Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi masih terdapat aktivitas di salah satu kamar apartemen mewah.
Suara desahan dan erangan memenuhi seisi kamar. Aroma percintaan menguar dengan sangat pekat, bahkan pendingin ruangan pun seolah tidak berfungsi karena hawa yang tetap terasa panas.
Di atas tempat tidur yang berukuran besar, sepasang pria dan wanita yang sama sekali sudah tidak berbusana saling memadu kasih. Sementara sang pria bergerak bak kesetanan, wanita pun hanya bisa menggelepar merasakan nikmat.
"Di-on, akh!" erang sang wanita, menatap pria itu dengan sepasang mata sayu. "Dion!"
"Katakan padaku, Ans," geram pria yang bernama Dion itu di antara dengusan napasnya yang kian berat. "Katakan, siapa yang lebih bisa memuaskanmu, aku atau kekasihmu yang angkuh itu?"
"Dia-" wanita cantik bersurai hitam itu terlihat kesulitan berbicara di antara kenikmatan yang begitu menderanya. "Dia hanya berfungsi sebagai sumber uangku. Nggak lebih."
Ada seringai kepuasan di wajah tampan Dion ketika mendengarnya. Fakta bahwa Ansia, perempuan cantik yang tengah bersamanya ini, ternyata lebih mengakui kehebatannya di atas tempat tidur, sanggup membuat pria itu berbangga diri.
Permainan mereka semakin ganas, suara erangan dan desahan pun terdengar semakin nyaring. Bahkan tempat tidur yang empuk itu pun sampai terlihat ikut bergerak sementara kedua orang itu terlonjak-lonjak di atasnya.
Sampai kemudian, Ansia bisa mendengar suara password kunci pintu apartemennya ditekan, pertanda ada seseorang yang akan datang.
"Di-on, dia sudah datang," erangnya merasa panik, mencoba mendorong agar tubuh Dion menjauh darinya, tapi percuma. "Hentikan, kita sudah nggak punya wak-"
Entah apa yang ingin perempuan cantik bersurai hitam itu ingin katakan karena Dion sudah terburu menciumnya sementara tubuh mereka pun semakin erat dan menyatu.
Lalu ketika kedua orang itu akhirnya meraih puncak kenikmatan, di saat yang bersamaan pulalah pintu kamar tidur Ansia kemudian mengayun dan terbuka.
•••
Tidak ada kata selain keterkejutan saat pintu kamar tiba-tiba terbuka, menyusul seorang lelaki yang kini berdiri terpana di ambangnya.
Dion tergesa memisahkan diri dan menyambar selimut, tidak peduli dengan sisa kekacauan yang lain.
"Ansia!" bentak lelaki itu, tersadar dari rasa syoknya sementara perempuan bersurai hitam itu masih terlena dalam sisa kenikmatan yang ada.
"Aah, Ian," desah Ansia dengan tubuh lemas, masih belum tersadar sepenuhnya.
Lelaki yang dipanggil Ian oleh Ansia itu pun menggeram. Dengan rambut hitam dan warna mata segelap langit malam, juga perawakan yang tinggi dan atletik, membuat sosoknya kini terlihat lebih mengerikan.
Kemarahannya memuncak, tercetak jelas di wajah tampan yang mengeras. Menggertakkan rahang kuat-kuat, amarah Ian tidak tertahan lagi.
"Pengkhianat!" bentaknya. "Jadi ini rupanya yang kamu lakukan di belakangku? Hah!"
Mendengar bentakan Ian membuat kesadaran Ansia kembali seutuhnya. Gelagapan dia lalu menyambar seprei demi menutupi tubuhnya.
"I- Ian," gagapnya. "Aa—aku bisa menjelaskannya."
"Siapa si berengsek ini?"
Dion, yang tadi secara diam-diam memakai kembali pakaiannya, mendadak beku di tempat. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena Ian sudah melayangkan pukulan ke arahnya.
"Sialan!" umpat Ian, dengan beringas terus menghajar Dion. "Dasar sampah!!"
"Dion!" seru Ansia, ngeri melihat Ian yang kalap sedangkan Dion tidak berdaya. Sebentar saja pacar gelapnya itu sudah babak belur. "Ian! Hentikan! Kamu bisa membunuhnya!!"
"Memang itu niatku! Jadi tutup saja mulutmu, dasar wanita murahan!"
"Jangan sebut Ansia seperti itu!"
Dion balas memukul rahang Ian, tapi itu malah menjadi sebuah kesalahan besar. Dengan punggung tangannya, Ian mengelap darah di sudut bibir. Ada kebencian mutlak saat dia memandang Dion. "Mati kamu," desisnya.
Hal yang terjadi berikutnya lebih seperti sebuah kekacauan.
Penuh nafsu membunuh Ian menerjang Dion. Pukulan dan tendangannya menyasar tepat, sama sekali tidak ada kesempatan bagi lawannya untuk membalas. Bahkan saat Dion akhirnya tersungkur dan memuntahkan darah, Ian malah memberi tendangan keras dan menginjaknya tanpa ampun.
"Hentikan!" Dengan cepat Ansia menarik Ian, lalu mempererat pelukan demi menahan Ian. "Lari, Dion!"
Sesaat Dion kesulitan untuk bangun. Dari rasa nyeri di dada setiap kali dia bernapas, kemungkinan ada tulang rusuknya yang retak. Mengerang kesakitan, dia mencoba berlari sebisanya.
"Lepas, Ansia! Jangan sampai aku berlaku kasar!"
"Dengarkan aku dulu, Ian. Beri aku waktu untuk menjelaskan!"
"Menjelaskan, ya?" Ian balas mencengkeram kuat pergelangan tangan Ansia, membuat gadis itu berteriak kesakitan. "Apa lagi yang perlu dijelaskan?"
"Lagi pula," kali ini Ian melepaskan pelukan Ansia dan balas mencengkeram rahangnya. "Kenapa kamu repot-repot membantunya kabur? Apa menurutmu, aku nggak sanggup menangkapnya?"
"Jangan khawatir." Ian melempar Ansia begitu saja, membuatnya terjerembap di sebelah kaki tempat tidur. "Akan kukirimkan potongan tubuhnya untukmu."
Ansia bergetar dalam ketakutan, kemarahan Ian terasa ngeri dan membekukan. Namun saat Ian berbalik pergi, dia memekik, "Ian, jangan! Berhenti!"
Menyadari bahwa Ian tidak memberi respons dan tetap berlari menjauh, tergesa dia mengenakan kimono tidur dan menyambar kunci mobil. Ansia tahu, bahwa Dion tidak akan memiliki kesempatan bila sampai tertangkap. Bahkan mungkin Dion bisa saja tewas.
Ian memang lelaki tampan dengan berjuta pesona, tapi tidak banyak orang tahu kalau sebenarnya dia bisa sangat mengerikan. Lelaki itu sanggup menyingkirkan siapa pun yang dianggap sebagai musuh atau pengganggu.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah melesat keluar dari parkiran apartemen, menyusul dua mobil lain yang sudah terlebih dulu melaju.
Lamborghini emas yang dikendarainya membelah jalanan malam. Di balik kemudi, Ansia menyetir dengan gelisah.
Apa dia sanggup menghalangi Ian agar tidak bisa menangkap Dion? Bagaimana pun dia mencemaskan keselamatan Dion.
Lalu, bagaimana dengan nasibnya saat harus menghadapi kemarahan Ian nanti? Sekedar membayangkannya saja sudah membuat Ansia bergidik. Dia tahu kalau Ian bukanlah orang yang mudah memberi ampun.
"Sial," makinya, menginjak pedal gas lebih dalam dan menambah kecepatan mobilnya. "Killian Ardhana Putra, kamu memang cowok mengerikan."
Pukul 02:37Di sebuah jalan raya di pinggir kota yang sepi, terlihat sebuah mobil Ferrari Aperta berwarna hitam yang terguling.Mobil termahal yang hanya ada 200 unit saja itu sekarang dalam keadaan ringsek. Salah satu sisinya rusak parah dan di atas aspal tercetak bekas terseret.Di dalamnya, terlihat Killian yang terkulai di balik kemudi dengan darah meleleh."A—apa dia sudah ...."Ansia keluar dari mobil dan berdiri gemetar. Bukan disebabkan dinginnya hembusan angin malam, meski saat ini dia memang hanya mengenakan kimono tidur yang tipis, tapi karena kondisi Killian."Dd—dia nggak bergerak sama sekali," bisiknya dengan nada menggetar. "Dia ... masih hidup 'kan?"Kedua tangannya saling meremas dengan wajah ketakutan. Penampilan Ansia saat ini memang berantakan, tapi dia masih terlihat menarik."Ayo cepat kita perg
Lusi memandangi Noah dengan dahi berkerut.Tadi dia memang memberikan Noah ijin memasuki kamar Aila untuk membangunkan putri angkatnya, tapi jantung perempuan setengah baya itu nyaris naik ke tenggorokan saat melihat mereka malah bermesraan.Meski Noah sudah memasang tampang bersalah, tapi Lusi masih belum memaafkan pria bule itu sepenuhnya."Sayang, ibumu ingin bicara denganmu," ujar Lusi akhirnya, setelah memberi Noah pandangan penuh peringatan.Aila terdiam, mematung sesaat. Sepasang warna abunya menatap handphone yang disodorkan Lusi untuknya."Aila," tegur Lusi dengan nada lembut. "Risa menunggumu."Mengerjap, Aila memandang Lusi, bibi sekaligus ibu angkatnya. Ada pertanyaan yang coba disampaikan gadis itu lewat pandangan mata.Haruskah dia menerima panggilan telepon dari ibunya?Tapi wajah lembut dan senyuman Lusi sudah merupakan jawaban, membuat Aila akhirnya meraih
Pukul delapan pagi dan suasana di Adelaide International Airport sudah sedemikian ramainya.Aila berdiri di depan gate keberangkatan dengan membawa satu koper kecil, tidak berdaya dalam pelukan Lusi yang masih berat mengizinkannya pulang.
“Ugh! Lebih cepat! Akh!”“Sst .... Sarah, pelankan suaramu.”Sarah mendongak. Tubuhnya melenting merasakan nikmat sementara seseorang di belakangnya semakin cepat bergerakKamar mandi yang terletak di area bandara ini sedang ditutup karena rusak. Tentunya bukan tempat yang nyaman untuk digunakan, tapi hal tersebut tidak masalah bagi Sarah. Nyatanya, gadis bersurai pirang itu terus mengerang dan mendesah. Wajahnya memerah memancarkan kenikmatan, sementara tubuh polosnya sudah basah oleh keringat.Mengerang, perempuan bule bersurai pirang itu pun tidak berdaya merasakan gempuran nikmat dari belakang tubuhnya.“Ap-apakah kamu akan- akh! -melepaskannya begitu saj-ja?” tanya Sarah di antara sengal napas."Don't be kidding," sahut lelaki yang sedari tadi memacunya. Secara mendadak dia menarik lepas bagian tubuh yang tadi menyatu dengan Sarah, tapi belum sempat gadis itu menyua
Aila baru saja selesai mengambil bagasi lalu berniat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Penerbangan selama 20 jam sangat membuatnya lelah dan merasa sedikit kurang nyaman."Ck! Ada-ada saja," decaknya, memijat kepala yang pusing karena jet lag. Sekilas dia mengerling ke dinding kaca, sekedar memeriksa penampilannya sambil berjalan.Hari ini dia memakai atasan sabrina berwarna biru muda, dipadu dengan rok tulle putih selutut, sepatu model mary jane dan sling bag. Tersenyum, Aila merasa puas dengan penampilannya.Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kenapa Aila merasa seperti ada orang yang mengikutinya, ya?Aila menggeleng, membuang pikiran anehnya. Mungkin karena lelah, maka dia jadi berpikiran macam-macam. Yah, mana mungkin ada yang menguntitnya. Lagi pula, buat apa?Mengangkat bahu dan menyibakkan rambut cokelatnya, Aila lanjut melangkah ke kamar mandi terdekat.Lebih baik dia bergega
"Di mana aku harus membaringkannya?" Lelaki dengan dua warna mata itu kini berada di sebuah ruang kerja dengan menggendong Aila yang belum sadar. Sementara di dalam ruangan itu ada seorang lelaki lain yang sudah menunggu. Lelaki yang ditanya bukannya menjawab, tapi hanya mengedikkan dagu, menunjuk ke sebuah sofa bed. "Thanks, Adam," ujar lelaki itu sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi martini di tangannya. Membaringkan Aila dengan hati-hati, Adam, lelaki dengan dua warna mata, lalu menjawab, "Nggak masalah. Toh, bukan hal yang sulit untuk menangkapnya." Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya. "Biar kubantu," tawar Adam segera saat melihat lawan bicaranya masih meraba-raba. "Ngomong-ngomong, apa memang benar dia gadis yang kamu cari?" "Apa maksudmu?"
Aila merasakan tubuhnya lemas. Kedua matanya terasa sangat berat untuk terbuka, bahkan sekedar menggerakkan ujung jari pun terasa susah. Namun sesaat dia merasa seolah dibaringkan ke atas sesuatu yang lembut dan juga empuk. Pun, sayup terdengar pembicaraan antara dua orang.'Siapa?' pikirnya, merasa asing dengan kedua suara itu. Dia juga tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya sangat sulit untuk terfokus.Tidur. Yang diinginkan Aila saat ini hanyalah tidur. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang menutup menyusul sesuatu yang pecah."... Ansia ...."Terdengar bisikan seorang lelaki di dekat telinga. Aila meremang sewaktu daun telinganya dijilat dan digigit. Ditambah, elusan di kaki yang dirasakan semakin ke atas dan kini bahkan berhenti di pangkal paha lalu menyusup ke dalam rok.Ada rasa geli yang nikmat saat jari itu bergerak naik turun, mengelus permukaan celana dalam yang dikenakan. Aila bisa merasakan miliknya semaki
Dengan napas terengah, Aila berusaha keras membuka mata. Dia tahu bahwa apa yang dirasakan saat ini salah dan dia harus segera tersadar. Namun kepalanya kembali tersentak karena terasa ada yang menjamah kedua aset kembarnya. Seketika tubuh gadis cantik itu kembali menegang dan meremang.Ada sesuatu yang lembek, kasar, hangat dan basah yang kini bergerak memutar, meninggalkan jejak basah di seluruh permukaan bukit, tapi menyisakan ujung kedua aset kembarnya.Aila melenguh, merasakan geli yang menjalar di kedua ujung aset yang menggunung. Ada rasa frustasi karena kedua area itu tidak terjamah. Seolah si pelaku memang sengaja menggoda, membuat gadis bersurai coklat itu tanpa sadar menggerakkan tangan, hendak mencari kepuasan sendiri. Tapi ada yang menahan tangannya sebelum dia bisa memuaskan diri."Sabar, Ansia," bisik lelaki itu, napas hangatnya menggelitik telinga Aila."Ngghhh," desah Aila sambil mendongak kala ada yang meremas aset kembarnya lalu memilin ked