Saat ini Erik luar biasa gusar.
Pengawal yang biasanya selalu bisa bersikap tenang di segala kondisi apa pun itu, sekarang terlihat sangat gelisah.
Killian menghilang.
Sebelumnya beberapa saat lalu, dia menerima laporan dari petugas keamanan bandara mengenai seseorang bernama Noah Albern yang berhasil mereka temukan. Erik masih berusaha mencari tahu, apakah ada seorang gadis dengan ciri tertentu yang ada bersama lelaki itu.
Menemukan Aila jauh lebih penting baginya dibanding lelaki yang para petugas keamanan itu temukan, malah sebenarnya pengawal itu tidak terlalu peduli soal lelaki asing bernama Noah Albern.
Namun belum sampai laporan tersebut dia terima secara tuntas, Killian yang sejak tadi terus berada di dekatnya tiba-tiba saja menghilang.
"Ke mana sebenarnya Tuan Muda pergi?" gumamnya, berkeliling dan mencari keberadaan Killian. "Padahal tadi beliau masih ada di dekatku, kenapa tiba-tiba saja tidak ada?"
Berhenti untuk me
Jelas ada yang salah. Meski begitu, Killian masih belum tahu juga soal penyebabnya."Kiska, stop! Hentikan," desis Killian, mencoba menahan gerakan Aila yang sejak tadi terus mencumbunya. "Sayang, hentikan. Kumohon."Namun seolah tidak mendengarkannya, Aila masih terus saja menciumi Killian. Sekujur tubuh Killian merinding saat bibir mungil gadis itu bermain di tengkuknya. Lelaki itu bahkan harus mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan desahan saat lidah basah Aila menyapa kulit lehernya.Wajah tampan yang biasanya nyaris tanpa ekspresi itu, kini terlihat merah padam. Bukan karena amarah, tapi karena menahan gairah."Kiska," geram Killian dengan suara yang mulai serak. Napas lelaki itu pun sudah semakin berat. "Hentikan atau aku nggak akan sanggup menahannya lagi."Namun sebagai jawabannya, gadis yang biasanya akan menghindar bila Killian mencumbunya itu, kali ini justru menangkup wajah Killian dengan kedua tangan lalu mencium mesra bibir yang se
Seumur hidup, rasanya Killian belum pernah mengalami kejutan sebesar ini."Kills?"Aila merengek memanggilnya. Pengaruh dari permen berisi obat perangsang yang tadi diberikan oleh Noah, masih begitu mempengaruhi gadis itu, membuatnya sangat mendambakan sentuhan."Kills .... Kills ...," panggilnya berulang kali, tapi dengan cepat Killian justru mundur menjauhinya. Lelaki buta itu bersikap seolah Aila adalah sesuatu yang harus dihindari. "Killian ....""Tetap di tempatmu, Kisk— Ma—maksudku, A—" Pertama kali dalam hidupnya pula, Killian mengalami susah bicara sampai harus terbata-bata seperti ini. Dia pun terpaksa berkali-kali menelan ludah hanya demi menyelesaikan kalimatnya. "Ai—la?"Masih dibutakan oleh gairah, Aila tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang sekarang justru menjauhinya."Kills!" panggilnya, setengah memerintah, setengah memohon. "Kemari. Kumohon. Mendekatlah, Kills?"Berjengit sewaktu Ai
"Ngghhnn ... nghnn ... ugh!"Pinggang lelaki itu bergerak naik turun dengan cepat. Sesekali gerakannya mengarah ke kanan dan ke kiri, bahkan memutar beberapa kali sebelum akhirnya kembali maju mundur.Peluh yang saat ini membanjir pun tidak mengurangi atau bahkan mengganggu aktifitas. Yang ada, ritme gerakan malah semakin cepat dan bertenaga seolah tanpa kenal lelah, seakan ada sesuatu yang tengah dikejarnya."Hngh! Ahn! Ahn! Hngh!" erang lelaki itu, di antara deru napasnya yang semakin memburu.Suara decakan, erangan dan desahan saling beradu, mengisi ruangan tempat mereka saling menyatu yang justru terdengar bagaikan penambah semangat.Sebentar lagi. Tinggal sebentar lagi.Deru napas semakin tidak teratur. Hawa panas pun kian bertambah, membuat dinginnya AC yang menyala kencang sama sekali tidak ada pengaruhnya.Geliat dan goyangan yang bergerak dari gadis yang ditindihnya pun, semakin mengantarkan rasa semangat untuk memacu lebih k
Aila mengerang dalam tidurnya.Mengerutkan dahi, perlahan sepasang mata abu itu terbuka.Ini ... di mana?Hal pertama yang dia rasakan setelah terbangun dari tidur adalah rasa pusing yang teramat sangat. Perlu beberapa menit bagi gadis itu untuk memejamkan kedua matanya rapat-rapat sambil mencengkeram erat sprei, sekedar berusaha memfokuskan pandangan yang terus berputar.Ini ... apakah ini kamar Killian?Bertumpu dengan sebelah sikunya, gadis bersurai coklat itu berusaha untuk bangun. Namun, di detik yang sama dia langsung mengernyit dan mengaduh, lalu kembali berbaring.Kenapa seluruh tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal, ya?"Kills?" panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur. Namun setelah beberapa waktu berselang pun, lelaki bersurai hitam itu tidak juga berhasil tertangkap oleh pandangannya.Killian ada di mana? Kenapa dia hanya sendirian di sini? Lagi pula, kenapa dia berada di kamar ini? Bukankah, terakhir kali ha
Rasanya jantung Aila nyaris meledak saja."Coba buka mulutmu, Kiska," pinta Killian sambil mengangkat sepotong sandwich telur, jelas sekali terlihat kalau lelaki itu ingin menyuapi Aila."Ng, Kills .... Aku bisa makan sendiri," gumam Aila dengan wajah yang semakin bersemburat merah."Tapi aku ingin menyuapimu. Apa nggak boleh?""Itu—"Memandang tidak berdaya ke arah Erik, yang sangat jelas terlihat berusaha keras menahan senyuman, Aila menghela napas putus asa."I—ini yang terakhir, Kills," gerutunya dengan wajah cemberut, karena sejak tadi Killian terus menerus menyuapinya. "Aku bukan anak kecil, jadi biarkan aku makan sendiri.""Yang mengatakan kalau kamu anak kecil itu siapa, Kiska?" kekeh Killian, mengusap permukaan bibir Aila untuk memastikan tidak ada sisa sandwich yang berantakan, lalu setelahnya, lelaki itu pun menjilat jarinya sendiri. "Kamu memang bukan anak kecil, tapi kalau urusan membuat anak kecil, pasti bisa
Wajah Aiden saat ini nyaris seperti mayat hidup.Sejak pulang dari kediaman Ardhana, dalam waktu tiga hari ini dia nyaris tidak tidur sama sekali. Baik lab, klinik maupun rumah sakit miliknya memang sedang dalam kondisi sibuk oleh pasien, tapi bukan hal tersebut yang membuat dokter muda itu sampai terlihat begitu kuyu seperti sekarang."Si Gila itu," gerutunya, menyetir dengan napas yang berdengus-dengus saking sebalnya. "Sudah kukatakan kalau kondisi sekarang sedang sangat sibuk, tapi mana mungkin dia mau tahu? Cih!""'Tiga hari dari sekarang aku sudah harus menerima hasilnya,'" Aiden mengulangi ucapan seseorang dengan nada penuh kekesalan. "Tiga hari! Tiga hari! Apa dia kira nggak sulit, mencoba meneliti dan memilah bahan apa saja dari permen aneh itu? Mana masih ditambah lagi aku harus bisa menemukan kira-kira dari mana bahan utamanya berasal!"Mengeratkan rahang, Aiden bahkan sampai meremas kuat bantal
"Nah, Kiska. Sekarang kamu mau aku jadi binatang peliharaan yang lucu atau binatang buas yang liar? Hm?""Oh, God ...."Menggigit bibir, Aila menyadari bahwa saat ini dia berada dalam bahaya besar. Gadis itu memejamkan kedua mata rapat-rapat, sementara tubuhnya pun sudah menegang.Namun yang terjadi kemudian malah membuat Aila heran."Istirahatlah, Kiska," ujar Killian, mengecup dahi Aila sesaat sebelum akhirnya bangun dan membebaskan gadis itu. "Perjalanan kita tadi cukup lama, jadi kamu pasti sudah sangat capek sekarang."Aila masih termangu, seolah tidak percaya dengan sikap yang Killian tunjukkan saat ini."Kills?""Ya, Kiska. Kemarikan tanganmu," pinta Killian, mengulurkan sebelah tangannya. Dia pun segera membantu Aila b
"Tunggu! Hei!"Aila berlari mengejar dua anak kecil yang tadi menjambret kalungnya. Entah berapa kali sudah dia menabrak orang, jalanan di Maladewa di jam sekian rupanya cukup padat. Ada banyak wisatawan yang berbaur dengan para penduduk asli yang memenuhi jalanan, membuat Aila sedikit kesulitan untuk tidak kehilangan dua punggung kecil itu."Ke mana mereka?" erangnya kesal, kehilangan sosok kedua anak kecil yang dikejarnya setelah mereka membelok.Mengikuti mereka, Aila menemukan bahwa dia sekarang berada di sebuah jalanan yang dipenuhi para pedagang asongan yang menjajakan souvenir dengan harga murah. Sesaat gadis itu kebingungan, sampai akhirnya sepasang mata abunya menangkap dua punggung kecil yang menyelinap di balik barang-barang dagangan yang memenuhi kiri dan kanan jalan."Tunggu!" pekiknya. Dua anak kecil itu sudah kembali berlari, rupanya mereka menyadari bahwa ada seseorang yang masih terus beru
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida