Sementara itu, di kediaman Roxanne.
Waktu sudah menunjukkan tengah malam, tapi Ansia belum juga bisa tertidur. Memasuki kamar kedua anaknya, dia memandangi Alexis dan Alden yang saat ini tengah tertidur pulas, dan lantas tersenyum lembut.
Ansia masih sempat membelai kepala kedua jagoannya, menciumi mereka bergantian, sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Ah, hari ini entah berapa kali sudah perempuan itu merasa begitu menyesali diri.
"Ke mana sebenarnya anak itu?" gumamnya sembari menyandarkan kepala ke kaca jendela kamar anaknya dan mengamati taman kediaman keluarga Roxanne yang sepi. "Padahal tadi aku sudah menunggunya selama hampir tiga jam, tapi dia tidak juga datang."
Ada perasaan menyesal yang begitu dalam yang Ansia rasakan. Rasanya sedih sekali, seolah perempuan itu baru saja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang
"Apa kamu sudah gila, Hugo? Keluar dari keluarga Harron hanya demi seorang perempuan? Apalagi perempuan itu bukanlah perempuan yang setara dengan keluarga kita!""Ayah, tolong jaga ucapan Ayah," ujar Hugo dengan suara yang nyaris menggeram. Apabila dilihat dari ekspresi wajahnya, lelaki itu jelas sedang berusaha menahan amarah. "Keputusanku untuk keluar dari keluarga Harron bukan semata-mata karena Ansia, tapi karena aku merasa bahwa diriku sudah tidak lagi dianggap ada di sini.""Nak, apa maksudmu bicara seperti itu?" Kali ini, Maria Harron yang ikut berbicara. "Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu?"Hugo menatap ke arah Ibunya selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Adakah salah satu dari kita yang sudah menyempatkan datang menemui mereka, sekedar untuk meminta maaf?"Hening sesaat, sampai akhirnya Derrick Harron berkata dengan nada membentak, "Memangnya, kenapa kita harus meminta maaf kepada mereka? Keluarga Harron tidak berbuat kesalahan apa pun. Kecela
Derrick Harron pulang dengan sikap marah.Memasuki ruang kerjanya, lelaki baya itu segera saja menggebrak meja kerja dan menyapu semua yang ada di atasnya. Terakhir, dia mengeluarkan suara geraman mengerikan bernada marah."Ada apa ini?" tanya Maria Harron, yang kebetulan saja melintas di depan ruang kerja. Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya perempuan yang berusia nyaris separuh abad itu berencana akan keluar. "Derrick, kenapa kamu marah-marah begini? Memangnya, apa yang sudah terjadi?"Bukannya langsung menjawab, tapi Derrick hanya memandang istrinya sekilas sebelum kemudian mendengus kesal."Apa kamu masih belum mendengar berita soal itu?" tanyanya, masih dengan nada marah."Berita? Berita apa?" Maria balas bertanya dengan dahi berkerut dan wajah kebingungan. "Derrick, kalau aku tahu, tentu aku tidak akan bertanya. Sebenarnya, ada apa, sih?""Itu
Apa lebih baik kalau anak itu benar-benar aku coret dari kartu keluarga, ya? Selama setengah jam terakhir, Ivona benar-benar serius memikirkan satu kemungkinan tersebut. Saat ini pun, sudah ada kedutan-kedutan kecil yang mulai muncul di pelipisnya. Yah, hal yang wajar sebenarnya. Mengingat dia harus tetap bisa tersenyum dan memasang sikap ramah, sementara di dalam hati perempuan yang masih terlihat cantik di usia separuh bayanya itu sebenarnya sedang luar biasa merasa dongkol. "Selamat datang, Nyonya Agentine. Mohon maaf karena sudah membuat Anda menunggu terlalu lama." Ivona mengeratkan gerahamnya dan menarik napas dalam terlebih dulu, sebelum akhirnya melebarkan senyum dan membalas sapaan dari Maria Harron dengan tidak kalah ramahnya. "Tidak apa-apa, Nyonya Harron. Saya menyadari bahwa memang sayalah yang bersalah karena sudah datang tanpa memberi pemberitahuan sebelu
Liliana nyaris melompat-lompat ketika berjalan.Wajah mungilnya dihiasi senyuman dan kedua pipinya yang menggemaskan pun bergerak naik turun dengan lucu, mengikuti gerak langkahnya."Sepertinya kamu bahagia sekali, ya?" tanya Ashin, yang sekarang tengah menggandeng gadis cilik itu, berjawab anggukan kepala yang penuh semangat."Apakah kamu sesuka itu karena akan bertemu dengan Bos?" tanyanya lagi. Namun kemudian, dia lebih seperti sedang menggumam sendiri. "Aneh. Padahal Bos itu orang yang sangat menyeramkan, tapi kenapa kamu malah merasa gembira untuk bertemu dengannya? Apa kamu sama sekali tidak takut?"Liliana sedikit memiringkan kepalanya, menatap Ashin dengan pandangan tidak mengerti."Lihat saja." Ashin masih asyik berkata sendiri. "Hari ini Bos tiba-tiba memintaku untuk menjemputmu dari sekolah. Dia juga memberikan perintah untuk langsung membawamu ke kantor menemuinya. Di
Selena menatap tidak percaya ke layar ponselnya.Apa benar kalau panggilan teleponnya baru saja ditolak?"Ini ...," bisiknya, kesulitan untuk mencari kata-kata. "Ya, Tuhan! Apa-apaan, sih? Kenapa Kills justru menolak panggilanku pada saat seperti sekarang?"Terbelah antara perasaan kesal dan panik, Selena lantas mengetikkan sebuah pesan dan mengirimkannya. Namun, bahkan setelah lima menit dia menunggu pun, tidak kunjung ada pesan yang masuk sebagai balasannya."Padahal pesannya sudah dibaca, tapi kenapa belum dibalas-balas juga?" Perempuan itu mengeluarkan suara bernada geram. "Apa-apaan sebenarnya ini?"Berjalan dalam amarah, Selena lantas masuk ke mobil dan berkata, "Tolong antarkan aku ke gedung Ardhana.""Tapi, Nona, untuk apa?" tolak Ronald dengan segera. Sejak kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu, Andreas memang menempatkannya untuk selalu menema
"Apa kamu baik-baik saja?"Ansia mengambil tisu yang disodorkan Killian dan membersit hidungnya kuat-kuat. Dia lalu mengembalikan tisu bekas yang sudah basah oleh ingusnya ke tangan Killian, sebelum akhirnya kembali terisak.Killian menatap gumpalan tisu bekas di tangannya dan segera membuangnya. Kalau saja mereka sedang berada di situasi yang lain, kemungkinan besar dia akan mengomeli Ansia karena sikap joroknya tadi. Namun melihat kondisi perempuan itu saat ini, membuatnya lantas berubah pikiran."Ans, ayolah," ujarnya kemudian, berusaha membujuk. "Kalau kamu seperti ini terus, nanti lama-lama aku akan disangka sudah melakukan sesuatu yang tidak baik terhadapmu."Meski kedua matanya sudah membengkak sekalipun, Ansia masih bisa memberi Killian tatapan tajam."Perempuan itu," kata Ansia kemudian dengan suara yang sengau. "Siapa dia?""Bukankah tadi kamu juga
Killian sengaja menghentikan mobilnya, beberapa meter sebelum sampai di kediaman utama keluarga Ardhana. Sudah beberapa tahun berselang, semenjak dia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah yang sebenarnya menjadi tempat tinggalnya dari kecil. Sejak peristiwa tragis yang menimpa Aila lima tahun lalu, Killian benar-benar tidak sanggup untuk tetap tinggal di kediaman mewah tersebut. Sesak sekali rasanya. Di setiap sudut rumah yang ada, selalu ada ingatan soal Aila dan itu membuatnya semakin putus asa dan tenggelam dalam kesedihan. Kediaman itu kini bagai sebuah tempat yang menyimpan semua mimpi buruknya. "Tidak apa-apa," gumamnya, mencengkeram erat setir mobilnya. "Tidak apa-apa. Sekarang, ada sesuatu yang benar-benar perlu aku lakukan." Menarik napas panjang, lelaki itu pun kembali menjalankan mobilnya. Hari ini, setelah beberapa tahun berselang, Killian kembali mem
"Nyaris tidak ada bukti apa pun yang bisa saya temukan, Tuan Muda. Hanya ada sedikit sekali petunjuk yang bisa saya jadikan sebagai pegangan." Ada kerutan tipis yang mulai muncul di dahi Killian. "Yang pertama adalah adanya bekas ban yang berasal dari dua jenis mobil yang berbeda. Jejak yang pertama, menandakan ada bekas mengerem dan alur ban yang tertinggal pun cocok dengan ban mobil yang digunakan oleh Nyonya Muda. Sementara untuk jejak ban yang kedua, apabila dilihat dari bekas yang ditinggalkan, seperti berasal dari ban mobil yang digas secara mendadak." "Apa polisi tidak bisa menyadari hal tersebut?" "Mereka sebenarnya juga sudah mengetahui soal itu, termasuk mengenai kondisi bagian belakang mobil Nyonya Muda yang rusak parah. Namun, yang menjadi kendala adalah tidak adanya bukti lain, sehingga hal tersebut membuat pihak kepolisian mengalami kesulitan untuk memperkirakan kejadian yang se