Aiden memarkirkan mobilnya begitu saja dan langsung terburu keluar. Tidak ada langkah kaki menggaung yang terdengar kala dokter muda itu berlari menyusuri koridor. Lapisan tebal karpet Persia kualitas terbaik yang menghampar, selain nyaman untuk diinjak ternyata juga efektif meredam suara.
"Sebelah sini, Dokter!" seru pelayan yang memandunya karena Aiden terus berlari lurus saat dia seharusnya membelok.
Memaki dalam hati, dokter muda itu menggerutu dengan banyaknya koridor dan ruangan di rumah besar yang lebih mirip hotel ini.
Kediaman utama keluarga Ardhana memang tidak main-main soal kemewahan, tapi sekarang Aiden sangat berharap kalau jarak yang harus ditempuhnya tidak perlu sejauh ini.
"Ian!" serunya menyerbu masuk ke sebuah kamar. "Mana yang luka? Perlihatkan, biar kuperiksa."
Menanggapi Aiden yang terengah setelah berlari dan setengah mati khawatir, Killian hanya mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke arah belakang dokter muda
"Sakit," ringis Aila saat Killian mencengkeram kuat pergelangan tangan dan menyeretnya pergi.Tidak ada sahutan dan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sedikit banyak dia sudah tahu bagaimana kasar dan mengerikannya sikap lelaki buta ini. Menggigit bibir, Aila berusaha menahan sakit."Aduh!" Aila menjerit pelan saat bahunya membentur dinding, tapi tetap saja, bukannya peduli Killian malah terus menyeret gadis cantik itu membelok ke koridor lain dan menaiki tangga. "Ini kita mau ke man— Akh!"Sebuah pintu ruangan dibuka dan dia dilemparkan masuk begitu saja. Masih kebingungan, sambil meringis menahan sakit, lengan kiri Aila sudah ditarik lagi dan Killian menyeretnya seperti sekarung beras tanpa mau repot membantu gadis bermata abu itu berdiri."Lepas!" ronta Aila, berusaha menarik dan menjejak, tapi Killian tetap bergeming. "Lepas! Akh!"Lagi-lagi Killian melemparnya. Terdengar jeritan kecil saat gadis cantik itu jatuh, terjerembab ke atas
"Diam saja dan lihat aku.""Ap-apa?"Tidak terdengar jawaban yang lelaki buta itu berikan, tapi Aila bisa melihat ada segaris senyuman miring di wajah tampannya."Ansia Roxanne," ujarnya lirih dengan nada menggoda. "Diam dan lihat aku. Hm?"Aila kesulitan menelan ludah meski tenggorokannya sudah terasa sangat kering. Dia begitu terpaku dan tercengang dengan kelakuan Killian yang tiba-tiba melepas pakaiannya satu-persatu."Stop! Stop, Kills! Jangan teruskan. Untuk yang satu itu, jangan kamu lepas. Oke?" seru Aila buru-buru. Wajah gadis itu sudah merah padam karena sekarang Killian hanya mengenakan boxer saja.Salah satu alis Killian menaik. "Memangnya kenapa? Toh, kamu juga sudah sering melihat isinya. Iya kan?"Dalam hati Aila mengerang frustasi. Gadis itu bingung, harus dengan cara apa lagi dia harus memberi tahu bahwa dia bukan Ansia?"Apa kamu selalu keras kepala seperti ini?" tanyanya, memasang wajah kesal.Killian t
Heri Roxanne sedang duduk meringkuk saat seorang petugas membuka pintu jeruji kurungan dan memanggilnya. "Keluarlah." "Apa? "Silakan keluar, Tuan Roxanne. Mulai hari ini Anda bebas." Ada beberapa saat yang Heri lewatkan untuk mencerna ucapan petugas polisi tersebut, sebelum akhirnya terperangah. "Sa—saya bebas? Benarkah?" serunya penuh keheranan. Sudah dua minggu ini dia terpaksa mendekam dalam penjara atas tuduhan yang tidak pernah dilakukannya. Bahkan para pengacara keluarga Roxanne pun sudah menyatakan tidak berdaya untuk bisa membebaskan Heri. Tapi, sekarang? "Silakan, Tuan Roxanne. Istri Anda sudah menunggu," ujar si petugas polisi, menyadarkan Heri dari lamunannya. Sementara itu dahi Heri berkerut. Sambil bergegas berdiri dan berjalan mengikuti petugas, saat ini dalam pikirannya bergulat banyak hal. Bagaimana dia bisa mendadak dibebaskan seperti sekarang? Apakah Risa yang sudah mengusahakan kebebas
"Gotcha! Aku menangkapmu, Kucing Kecil!""Kills?"Killian tersenyum, membuat Aila merasakan lonjakan pada degup jantungnya.Ini ... aneh. Seharusnya dia tidak boleh berdebar saat menghadapi lelaki iblis ini.Baru saja Aila mencoba menjejalkan fakta bahwa dia memiliki Noah sebagai kekasih ke dalam pikiran, saat Killian tiba-tiba mencium puncak kepalanya dan berbisik, "Lain kali hati-hati. Kamu bisa jatuh tadi."Melepaskan pelukannya, Killian berjalan begitu saja dan kembali duduk di sofa bed, meninggalkan Aila yang berdiri terpaku.Bukankah ini ... aneh?Aila mengusap dahi dan menepuk kedua pipinya.Dia ... tidak bermimpi. Jadi ini benar-benar nyata? Sejak kapan sikap Killian berubah seperti ini?"Biasanya saja aku sampai harus berontak agar dia mau melepas pelukannya," gumam Aila, mendadak berpikir keras. "Sejak kapan dia berubah jadi kalem?""Ans, apa yang kamu lakukan di situ?" suara Killian terdengar, membuat A
Malam sebelumnya.Di kediaman Reynault. Ada banyak buku yang berserakan di atas meja, membuat ruang kerja itu terlihat berantakan. Aiden menuliskan sesuatu, tapi tidak lama berselang dia mencoretnya. Menulis lagi lalu mencoretnya dan berulang seperti itu selama beberapa kali. Beberapa kali dokter muda itu menghela napas berat lalu mengacak-acak rambut. Tampangnya kusut. Lalu penampilan yang biasanya terlihat rapi dan bersih, sekarang nampak tidak karuan. Mengerang kesal, Aiden membanting pena dan menyerakkan kertas-kertas berisi pekerjaannya begitu saja. "Apa ada masalah, Kak?" tanya Aisa, menepuk pelan pundak Aiden lalu berbicara melalui isyarat tangannya. "Sudah hampir 2 minggu Kakak kacau seperti ini, tepatnya sejak Kakak pulang dari kediaman Ardhana. Apakah mereka melakukan sesuatu yang buruk, sewaktu Kakak berada di sana?" Aisa memandang khawatir kakak tirinya itu. Belakangan ini Aiden selalu gelisah dan bergadang setiap malam.
"Beri kami waktu lima menit!" Dahi Erik sedikit berkerut saat mendengar perintah yang Killian keluarkan. Tadi dia pergi untuk menghubungi Aiden dan memang sengaja menunggu sampai dokter muda itu datang. Kejadian sewaktu terakhir kali Aiden berkunjung tidak terlalu bagus dan Erik hanya berjaga-jaga saja sehingga dia sendirilah yang menyambut dan mengantar dokter pribadi keluarga Ardhana itu. Tidak terlalu lama waktu yang berlalu saat Erik meninggalkan ruang kerja, mungkin hanya sekitar 40-45 menit sampai akhirnya Aiden datang dengan terburu. Sekilas tadi Erik memang sempat heran dengan wajah berseri dokter muda itu yang seolah begitu senang karena sudah dipanggil. Namun mengingat bahwa baik Tuan Muda maupun Nona Ansia sudah menunggu, pengawal itu tidak memikirkannya lebih lanjut dan segera mengantarkan Aiden ke ruang kerja. Lalu nyatanya, sekarang mereka bahkan tidak boleh masuk. Dalam hati lelaki paruh baya itu bertanya-tanya. Apa yang
Aisa tengah berbaring di atas tempat tidur, bergulung di balik selimutnya, kala terdengar sedikit keributan.Awalnya dia tidak terlalu memperhatikannya, tapi suara pecahan kaca dan barang-barang yang dibanting, semakin nyaring terdengar.Dahi gadis itu berkerut. Rumah ini biasanya sepi karena hanya ada dia dan Aiden.Mereka memang tidak mempunyai pembantu, tapi ada petugas yang mereka bayar untuk membantu membersihkan rumah setiap dua hari sekali. Ada pihak laundry untuk menangani baju kotor mereka setiap hari, tapi di rumah juga tersedia sebuah mesin cuci. Sementara mengenai makanan, sudah ada katering khusus yang mengirimkan makanan dengan menu berbeda dua kali dalam satu hari.Semua Aiden yang mengatur seperti itu karena dia tidak terlalu suka bila ada banyak orang di dalam rumahnya. Dokter muda itu menyukai suasana yang tenang dan dia juga tahu bahwa tidak banyak orang yang bisa menerima kondisi kekurangan fisik Aisa.Itulah sebabnya, nyaris se
"Apa sudah terjadi sesuatu?""Entahlah. Bagaimana menurutmu?""Tanya saja Fani dan Ellen. Mereka berdualah yang menemani Nona waktu itu.""Percuma. Mereka tidak tahu apa pun karena hanya menunggu di luar ruang kerja. Aku sudah menanyai mereka tadi.""Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?"Aila menghela napas. Bisik-bisik dan gumaman para pelayan masih bisa didengarnya meski samar."Saya akan memberi mereka teguran, Nona," ujar Erik, langsung tanggap.Menggeleng, tanpa berkata apa pun Aila kembali meneruskan langkahnya ke perpustakaan dengan diikuti Erik.Sudah dua hari berselang sejak kejadian di ruang kerja itu dan sudah dua hari pula Aila tidak bertemu Killian. Lelaki itu seolah berusaha menghindarinya, entah karena apa.Mungkin semua hanya perasaannya saja, tapi yang jelas dia tidak perlu berurusan dengan Killian dan Aila merasa tidak perlu mengeluh karenanya.Namun ada masalah lainnya. Itu adalah Erik yang terus
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida