdaya untuk bisa membebaskan Heri. Tapi, sekarang? "Silakan, Tuan Roxanne. Istri Anda sudah menunggu," ujar si petugas polisi, menyadarkan Heri dari lamunannya. Sementara itu dahi Heri berkerut. Sambil bergegas berdiri dan berjalan mengikuti petugas, saat ini dalam pikirannya bergulat banyak hal. Bagaimana dia bisa mendadak dibebaskan seperti sekarang? Apakah Risa yang sudah mengusahakan kebebas