"Tunggu! Hei!"
Aila berlari mengejar dua anak kecil yang tadi menjambret kalungnya. Entah berapa kali sudah dia menabrak orang, jalanan di Maladewa di jam sekian rupanya cukup padat. Ada banyak wisatawan yang berbaur dengan para penduduk asli yang memenuhi jalanan, membuat Aila sedikit kesulitan untuk tidak kehilangan dua punggung kecil itu.
"Ke mana mereka?" erangnya kesal, kehilangan sosok kedua anak kecil yang dikejarnya setelah mereka membelok.
Mengikuti mereka, Aila menemukan bahwa dia sekarang berada di sebuah jalanan yang dipenuhi para pedagang asongan yang menjajakan souvenir dengan harga murah. Sesaat gadis itu kebingungan, sampai akhirnya sepasang mata abunya menangkap dua punggung kecil yang menyelinap di balik barang-barang dagangan yang memenuhi kiri dan kanan jalan.
"Tunggu!" pekiknya. Dua anak kecil itu sudah kembali berlari, rupanya mereka menyadari bahwa ada seseorang yang masih terus beru
"Ayo kita lakukan, Sayang." "Ha?" "Yah, kamu tahu ... maksudku, 'itu'." Aila memandang Killian kebingungan. 'Itu'? 'Itu' apa? Memangnya apa sih, yang dimaksud oleh Killian? Hari ini gadis itu sudah cukup dibuat bingung oleh sikapnya, yang bukan hanya aneh, tapi juga membuat Aila terus-terusan merona. Bayangkan saja! Tanpa malu-malu lelaki bersurai hitam itu terus mencium dan mencumbunya sepanjang perjalanan mereka di atas speed boat sewaktu menyeberang tadi. Kalau hanya sekedar ciuman sekilas, sih, masih tidak apa-apa, tapi masalahnya ciuman Killian semakin lama semakin dalam dan panas. Aila bahkan sampai kewalahan karena selain menciuminya, tangan Killian juga sibuk bergerilya di balik baju gadis itu. "Memang, sih, itu speed boat pribadinya, tapi 'kan di sana juga ada Tuan Erik dan yang lainnya," gerutu Aila dengan wajah yang suda
Aila berjalan dengan perasaan kesal.Entah ke mana dia akan pergi, gadis itu pun tidak tahu. Tidak ada arah tertentu yang ingin dia tuju, tapi yang jelas dia hanya ingin menjauh dan menyendiri untuk sementara waktu.Wajahnya memang cemberut, tapi sepasang mata abu itu berkobar marah. Sepanjang jalan Aila terus-terusan menggerutu dan bergumam kesal. Sesekali gadis itu bahkan menendang kerikil atau benda-benda kecil yang dia temui di sepanjang jalan, membuat beberapa orang sempat menoleh ke arahnya, memberinya pandangan ingin tahu."Kenapa dia nggak segera mengatakan kalau dia sudah mengetahui semuanya?" gumamnya bersungut-sungut, menghentakkan sebelah kaki saking kesalnya. "Memang apa, sih, susahnya memberi tahuku? Kalau dia lebih cepat memberi tahu 'kan, aku nggak perlu galau berlama-lama seperti ini?"Nyaris menangis, Aila sampai merasa dadanya sesak karena saking kesalnya. Gadis itu pun lalu melangkah ke
"Saya sudah selesai memeriksa dan mengobati luka-luka Anda. Sayangnya, luka di dahi Anda terpaksa saya jahit karena lukanya cukup lebar. Setidaknya ada tiga jahitan yang harus Anda terima untuk luka tersebut." "Terima kasih, Dok." "Tidak ada luka parah yang Anda derita, syukurlah. Beberapa luka lebam dan lecet yang ada tidak berbahaya sama sekali, sehingga tidak perlu untuk dikhawatirkan." "Tapi, Dok. Tulang rusuk saya terasa nyeri dan dada saya juga masih terasa sakit setiap kali menarik napas." Dokter berusia lima puluh tahun itu terdiam dan menatap heran pasien yang ditanganinya saat ini. Seorang wisatawan luar, lelaki muda dengan wajah tampan dan surai hitam, yang tadi ditemukan terkapar tidak sadarkan diri di salah satu gang kecil di jalanan pinggir pantai Maldives. Menarik napas dalam, sebenarnya dokter itu juga merasa heran. Maldives bisa dik
"Kills, akh!" desah Aila saat Killian memeluknya dari belakang sambil meremas kedua bongkahan kembarnya. Tidak cukup sampai di situ, lelaki bersurai hitam itu juga menelusuri leher Aila dan memenuhinya dengan ciuman."Kills, tung— Ngh! Tunggu dul—"Tidak ada yang sanggup Aila lakukan selain mendongak dan bersandar pasrah di dada bidang lelaki itu, sementara sebelah tangan Killian menjalar turun dan menjamah miliknya di bawah sana.Sebenarnya, bagaimana awalnya sampai mereka bisa seperti ini? Bukankah tadi Aila hanya berniat membantu Killian mandi? Lalu, kenapa sekarang mereka berdua malah berada di dalam bathtub yang dipenuhi busa dengan tubuh yang sama-sama telanjang bulat?Aila bahkan tidak ingat bagaimana awalnya dia sampai bisa berakhir tanpa baju seperti ini.Memangnya, sejak kapan dia mulai tidak berpakaian seperti ini? Apakah dia sendiri yang melepas pakaiannya atau mala
"Lakukan, Kills.""As you wish, Kiska."Aila terkesiap tajam saat ada sesuatu yang menusuk miliknya di bawah sana. Gadis itu merasa dirinya seakan terbelah, ketika sesuatu yang begitu besar, tegang dan berurat itu berusaha memasukinya dengan perlahan."K—Kills ...," engah Aila, kesulitan bicara di tengah rasa nyeri yang sedang menghajarnya. "Sak— agh! —kit ....""Tahan, Kiska. Kumohon, tahanlah," desis Killian yang saat ini terbelah antara gairah yang memuncak dan rasa khawatirnya. "Bernapaslah. Tarik napas pelan-pelan. Jangan pingsan dulu, hm?""Ping—san?""Iya. Terakhir kali kita akan melakukannya, kamu sudah pingsan duluan sebelum semua beres."Aila menggigit bibir kuat-kuat, sementara kedua mata abunya pun sudah berlinang air mata.Sial. Dia tidak mengira kalau bakal sesakit ini. Padahal ini baru separuh milik Killian yang masuk. Bagaimana kalau seluruhnya nanti?Killian menarik mundur pinggan
"Lakukan sesuai dengan perintahku, Erik.""Baik, Tuan Muda.""Pastikan si sialan itu melakukan semuanya dengan benar. Bagaimana pun caranya, si sialan itu harus memutuskan hubungan dengan istriku. Buat agar dia memutuskan istriku dengan cara sekejam mungkin, lebih baik lagi kalau sampai istriku jadi membencinya. Pastikan dia menyanggupi untuk melakukan semua itu, baru bebaskan cowok bule sialan itu."Erik tidak menyahut, tapi dia sudah sangat memahami semua perintah Tuan Mudanya itu."Katakan juga padanya, bahwa sebaiknya dia berusaha sebaik mungkin. Jangan sampai istriku masih memiliki keinginan untuk menemuinya. Itu sih, kalau dia masih ingin hidup. Sebab kalau sampai aku tahu bahwa dia masih berani menemui istriku," Killian berhenti bicara sejenak. Rahang lelaki bersurai hitam itu kini terlihat sangat menegang, sementara kedua tangannya terkepal kuat, "maka saat itu, aku sendiri yang akan memburu dan me
Aila merasa gelisah.Dia merasa sangat lega karena Killian sudah mengetahui soal identitas dirinya yang asli. Kenyataan bahwa dia tidak lagi dianggap sebagai Ansia, benar-benar membuat hati Aila ringan.Namun meskipun begitu, masih ada satu hal lagi yang menjadi sumber keresahan perempuan itu."Noah," gumamnya.Entah sudah berapa kali gadis itu berpikir dengan gelisah dan bingung sendiri.Dia memang sudah menikah dengan Killian, tapi bukankah dia juga masih menjalin hubungan kasih dengan Noah?Lalu, bagaimana ini?Bukankah ini sama saja dengan dia yang sudah mengkhianati Noah? Bukankah ini berarti dia perempuan yang jahat? Bagaimana cara Aila untuk bisa menjelaskan semua situasi yang terjadi selama beberapa bulan ini kepada Noah?"Lagi pula, bukankah waktu itu aku bertemu dengannya? Tapi kenapa Noah mendadak tidak ada? Dia seperti menghila
"Haa ...."Aila menghela napas panjang. Perempuan bersurai coklat madu itu tengah memangku dagu dengan kedua tangan, mencoba menghitung berapa hari yang sudah berlalu untuk mereka habiskan selama acara berbulan madu.Tidak hanya melulu di Maldives saja, tapi mereka juga sempat menghabiskan waktu di negara lain.Misalnya saja seperti sekarang."Kills, apa kita memang perlu untuk pergi ke Italia?" tanya perempuan bermata abu itu, duduk diam di kursi berpunggung di area teras terbuka yang nyaman, sementara di depannya, terhampar pemandangan colosseum dan pusat kota Roma yang terlihat sangat indah di malam hari seperti saat ini. "Sebenarnya, apa pentingnya, sih?"Kalau Aila nampak masih begitu kebingungan dan mungkin sedikit kesal, maka Killian malah sebaliknya. Lelaki tampan bersurai hitam itu sekarang terlihat sangat santai dan menikmati suasana yang ada."Yah," sahutnya, me
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida