Killian hampir meremukkan handphone di tangannya.
Benda pintar berbentuk pipih yang harganya tidak murah itu, sekarang tidak lebih dari sekedar rongsokan yang nyaris patah dan retak tidak karuan. Sebagai tambahan, lelaki bersurai hitam itu pun lalu membantingnya kuat-kuat, membuat handphone tersebut semakin hancur.
"Kills, a—ada apa?" tanya Aila dengan suara bercicit karena ketakutan.
Sampai sekarang perempuan bermata abu itu masih juga belum terbiasa dengan kemarahan Killian. Bahkan saat ini pun tubuhnya sudah gemetar, sementara tadi Aila sendiri langsung meloncat ke ujung sofa, hanya demi menjauhi suaminya.
"Kiska, kemarilah," mengetatkan rahang, suara Killian terdengar bagai geraman yang mengerikan dan malah membuat Aila semakin gemetar ketakutan. "Kemarilah, Kiska ... sebelum aku semakin marah dan akhirnya meledak. Kemarilah."
Menggigit bibir dan memilih untuk tetap diam sambil me
"Apa yang kamu lakukan di sini?" sembur Ivona tanpa perlu berbasa-basi.Dia baru saja melangkah masuk ke ruang depan setelah sempat pergi sebentar. Ivona tadi selesai menelepon Killian dan memberi tahu mengenai situasi yang terjadi di kediaman Ardhana. Perempuan separuh baya itu merasa semakin kesal karena sekarang dia melihat Ansia yang malah enak-enakan duduk sambil setengah berbaring di sofa. Sekilas, perempuan bersurai hitam yang tengah berbadan dua itu memang terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu tidak pergi juga, bahkan setelah aku mengusirmu?""Oh, Mom—""Jangan panggil aku dengan sebutan itu!"Sepasang mata Ivona menatap Ansia dengan pandangan yang mutlak benci, sementara tubuhnya pun gemetar karena menahan emosi. Sungguh, seumur hidup dia tidak pernah merasa sampai semarah ini."Pergi! Pergi dari sini!" geramnya. "Atau perlu kupanggilkan pengawal untuk menyer
Kediaman Roxanne "Ada apa?" tanya Risa Roxanne, sewaktu hendak melenggang ke dalam kamar tidurnya. "Sepertinya ada tamu, Nyonya," jawab salah seorang pelayan, membuat dahi perempuan separuh baya itu pun berkerut. Siapa yang datang bertamu malam-malam begini? "Kenapa, Risa?" tanya Heri Roxanne, yang baru saja datang dan langsung merangkulkan sebelah tangan ke bahu istrinya, membuat perempuan separuh baya itu sedikit berjengit karena terkejut. "Jangan mengagetkanku seperti itu, Her," protes Risa, memukul ringan lengan suaminya yang hanya menanggapi dengan senyuman. "Menyebalkan." "Memangnya, apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai melamun seperti itu." "Ada tamu yang datang." "Malam-malam begini?" Heri Roxanne segera melirik arlojinya. Dahi lelaki itu pun seketika berkerut karena heran. Apakah ada se
"Akh! Nghn! Nghn!" Aila meraih kelambu tempat tidur kemudian mencengkeramnya, tapi dengan cepat lelaki bersurai hitam itu pun segera mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan istrinya. "Kills ... Nhgn! Akh! In—ini— kurasa ini sudah cuk—kuuph!" desah Aila, berusaha berbicara di sela napas yang terengah, sementara dari belakang Killian terus saja memacunya. Menahan pinggul Aila dengan sebelah tangan, sementara bibirnya asyik menjelajah dan meninggalkan entah berapa banyak jejak berupa bercak merah di leher yang jenjang itu, Killian dengan mantap terus menghujamkan miliknya. Meski saat ini mereka melakukannya dengan berdiri sekali pun, hal tersebut sepertinya bukan masalah bagi lelaki yang sudah sangat berpengalaman dalam bercinta semacam Killian. "Masih ... belum," erang Killian, kali ini memilin-milin bergantian kedua ujung bukit kembar yang begitu menantang itu. "Ini— Akh! Masih
"Bagaimana kabarmu?" "Ya? Apa?" "Sia, aku bertanya, bagaimana kabarmu?" Ansia terdiam. Otaknya seolah mengalami kesulitan untuk memahami pertanyaan yang semudah itu. Maksudnya, untuk macam pertanyaannya, sih, dia tahu, tapi yang dia tidak paham adalah kenapa Aila malah bertanya seperti itu? "Seriously? Kakak hanya memberiku pertanyaan semacam itu?" tanya Ansia yang semakin kesal dengan rasa gelisah yang terus menggerogoti hatinya saat ini. "Kita sedang berada di masalah seperti ini dan yang Kakak tanyakan hanya bagaimana kabarku?" Kali ini giliran Aila yang terdiam. Sepasang mata abunya terlihat kebingungan, masih tidak mengerti di mana letak kesalahan atas pertanyaan sederhana yang dia ajukan tadi. "Bukankah tadi Kakak yang sok-sokan mengajakku berbicara, tapi kenapa sekarang hanya bertanya soal omong kosong seperti ini?" "Apa tentang keadaanmu itu hanya omong kosong bagimu, Sia?" Terdiam, Ansia sontak berdiri
Ada suasana bahagia yang tiba-tiba melingkupi kediaman Ardhana pada hari ini."Nyonya Muda, apakah Anda ingin makan sekarang? Saya bisa menyiapkan spaghetti kesukaan Nyonya Muda dengan segera," tawar sang kepala koki, yang sebelumnya jarang sekali bahkan nyaris tidak pernah keluar dari dapur hanya untuk menyambut seseorang seperti ini."Apa maksudmu? Siapa yang ingin langsung makan setelah baru sampai di rumah?" sela kepala pelayan, menyikut dan mendorong sang kepala koki sementara dia sendiri yang sekarang maju. "Nyonya Muda, bagaimana kalau Nyonya Muda beristirahat dulu? Mandi air hangat, sambil dipijat agar rileks, pasti menyenangkan, bukan?""Setelah dipijat, maka akan lebih pas kalau minum teh hangat dengan ditemani camilan yang manis dan gurih," kali ini istri dari kepala koki yang menyerobot. Perempuan dengan tubuh tambun itu tersenyum dengan ramah, sementara dengan bokong besarnya dia berhasil menyingkirkan kepala
"Selamat pagi, Nyonya Muda. Bagaimana kabar Anda hari ini?"Ansia terdiam dan sedikit heran, saat ada tiga orang pelayan wanita yang datang menemuinya di pagi hari seperti ini.Perempuan berbadan dua itu bahkan masih berada di atas tempat tidur ketika ketiga orang pelayan tersebut mengetuk pintu kamar tidur tadi. Terburu-buru, Ansia bahkan nyaris melompat bangun untuk memakai lensa kontak, sebelum akhirnya mengijinkan mereka masuk."Apakah ini hanya perasaan saya? Rasanya, Nyonya Muda lebih terlihat berisi sekarang ini," celetuk salah satu pelayan wanita."Apa maksudmu?" tanya balik salah satu temannya."Maksudku, beliau sepertinya bertambah, ehm ... gendut? Pipinya juga terlihat lebih tembam?""Kenapa kamu masih bertanya?" sela salah satu pelayan, menyenggol rekannya menggunakan siku. "Tentu saja itu karena hati beliau bahagia. Makanya, jadi terlihat seperti itu. Apalagi
Ansia baru saja menyelesaikan makan siangnya dan sedang bersantai, sewaktu seorang pelayan pria datang menghampiri. "Apa katamu?" tanyanya, mengangkat kedua alis. "Tuan Muda tadi mencari Anda, Nyonya Muda," jawab si pelayan dengan sopan. Ada seringai yang tercetak di wajah cantik Ansia. Kenyataan bahwa Killian berusaha mencarinya membuat perempuan berbadan dua itu merasa puas. "Benarkah?" tanyanya, mempertahankan lagak cuek seakan dia tidak terlalu tertarik. "Lalu, di mana dia sekarang?" "Beliau sekarang ada di ruang kerja, dan beliau mengatakan, kalau Anda tidak sedang sibuk, beliau menunggu Nyonya Muda di sana." "Menungguku?" "Betul, Nyonya Muda." Bisa dikata kalau senyuman di wajah Ansia pun melebar saat ini. Killian tadi mencarinya. Lelaki itu sekarang bahkan sengaja menunggunya. Bukankah itu merupakan pertanda yang bagus? "Baiklah, katakan saja kalau aku akan
"Apa menurutmu aku akan percaya begitu saja?'"Tadi sudah kukatakan 'kan, terserah apakah kamu akan percaya atau nggak, tapi yang jelas, nggak akan ada penawaran lain yang lebih baik lagi dari ini, Ans."Ansia meneguk ludah. Perempuan cantik itu saat ini tengah berperang dengan dirinya sendiri.Satu sisi, bisa dikata dia sudah sedikit percaya dengan semua yang dikatakan oleh Killian, tapi di sisi lain, ingatan soal masa lalunya saat bersama lelaki tampan itu masih begitu membekas dan terasa menyakitkan.Sungguh, tidak ada sedikit pun lagi perasaan cinta Ansia yang tersisa untuk Killian. Dulu dia memang pernah benar-benar jatuh cinta terhadap lelaki tampan bersurai hitam itu, tapi semua hanya menjadi masa lalu. Semua tindakan yang Ansia lakukan saat ini benar-benar murni karena dia mengkhawatirkan kakak kembarnya."Bahkan aku sampai harus berbohong kepada Kakak," bisiknya, menggigit bibir dengan gelisah, teringat dengan saat dulu Aila menanyainya soal siapa sebenarnya