Lusi memandangi Noah dengan dahi berkerut.
Tadi dia memang memberikan Noah ijin memasuki kamar Aila untuk membangunkan putri angkatnya, tapi jantung perempuan setengah baya itu nyaris naik ke tenggorokan saat melihat mereka malah bermesraan.
Meski Noah sudah memasang tampang bersalah, tapi Lusi masih belum memaafkan pria bule itu sepenuhnya.
"Sayang, ibumu ingin bicara denganmu," ujar Lusi akhirnya, setelah memberi Noah pandangan penuh peringatan.
Aila terdiam, mematung sesaat. Sepasang warna abunya menatap handphone yang disodorkan Lusi untuknya.
"Aila," tegur Lusi dengan nada lembut. "Risa menunggumu."
Mengerjap, Aila memandang Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya. Ada pertanyaan yang coba disampaikan gadis itu lewat pandangan mata.
Haruskah dia menerima panggilan telepon dari ibunya?
Tapi wajah lembut dan senyuman Lusi sudah merupakan jawaban, membuat Aila akhirnya meraih HP dari Lusi.
"Halo, Bu," ujarnya lirih. Belum sempat dia berkata lain, suara sentakan langsung menyahutinya.
"Kenapa lama sekali, Aila?!! Ibu sampai capek menunggumu!!"
Menggigit bibir, Aila memandang Lusi yang hanya mengangguk menyabarkan.
"Maaf, Bu. Tadi aku baru bangun tidur, jadi—"
"Memangnya di sana sekarang jam berapa?! Jangan mentang-mentang kamu tinggal bersama Lusi dan suaminya, lalu kamu bisa enak-enakan. Sebenarnya bagaimana, sih, cara Lusi mendidik? Sepertinya dia terlalu memanjakanmu."
Ada torehan sakit yang dirasakan dalam hati, kedua matanya pun memanas. Namun menyadari kehadiran Lusi dan Noah, membuat Aila memaksakan senyuman.
"Bu," ujarnya, berusaha lebih bersabar. "Tadi kata Mama, Ansia semalam kecelakaan. Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Apa maksudmu? Aila, adik kembarmu kecelakaan dan kamu hanya bertanya bagaimana kabarnya?" hardik Risa, memberi satu lagi denyutan sakit dalam dada Aila. "Seharusnya, begitu kamu mendengar soal Ansia, kamu bergegas kemari!"
Deg!
"Pulang, Aila. Secepatnya. Sudah kewajibanmu untuk berada di sisi Ansia di saat seperti ini."
"Tapi, Bu. Setidaknya beri tahu aku dulu soal keadaan Ans—"
"Cepat pulang dan lihat saja sendiri keadaannya. Jangan bersikap keterlaluan."
Bahkan, tanpa perlu repot untuk bertanya bagaimana kabar Aila, Risa langsung menutup panggilan telepon begitu saja. Rupanya, kabar sang putri kandung yang sudah hidup berpisah selama 14 tahun, bukanlah hal yang penting baginya.
"A—aku mau mandi dulu," ujar Aila dengan suara tercekat. "Tolong," sambungnya, saat Noah hendak mendekat.
Pandangan Aila menunduk, dia tidak sanggup bertatapan dengan siapapun saat ini. Namun setelah kedua orang itu keluar dan pintu kamarnya tertutup, dia luruh ke atas tempat tidur. Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah juga.
Berapa kali pun Aila berpikir, dia tetap tidak mengerti. Perlakuan kedua orang tuanya sangat berbeda antara dia dengan Ansia.
Bagi mereka, seolah hanya ada Ansia dan sama sekali tidak ada tempat bagi Aila.
Bahkan, setelah Lusi keguguran dulu lalu meminta salah satu antara Aila atau Ansia yang bisa diasuhnya sebagai pancingan, mereka langsung setuju untuk menyerahkan Aila. Sejak itu pula, Arthur Lewis, suami Lusi, selalu mengirimkan sejumlah uang secara rutin untuk kedua orang tuanya.
Apa dia memang dibuang? Atau dia sengaja dijual demi uang bulanan yang Aila tahu tidak sedikit jumlahnya?
Tapi, kenapa?
"Sebenarnya aku ini salah apa, sampai ibu dan ayah nggak menyayangiku?" isak Aila. Rasa sakit yang tertimbun dalam hati atas perlakuan kedua orang tuanya sejak lama, kini menyeruak.
Aila lalu berdiri di depan cermin seukuran badan. Mata sembabnya mengamati pantulan diri yang terlihat.
Rambut kecokelatan yang berkilau sewarna madu, hidung mancung, kulit kuning langsat dan sepasang bibir berwarna peach alami.
Secara keseluruhan, penampilan Aila sama persis seperti Ansia. Satu-satunya yang membedakan hanyalah warna mata mereka. Mata Ansia berwarna hitam sedangkan Aila abu-abu cerah, nyaris seperti warna perak.
Dengan penampilan yang sangat serupa, lalu kenapa kedua orang tuanya sangat membedakan mereka?
Aila menghela napas berat. Tentu saja dia cemas soal kecelakaan yang dialami Ansia. Namun di satu sisi, untuk pulang lalu tinggal bersama kedua orang tuanya, membuat Aila ragu.
Respons Risa di telepon tadi saja masih seperti itu, lalu bagaimana dengan ayahnya?
Tubuhnya bergidik. Bahkan sekedar teringat pandangan dingin sang ayah, sudah membuat Aila ketakutan.
"Apa aku harus pulang?" keluhnya.
•••
Pukul delapan pagi dan suasana di Adelaide International Airport sudah sedemikian ramainya.Aila berdiri di depan gate keberangkatan dengan membawa satu koper kecil, tidak berdaya dalam pelukan Lusi yang masih berat mengizinkannya pulang.
“Ugh! Lebih cepat! Akh!”“Sst .... Sarah, pelankan suaramu.”Sarah mendongak. Tubuhnya melenting merasakan nikmat sementara seseorang di belakangnya semakin cepat bergerakKamar mandi yang terletak di area bandara ini sedang ditutup karena rusak. Tentunya bukan tempat yang nyaman untuk digunakan, tapi hal tersebut tidak masalah bagi Sarah. Nyatanya, gadis bersurai pirang itu terus mengerang dan mendesah. Wajahnya memerah memancarkan kenikmatan, sementara tubuh polosnya sudah basah oleh keringat.Mengerang, perempuan bule bersurai pirang itu pun tidak berdaya merasakan gempuran nikmat dari belakang tubuhnya.“Ap-apakah kamu akan- akh! -melepaskannya begitu saj-ja?” tanya Sarah di antara sengal napas."Don't be kidding," sahut lelaki yang sedari tadi memacunya. Secara mendadak dia menarik lepas bagian tubuh yang tadi menyatu dengan Sarah, tapi belum sempat gadis itu menyua
Aila baru saja selesai mengambil bagasi lalu berniat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Penerbangan selama 20 jam sangat membuatnya lelah dan merasa sedikit kurang nyaman."Ck! Ada-ada saja," decaknya, memijat kepala yang pusing karena jet lag. Sekilas dia mengerling ke dinding kaca, sekedar memeriksa penampilannya sambil berjalan.Hari ini dia memakai atasan sabrina berwarna biru muda, dipadu dengan rok tulle putih selutut, sepatu model mary jane dan sling bag. Tersenyum, Aila merasa puas dengan penampilannya.Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kenapa Aila merasa seperti ada orang yang mengikutinya, ya?Aila menggeleng, membuang pikiran anehnya. Mungkin karena lelah, maka dia jadi berpikiran macam-macam. Yah, mana mungkin ada yang menguntitnya. Lagi pula, buat apa?Mengangkat bahu dan menyibakkan rambut cokelatnya, Aila lanjut melangkah ke kamar mandi terdekat.Lebih baik dia bergega
"Di mana aku harus membaringkannya?" Lelaki dengan dua warna mata itu kini berada di sebuah ruang kerja dengan menggendong Aila yang belum sadar. Sementara di dalam ruangan itu ada seorang lelaki lain yang sudah menunggu. Lelaki yang ditanya bukannya menjawab, tapi hanya mengedikkan dagu, menunjuk ke sebuah sofa bed. "Thanks, Adam," ujar lelaki itu sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi martini di tangannya. Membaringkan Aila dengan hati-hati, Adam, lelaki dengan dua warna mata, lalu menjawab, "Nggak masalah. Toh, bukan hal yang sulit untuk menangkapnya." Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya. "Biar kubantu," tawar Adam segera saat melihat lawan bicaranya masih meraba-raba. "Ngomong-ngomong, apa memang benar dia gadis yang kamu cari?" "Apa maksudmu?"
Aila merasakan tubuhnya lemas. Kedua matanya terasa sangat berat untuk terbuka, bahkan sekedar menggerakkan ujung jari pun terasa susah. Namun sesaat dia merasa seolah dibaringkan ke atas sesuatu yang lembut dan juga empuk. Pun, sayup terdengar pembicaraan antara dua orang.'Siapa?' pikirnya, merasa asing dengan kedua suara itu. Dia juga tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya sangat sulit untuk terfokus.Tidur. Yang diinginkan Aila saat ini hanyalah tidur. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang menutup menyusul sesuatu yang pecah."... Ansia ...."Terdengar bisikan seorang lelaki di dekat telinga. Aila meremang sewaktu daun telinganya dijilat dan digigit. Ditambah, elusan di kaki yang dirasakan semakin ke atas dan kini bahkan berhenti di pangkal paha lalu menyusup ke dalam rok.Ada rasa geli yang nikmat saat jari itu bergerak naik turun, mengelus permukaan celana dalam yang dikenakan. Aila bisa merasakan miliknya semaki
Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri."Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila."Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked
Killian mengarahkan miliknya ke bagian intim Aila. Tapi baru bagian ujung yang mulai masuk, gadis yang dia kira sebagai Ansia itu sudah menjerit kesakitan."Tuan muda! Gawat!" seru seorang pelayan pria, menjeblak pintu ruang kerjanya dan langsung menyerbu masuk."Shit!" maki Killian, langsung menindih Aila, berusaha menutupi tubuh gadis itu yang setengah bugil. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya."Ma-maaf. Sa-saya tidak bermaks-""Keluaar!!""Tt—ttapi ddi—di bawah ada—""KELUAARRR!!"Killian menggeram. Lelaki itu tetap menindih Aila sampai dia memastikan tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Diamlah di sini," perintah Killian penuh intimidasi. Tangannya membelai rambut dan mengusap keringat di dahi Aila. "Jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini, Ansia. Mengerti?!"Tubuh Aila membeku. Meski dililit perban, entah mengapa dia tetap bisa merasakan pandangan tajam dari sepasang mata itu."Pakai bajumu," perintah
Killian dengan gusar keluar dari ruang kerja. Dia sama sekali tidak suka bila kegiatannya diganggu, apalagi kalau mengenai urusan birahi."Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin."I—iittu ...." Si pelayan meneguk ludah dan menunduk sedalam mungkin, sama sekali tidak berani mendongak karena meski kedua mata Killian dalam keadaan buta, tapi bukan berarti kengerian dari lelaki itu bisa dihilangkan. "Ddi—ddiii bbaa—waah ad—adda—""BICARA YANG JELAS!""Di bawah ada kedua orang tua Tuan Muda!"Si pelayan buru-buru menutup mulut dan bertampang panik seketika. Sementara itu Killian menghela napas kesal. Dia sudah gatal ingin menghajar pelayan di depannya ini tapi suara isakan yang terdengar membuatnya tertegun.Menangis? Siapa yang menangis?Saat ini dia masih berada di depan pintu ruang kerjanya dan suara isakan pelan itu terdengar dari sana.Mungkinkah itu Ansia yang menangis?"Cih!" makinya, menghilangkan pemikiran bodohnya barusan.&nb