Killian dengan gusar keluar dari ruang kerja. Dia sama sekali tidak suka bila kegiatannya diganggu, apalagi kalau mengenai urusan birahi.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.
"I—iittu ...." Si pelayan meneguk ludah dan menunduk sedalam mungkin, sama sekali tidak berani mendongak karena meski kedua mata Killian dalam keadaan buta, tapi bukan berarti kengerian dari lelaki itu bisa dihilangkan. "Ddi—ddiii bbaa—waah ad—adda—"
"BICARA YANG JELAS!"
"Di bawah ada kedua orang tua Tuan Muda!"
Si pelayan buru-buru menutup mulut dan bertampang panik seketika. Sementara itu Killian menghela napas kesal. Dia sudah gatal ingin menghajar pelayan di depannya ini tapi suara isakan yang terdengar membuatnya tertegun.
Menangis? Siapa yang menangis?
Saat ini dia masih berada di depan pintu ruang kerjanya dan suara isakan pelan itu terdengar dari sana.
Mungkinkah itu Ansia yang menangis?
"Cih!" makinya, menghilangkan pemikiran bodohnya barusan.&nb
Aila berusaha untuk bisa lepas dari lelaki yang hendak menindihnya, tapi kondisi tubuh yang sejak awal sudah lemas, membuat gadis itu tidak bisa berbuat banyak."Toloongg," teriaknya diiringi isak tangis.Ada rasa putus asa yang dirasakan Aila, dia bingung mengapa semua hal mengerikan ini harus dialaminya?"Diam dan jangan banyak tingkah, Ans," sergah Adam, memeluknya dari belakang dan menciumi leher Aila. "Bukankah kamu sudah terbiasa melayani Killian dan Dion, pacar gelapmu itu? Jadi nggak ada bedanya 'kan kalau sekarang kamu melayaniku?"Gadis itu menggeleng kuat. Dia Aila, bukan Ansia. Dia sudah membuka mulut hendak mengatakan yang sebenarnya, saat tangan Adam meremas bagian dada dan membuatnya menjerit."Nggaaakk! Nggaak mau! Lepaaasss!""Jangan sok suci dan jual mahal, Ans!"Adam menarik dan membanting Aila ke atas karpet. Seperti ada yang mencengkeram kuat bagian dadanya, membuat gadis itu sesak, bahkan untuk bernapas normal pun sulit
"Ada apa, Ivona?"Kedua alis tebal Claude menyatu, sepasang mata elangnya mengamati sang istri lamat-lamat karena sejak mereka pulang dari rumah Killian, Ivona terus saja termenung seolah ada yang dipikirkan.Ivona hanya diam, terus saja teringat dengan gadis yang berada di ruang kerja putranya. Dia tahu siapa gadis itu, tapi justru hal inilah yang membuat heran.Dia tidak pernah menyukai Ansia. Boleh dikata sejak awal mereka bertemu, Ivona sudah merasa gadis itu bukanlah pilihan yang tepat bagi Killian."Lalu, kenapa sekarang aku mencemaskannya?" keluhnya.Ini pertama kali Ivona menaruh perhatian untuk Ansia. Apa karena dia melihat bekas cekikan di leher gadis itu sehingga membuatnya kasihan?Lagi pula, Ansia yang ditemuinya tadi terlihat sedikit berbeda.Mata Ansia berwarna hitam tapi gadis di ruang kerja putranya tadi memiliki mata berwarna abu-abu cerah."Wajahnya memang mirip, tapi kesannya seperti orang lain," gumam Ivona
Killian memainkan pisau makan di tangannya.Sudah sepuluh menit berlalu sejak sarapan dihidangkan tapi Killian belum menyentuhnya sama sekali. Dia malah asyik memutar pisau, membuat para pelayan yang mendampingi mulai berkeringat dingin.Salah satu pelayan perempuan menjerit kaget sewaktu Killian tiba-tiba melempar pisau, tepat saat dia membuka pintu ruang makan dan berjalan masuk."Bagaimana?" tanya Killian dengan nada sedatar kertas.Megap-megap menarik napas sambil berusaha menenangkan degup jantung, pelayan perempuan itu melirik ngeri pisau yang tertancap di daun pintu yang baru saja dibukanya.Hanya kurang lima senti, pisau itu akan mengenainya, membuat pelayan perempuan itu terus gemetar ketakutan."Aku tidak suka mengulang ucapan," ujar Killian, kali ini dengan nada sedingin es meski ekspresi wajahnya masih sama datar. "Jadi, jawab pertanyaanku!""Nnno—nonnaa Anss—ssiaa," pelayan itu tergagap-gagap menjawab. "Bbeliau ttidak mma—u iiik
Aila menarik selimut sampai nyaris menutupi kepala. Sejak semalam dia merasa tidak enak badan dan sekarang malah menggigil. Tapi yang paling dirasakan sakit dan membuat gadis itu merintih adalah pergelangan tangan kirinya."Sakiit ...," erangnya, meringkuk di balik selimut, mengelus pelan pergelangan tangan yang sekarang bengkak dan semakin membiru. "Sakiit, Maa. Mamaa, tolongin Ailaa."Padahal belum lama sejak dia berpisah dengan Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya, tapi semua terasa bagai mimpi. Dalam 24 jam terakhir gadis itu sudah mengalami terlalu banyak teror dan kejadian mengerikan."Pulang," isaknya. "Aku mau pulang."Tangisnya mungkin akan berlanjut, tapi suara di luar pintu kamar membuatnya waspada.Tadi memang ada seorang pelayan perempuan yang datang dan memintanya agar ikut sarapan, tapi tentu saja Aila menolak. Sekujur tubuhnya saja sudah terasa nyeri walau hanya untuk sedikit bergerak, apalagi kalau harus dipaksa turun untuk sarapan b
Aiden melongo setelah memasuki kamar. Bukannya apa-apa, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Lalu, di mana Ansia?Mengedarkan pandangan, dahinya berkerut kala melihat sesuatu di pojok kamar, tersembunyi di antara sela lemari dan dinding."Ans?" sapa Aiden, keheranan melihat gadis yang dikenalnya sekarang meringkuk di balik selimut dengan tubuh gemetar. "Ansia?""Kamu kenapa di situ?" Aiden perlahan mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya terhenti karena melihat reaksi terkejut gadis itu. "Ans? Ini aku, Aiden."Kerutan di dahinya semakin dalam, dia bingung kenapa Ansia bersikap ketakutan seperti ini?"Ja—jangan mendekat," bisik Aila, menarik selimut agar lebih menutupi dirinya. "Jangan mendekat. Jangan sentuh."Kalau saja bukan karena kondisi Ansia yang membuatnya bingung, Aiden pasti sudah mengerang putus asa.Tadi Killian yang memberinya larangan agar tidak mendekat dan menyentuh Ansia, dan sekarang gadis itu juga memi
Aila menangis. Tadi dia memang sudah tertidur, tapi ternyata tubuhnya begitu sensitif soal 'orang itu' sehingga terbangun.Dia sangat ketakutan dengan lelaki buta itu, membuat dirinya tanpa sadar menjadi begitu waspada. Bahkan sekedar kedatangan atau suara 'orang itu' pun bisa membuat Aila gemetar."Mamaa," isaknya, mengusap dahi yang tadi dicium. Dia tidak menyukai semua sentuhan yang dilakukan 'orang itu' padanya. Sekedar teringat saja sudah membuat Aila bergidik ngeri. "Mamaa .... Aila mau pulang."Noah.Air mata Aila mengalir semakin deras saat teringat kekasihnya. Dia merasa sangat kotor karena telah disentuh lelaki lain. Meski sudah berkali-kali menggosok dan mengelap kulit, tapi sentuhan dan ciuman 'orang itu' masih juga terasa, membuatnya meremang.Mengusap air mata, Aila tergugu. Dia merasa seolah jatuh ke neraka sejak datang ke sini."Tenang, Aila. Tenanglah," bisiknya. "Cobalah berpikir, bagaimana caranya pergi dari sini?"
Aila tahu, seharusnya dia tidak boleh lengah. Tidak, terlebih dengan iblis yang menyerupai manusia ini.Tapi, bukankah memang iblis diciptakan dengan begitu menarik agar bisa memikat? Dan tampilan lelaki jelmaan iblis ini memang sangat sempurna.Sepertinya, Aila sudah terjatuh dalam jebakan Sang Iblis Hitam."Kills ....""Sst. Just shut up and kiss me back, Ans."Aila berusaha menarik napas sebisa mungkin, tapi tidak ada terlalu banyak kesempatan baginya. Melepaskan tautan bibir mereka sepertinya bukan hal yang perlu bagi Killian."Kills, sud— eghmp ...."Tidak lebih dari beberapa detik bila Aila memaksa menyudahi ciuman, percuma saja karena Killian sudah langsung melumat bibirnya lagi.Aneh. Ini aneh.Bukankah tadi mereka hanya sedang minum teh bersama? Lalu kenapa sekarang mereka malah berciuman dengan panasnya?Sejak memakan camilan dan meminum teh tadi, entah mengapa perasaan Aila menjadi lebih ringan. S
"Bu, pelan-pelan."Langkah Aila terburu, susah payah mengikuti sementara Risa terus berjalan cepat dan setengah menyeret putrinya. Tubuh gadis itu masih terasa lemas sementara pikiran pun belum fokus, membuat dia tidak bisa mencerna keadaan yang ada."Bu, apa yang- Akh!"Risa menyentakkan tangan, membuat Aila terjerembab. Tapi saat gadis itu terhuyung ke belakang, Heri yang tadi menyusul mereka dan baru datang, langsung menangkap putrinya sehingga tidak sampai terjatuh."Bu," tanya Aila yang masih kebingungan. "Ada ap-"PLAKK!!Aila terpaku. Pipi kirinya terasa panas dan sakit."Risa!" seru Heri, kaget karena istrinya tiba-tiba menampar Aila. "Ada apa ini sebenarnya?""Tanya putrimu!" balas Risa berteriak marah. "Apa yang sudah dia lakukan bersama lelaki iblis itu?!"Deg!Tamparan Risa membuat pikiran Aila perlahan menjadi jernih. Kepala gadis itu masih pusing dan telinga pun berdenging, tapi ingatannya mulai memu