"Haa ...."
Aila menghela napas panjang. Perempuan bersurai coklat madu itu tengah memangku dagu dengan kedua tangan, mencoba menghitung berapa hari yang sudah berlalu untuk mereka habiskan selama acara berbulan madu.
Tidak hanya melulu di Maldives saja, tapi mereka juga sempat menghabiskan waktu di negara lain.
Misalnya saja seperti sekarang.
"Kills, apa kita memang perlu untuk pergi ke Italia?" tanya perempuan bermata abu itu, duduk diam di kursi berpunggung di area teras terbuka yang nyaman, sementara di depannya, terhampar pemandangan colosseum dan pusat kota Roma yang terlihat sangat indah di malam hari seperti saat ini. "Sebenarnya, apa pentingnya, sih?"
Kalau Aila nampak masih begitu kebingungan dan mungkin sedikit kesal, maka Killian malah sebaliknya. Lelaki tampan bersurai hitam itu sekarang terlihat sangat santai dan menikmati suasana yang ada.
"Yah," sahutnya, me
"Kiska ...." "Diam, Kills. Turuti perintah istrimu ini!" "Kamu adalah gadis yang paling bisa membuatku gila di seluruh dunia, Kiska," gumam Killian, menyentak Aila ke dalam pelukan. "Ada satu hal yang kamu lupakan, Kills," sahut Aila, melepas satu persatu kancing kemeja Killian. "Aku sudah bukan gadis lagi dan kurasa aku juga nggak perlu mengingatkan, siapa orang yang sudah mendapatkan kegadisanku itu." Killian mendengus tertawa. Dipeluknya erat perempuan yang dia cintai itu. "Enough, Kiska," bisiknya. " Aku kalah." "Apa maksudmu?" tanya Aila, berhenti dari usahanya untuk melepaskan kemeja Killian. "Aku tahu apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan. Kamu sedang menggodaku 'kan, Sayang? Hanya agar aku tahu bahwa kamu juga menginginkanku. Hm?" Terdiam, seketika wajah perempuan itu pun memerah. "Kamu membuatku malu,
Killian terbangun saat alarm handphone-nya aktif.Terbiasa bangun pagi, membuat lelaki itu sengaja menyetel alarm yang akan selalu otomatis aktif di jam yang sama setiap hari. Memang tidak ada bunyi melainkan hanya getar handphone saja yang dia pilih, tapi itu sudah cukup baginya.Enggan untuk bangun, dengan tangan menggapai-gapai dia berusaha menemukan benda pipih itu. Namun saat berikutnya Killian memaki dalam hati. Benda sialan yang berisik itu pasti masih ada di dalam saku celananya yang sekarang tergeletak di atas karpet.Menghela napas, mau tidak mau dia harus turun dari tempat tidur untuk mengambil lalu mematikan alarm yang tidak tahu diri itu."Kalau nggak mati-mati juga, bakal kulempar ke luar jendela," gerutunya sambil perlahan beranjak bangun.Tanpa mau repot mencari sesuatu untuk menutupi tubuh telanjangnya, dengan cuek Killian berjalan melintasi kamar begitu saja.
"Kills, tunggu—""No, Kiska."Aila terpaksa menggigit bibir kuat-kuat sementara di bawah sana kepala Killian sudah menyusup ke balik rok dan menyiksanya."Kills, henti— Nghn!" Membekap mulut dengan kedua tangan sendiri, Aila berusaha kuat meredam suara desahan dan erangannya. "Killian, jangan gila! Kita sekarang sedang berada di pesawat."Tidak ada sahutan. Tentu saja. Lelaki bersurai hitam itu sekarang sedang sibuk 'bekerja dengan giat' di bawah sana, memberi Aila kenikmatan, tapi sekaligus menyiksanya.Oh, ayolah. Siapa yang bakal tahan kalau harus berada di posisi Aila saat ini?Perempuan itu harus mati-matian menahan suara sementara bagian intimnya sedang dijamah dan merasakan kenikmatan yang sangat. Tidak hanya menjilat, Aila bahkan bisa merasakan betapa jari dan ujung lidah Killian bergantian masuk, menusuk-nusuk miliknya.Tidak cukup sam
Killian hampir meremukkan handphone di tangannya. Benda pintar berbentuk pipih yang harganya tidak murah itu, sekarang tidak lebih dari sekedar rongsokan yang nyaris patah dan retak tidak karuan. Sebagai tambahan, lelaki bersurai hitam itu pun lalu membantingnya kuat-kuat, membuat handphone tersebut semakin hancur. "Kills, a—ada apa?" tanya Aila dengan suara bercicit karena ketakutan. Sampai sekarang perempuan bermata abu itu masih juga belum terbiasa dengan kemarahan Killian. Bahkan saat ini pun tubuhnya sudah gemetar, sementara tadi Aila sendiri langsung meloncat ke ujung sofa, hanya demi menjauhi suaminya. "Kiska, kemarilah," mengetatkan rahang, suara Killian terdengar bagai geraman yang mengerikan dan malah membuat Aila semakin gemetar ketakutan. "Kemarilah, Kiska ... sebelum aku semakin marah dan akhirnya meledak. Kemarilah." Menggigit bibir dan memilih untuk tetap diam sambil me
"Apa yang kamu lakukan di sini?" sembur Ivona tanpa perlu berbasa-basi.Dia baru saja melangkah masuk ke ruang depan setelah sempat pergi sebentar. Ivona tadi selesai menelepon Killian dan memberi tahu mengenai situasi yang terjadi di kediaman Ardhana. Perempuan separuh baya itu merasa semakin kesal karena sekarang dia melihat Ansia yang malah enak-enakan duduk sambil setengah berbaring di sofa. Sekilas, perempuan bersurai hitam yang tengah berbadan dua itu memang terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu tidak pergi juga, bahkan setelah aku mengusirmu?""Oh, Mom—""Jangan panggil aku dengan sebutan itu!"Sepasang mata Ivona menatap Ansia dengan pandangan yang mutlak benci, sementara tubuhnya pun gemetar karena menahan emosi. Sungguh, seumur hidup dia tidak pernah merasa sampai semarah ini."Pergi! Pergi dari sini!" geramnya. "Atau perlu kupanggilkan pengawal untuk menyer
Kediaman Roxanne "Ada apa?" tanya Risa Roxanne, sewaktu hendak melenggang ke dalam kamar tidurnya. "Sepertinya ada tamu, Nyonya," jawab salah seorang pelayan, membuat dahi perempuan separuh baya itu pun berkerut. Siapa yang datang bertamu malam-malam begini? "Kenapa, Risa?" tanya Heri Roxanne, yang baru saja datang dan langsung merangkulkan sebelah tangan ke bahu istrinya, membuat perempuan separuh baya itu sedikit berjengit karena terkejut. "Jangan mengagetkanku seperti itu, Her," protes Risa, memukul ringan lengan suaminya yang hanya menanggapi dengan senyuman. "Menyebalkan." "Memangnya, apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai melamun seperti itu." "Ada tamu yang datang." "Malam-malam begini?" Heri Roxanne segera melirik arlojinya. Dahi lelaki itu pun seketika berkerut karena heran. Apakah ada se
"Akh! Nghn! Nghn!" Aila meraih kelambu tempat tidur kemudian mencengkeramnya, tapi dengan cepat lelaki bersurai hitam itu pun segera mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan istrinya. "Kills ... Nhgn! Akh! In—ini— kurasa ini sudah cuk—kuuph!" desah Aila, berusaha berbicara di sela napas yang terengah, sementara dari belakang Killian terus saja memacunya. Menahan pinggul Aila dengan sebelah tangan, sementara bibirnya asyik menjelajah dan meninggalkan entah berapa banyak jejak berupa bercak merah di leher yang jenjang itu, Killian dengan mantap terus menghujamkan miliknya. Meski saat ini mereka melakukannya dengan berdiri sekali pun, hal tersebut sepertinya bukan masalah bagi lelaki yang sudah sangat berpengalaman dalam bercinta semacam Killian. "Masih ... belum," erang Killian, kali ini memilin-milin bergantian kedua ujung bukit kembar yang begitu menantang itu. "Ini— Akh! Masih
"Bagaimana kabarmu?" "Ya? Apa?" "Sia, aku bertanya, bagaimana kabarmu?" Ansia terdiam. Otaknya seolah mengalami kesulitan untuk memahami pertanyaan yang semudah itu. Maksudnya, untuk macam pertanyaannya, sih, dia tahu, tapi yang dia tidak paham adalah kenapa Aila malah bertanya seperti itu? "Seriously? Kakak hanya memberiku pertanyaan semacam itu?" tanya Ansia yang semakin kesal dengan rasa gelisah yang terus menggerogoti hatinya saat ini. "Kita sedang berada di masalah seperti ini dan yang Kakak tanyakan hanya bagaimana kabarku?" Kali ini giliran Aila yang terdiam. Sepasang mata abunya terlihat kebingungan, masih tidak mengerti di mana letak kesalahan atas pertanyaan sederhana yang dia ajukan tadi. "Bukankah tadi Kakak yang sok-sokan mengajakku berbicara, tapi kenapa sekarang hanya bertanya soal omong kosong seperti ini?" "Apa tentang keadaanmu itu hanya omong kosong bagimu, Sia?" Terdiam, Ansia sontak berdiri