"Gotcha! Aku menangkapmu, Kucing Kecil!"
"Kills?"
Killian tersenyum, membuat Aila merasakan lonjakan pada degup jantungnya.
Ini ... aneh. Seharusnya dia tidak boleh berdebar saat menghadapi lelaki iblis ini.
Baru saja Aila mencoba menjejalkan fakta bahwa dia memiliki Noah sebagai kekasih ke dalam pikiran, saat Killian tiba-tiba mencium puncak kepalanya dan berbisik, "Lain kali hati-hati. Kamu bisa jatuh tadi."
Melepaskan pelukannya, Killian berjalan begitu saja dan kembali duduk di sofa bed, meninggalkan Aila yang berdiri terpaku.
Bukankah ini ... aneh?
Aila mengusap dahi dan menepuk kedua pipinya.
Dia ... tidak bermimpi. Jadi ini benar-benar nyata? Sejak kapan sikap Killian berubah seperti ini?
"Biasanya saja aku sampai harus berontak agar dia mau melepas pelukannya," gumam Aila, mendadak berpikir keras. "Sejak kapan dia berubah jadi kalem?"
"Ans, apa yang kamu lakukan di situ?" suara Killian terdengar, membuat A
Malam sebelumnya.Di kediaman Reynault. Ada banyak buku yang berserakan di atas meja, membuat ruang kerja itu terlihat berantakan. Aiden menuliskan sesuatu, tapi tidak lama berselang dia mencoretnya. Menulis lagi lalu mencoretnya dan berulang seperti itu selama beberapa kali. Beberapa kali dokter muda itu menghela napas berat lalu mengacak-acak rambut. Tampangnya kusut. Lalu penampilan yang biasanya terlihat rapi dan bersih, sekarang nampak tidak karuan. Mengerang kesal, Aiden membanting pena dan menyerakkan kertas-kertas berisi pekerjaannya begitu saja. "Apa ada masalah, Kak?" tanya Aisa, menepuk pelan pundak Aiden lalu berbicara melalui isyarat tangannya. "Sudah hampir 2 minggu Kakak kacau seperti ini, tepatnya sejak Kakak pulang dari kediaman Ardhana. Apakah mereka melakukan sesuatu yang buruk, sewaktu Kakak berada di sana?" Aisa memandang khawatir kakak tirinya itu. Belakangan ini Aiden selalu gelisah dan bergadang setiap malam.
"Beri kami waktu lima menit!" Dahi Erik sedikit berkerut saat mendengar perintah yang Killian keluarkan. Tadi dia pergi untuk menghubungi Aiden dan memang sengaja menunggu sampai dokter muda itu datang. Kejadian sewaktu terakhir kali Aiden berkunjung tidak terlalu bagus dan Erik hanya berjaga-jaga saja sehingga dia sendirilah yang menyambut dan mengantar dokter pribadi keluarga Ardhana itu. Tidak terlalu lama waktu yang berlalu saat Erik meninggalkan ruang kerja, mungkin hanya sekitar 40-45 menit sampai akhirnya Aiden datang dengan terburu. Sekilas tadi Erik memang sempat heran dengan wajah berseri dokter muda itu yang seolah begitu senang karena sudah dipanggil. Namun mengingat bahwa baik Tuan Muda maupun Nona Ansia sudah menunggu, pengawal itu tidak memikirkannya lebih lanjut dan segera mengantarkan Aiden ke ruang kerja. Lalu nyatanya, sekarang mereka bahkan tidak boleh masuk. Dalam hati lelaki paruh baya itu bertanya-tanya. Apa yang
Aisa tengah berbaring di atas tempat tidur, bergulung di balik selimutnya, kala terdengar sedikit keributan.Awalnya dia tidak terlalu memperhatikannya, tapi suara pecahan kaca dan barang-barang yang dibanting, semakin nyaring terdengar.Dahi gadis itu berkerut. Rumah ini biasanya sepi karena hanya ada dia dan Aiden.Mereka memang tidak mempunyai pembantu, tapi ada petugas yang mereka bayar untuk membantu membersihkan rumah setiap dua hari sekali. Ada pihak laundry untuk menangani baju kotor mereka setiap hari, tapi di rumah juga tersedia sebuah mesin cuci. Sementara mengenai makanan, sudah ada katering khusus yang mengirimkan makanan dengan menu berbeda dua kali dalam satu hari.Semua Aiden yang mengatur seperti itu karena dia tidak terlalu suka bila ada banyak orang di dalam rumahnya. Dokter muda itu menyukai suasana yang tenang dan dia juga tahu bahwa tidak banyak orang yang bisa menerima kondisi kekurangan fisik Aisa.Itulah sebabnya, nyaris se
"Apa sudah terjadi sesuatu?""Entahlah. Bagaimana menurutmu?""Tanya saja Fani dan Ellen. Mereka berdualah yang menemani Nona waktu itu.""Percuma. Mereka tidak tahu apa pun karena hanya menunggu di luar ruang kerja. Aku sudah menanyai mereka tadi.""Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?"Aila menghela napas. Bisik-bisik dan gumaman para pelayan masih bisa didengarnya meski samar."Saya akan memberi mereka teguran, Nona," ujar Erik, langsung tanggap.Menggeleng, tanpa berkata apa pun Aila kembali meneruskan langkahnya ke perpustakaan dengan diikuti Erik.Sudah dua hari berselang sejak kejadian di ruang kerja itu dan sudah dua hari pula Aila tidak bertemu Killian. Lelaki itu seolah berusaha menghindarinya, entah karena apa.Mungkin semua hanya perasaannya saja, tapi yang jelas dia tidak perlu berurusan dengan Killian dan Aila merasa tidak perlu mengeluh karenanya.Namun ada masalah lainnya. Itu adalah Erik yang terus
"Kalau kugesek-gesekkan seperti ini, apakah enak?""Eghm! Akh!""Akan lebih enak kalau semisal kumasukkan lho, Sayang.""Jang— Akh!""Bagaimana kalau coba ujungnya saja? Nanti kamu bisa putuskan, rasanya lebih enak atau nggak. Hm?"Tubuh Aila bergetar. Wajah gadis itu sudah merah padam sementara keringatnya pun membanjir."Kills ....""Ujungnya saja, Sayang," bisik Killian, sarat dengan nada bujukan. "Ujungnya saja. Aku nggak akan memasukkannya lebih dari itu, kecuali kamu sendiri yang meminta. Bagaimana?"Aila memandang wajah tampan lelaki yang tengah menindihnya ini. Sedikit sisa akal sehatnya sedang bertarung dengan desakan untuk merasakan kenikmatan.Gadis itu paham bahwa posisinya saat ini lebih berbahaya. Dulu dia sangat yakin untuk sanggup menolak semua sentuhan dan rayuan lelaki ini, bahwa dia tidak akan tergoda sedikit pun, tapi sekarang Aila bahkan tidak percaya dengan dirinya sendiri.Bahkan persy
Sepasang pintu ganda yang terbuat dari kayu berkualitas terbaik, terbuka.Di baliknya, terhampar ruangan luas dengan tatanan dan dekorasi mewah khas keluarga Ardhana. Lantai marmer yang membentang begitu berkilau, nyaris bisa digunakan untuk mengaca. Lampu chandelier kristal yang menggantung setinggi lima meter di tengah ruangan pun sangat mengagumkan.Di kanan kiri, nyaris sepanjang ruangan, berjejer banyak manekin yang mengenakan berbagai gaun pengantin dengan banyak model dan warna. Sedangkan di dekat pintu masuk, berdiri tiga orang perempuan dengan penampilan khas profesional. Mereka adalah para asisten Aria Hill.Aria Hill melangkah masuk dan para asisten yang sudah menunggu, serentak menunduk hendak menyambutnya. Namun mereka heran. Setelah lebih dari satu jam menunggu, dengan langkah cepat desainer cantik itu malah melewati mereka begitu saja.Tidak hanya itu, ada seorang gadis dengan surai coklat sewarna madu yang tengah digandeng oleh Aria.
"Tuan Muda, mohon tunggu."Erik berjalan cepat, berusaha menyusul Killian. Sedikit berlari, lelaki paruh baya itu mendahului Killian dan menghentikannya. Sedikit nekat sebenarnya, tapi pengawal itu merasa tidak memiliki pilihan lain."Maafkan saya, Tuan Muda," ujarnya, membungkuk sedalam mungkin. "Tapi mohon obati dulu luka di tangan Anda. Saya khawatir ada serpihan kaca yang masuk.""Bukan luka parah, jangan terlalu dibesar-besarkan," Killian balas menjawab dengan nada enteng. Dia malah dengan santai mengibas-ibaskan tangannya, membuat beberapa tetes darah terpercik di permukaan dinding dan karpet."Maaf, Tuan Muda, tapi—""Erik, sejak kapan kamu menjadi secerewet ini?""Maaf."Berdecak kesal, Killian lalu mengangkat tangan hendak mengacak-acak rambut. Namun dia segera meringis, merasakan nyeri saat lukanya bersentuhan dengan rambut."Cih! Merepotkan saja."Killian terdiam, berpikir sesaat sebelum akhirnya berbali
"Argh!""Ap—apa sakit sekali? Ma—maaf, aku nggak bermaks—""Nggak apa-apa kok, Sayang. Lanjutkan saja. Ya?"Menggigit bibir, tangan Aila sedikit gemetar sewaktu menekan kasa yang sudah dibasahi alkohol ke atas luka di tangan Killian."Bagaimana kalau panggil dokter saja, Kills?" usulnya, menahan ngeri melihat luka yang menganga. "Darahnya juga masih belum berhenti. Oh, ya Tuhan!""Ada apa?" tanya Killian karena Aila langsung melepaskan tangannya dan berdiri. "Sayang? Ada apa?"Aila kebingungan saat baru menyadari kalau gaun pengantinnya terkena noda darah. "Gaun pengantinnya terkena darahmu, Kills," ujarnya panik. "Bagaimana ini?""Lalu memangnya kenapa?" sahut Killian acuh. Dia lalu mengangkat tangannya ke arah Aila. "Kemari. Mendekatlah padaku.""Ta—tapi gaunnya nanti akan semakin kotor," tolak Aila. "Bagaimana kalau aku berganti pakaian dulu? Nggak akan lama kok.""Ansia Roxanne! Bukankah aku m
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida