Rasanya jantung Aila nyaris meledak saja.
"Coba buka mulutmu, Kiska," pinta Killian sambil mengangkat sepotong sandwich telur, jelas sekali terlihat kalau lelaki itu ingin menyuapi Aila.
"Ng, Kills .... Aku bisa makan sendiri," gumam Aila dengan wajah yang semakin bersemburat merah.
"Tapi aku ingin menyuapimu. Apa nggak boleh?"
"Itu—"
Memandang tidak berdaya ke arah Erik, yang sangat jelas terlihat berusaha keras menahan senyuman, Aila menghela napas putus asa.
"I—ini yang terakhir, Kills," gerutunya dengan wajah cemberut, karena sejak tadi Killian terus menerus menyuapinya. "Aku bukan anak kecil, jadi biarkan aku makan sendiri."
"Yang mengatakan kalau kamu anak kecil itu siapa, Kiska?" kekeh Killian, mengusap permukaan bibir Aila untuk memastikan tidak ada sisa sandwich yang berantakan, lalu setelahnya, lelaki itu pun menjilat jarinya sendiri. "Kamu memang bukan anak kecil, tapi kalau urusan membuat anak kecil, pasti bisa
Wajah Aiden saat ini nyaris seperti mayat hidup.Sejak pulang dari kediaman Ardhana, dalam waktu tiga hari ini dia nyaris tidak tidur sama sekali. Baik lab, klinik maupun rumah sakit miliknya memang sedang dalam kondisi sibuk oleh pasien, tapi bukan hal tersebut yang membuat dokter muda itu sampai terlihat begitu kuyu seperti sekarang."Si Gila itu," gerutunya, menyetir dengan napas yang berdengus-dengus saking sebalnya. "Sudah kukatakan kalau kondisi sekarang sedang sangat sibuk, tapi mana mungkin dia mau tahu? Cih!""'Tiga hari dari sekarang aku sudah harus menerima hasilnya,'" Aiden mengulangi ucapan seseorang dengan nada penuh kekesalan. "Tiga hari! Tiga hari! Apa dia kira nggak sulit, mencoba meneliti dan memilah bahan apa saja dari permen aneh itu? Mana masih ditambah lagi aku harus bisa menemukan kira-kira dari mana bahan utamanya berasal!"Mengeratkan rahang, Aiden bahkan sampai meremas kuat bantal
"Nah, Kiska. Sekarang kamu mau aku jadi binatang peliharaan yang lucu atau binatang buas yang liar? Hm?""Oh, God ...."Menggigit bibir, Aila menyadari bahwa saat ini dia berada dalam bahaya besar. Gadis itu memejamkan kedua mata rapat-rapat, sementara tubuhnya pun sudah menegang.Namun yang terjadi kemudian malah membuat Aila heran."Istirahatlah, Kiska," ujar Killian, mengecup dahi Aila sesaat sebelum akhirnya bangun dan membebaskan gadis itu. "Perjalanan kita tadi cukup lama, jadi kamu pasti sudah sangat capek sekarang."Aila masih termangu, seolah tidak percaya dengan sikap yang Killian tunjukkan saat ini."Kills?""Ya, Kiska. Kemarikan tanganmu," pinta Killian, mengulurkan sebelah tangannya. Dia pun segera membantu Aila b
"Tunggu! Hei!"Aila berlari mengejar dua anak kecil yang tadi menjambret kalungnya. Entah berapa kali sudah dia menabrak orang, jalanan di Maladewa di jam sekian rupanya cukup padat. Ada banyak wisatawan yang berbaur dengan para penduduk asli yang memenuhi jalanan, membuat Aila sedikit kesulitan untuk tidak kehilangan dua punggung kecil itu."Ke mana mereka?" erangnya kesal, kehilangan sosok kedua anak kecil yang dikejarnya setelah mereka membelok.Mengikuti mereka, Aila menemukan bahwa dia sekarang berada di sebuah jalanan yang dipenuhi para pedagang asongan yang menjajakan souvenir dengan harga murah. Sesaat gadis itu kebingungan, sampai akhirnya sepasang mata abunya menangkap dua punggung kecil yang menyelinap di balik barang-barang dagangan yang memenuhi kiri dan kanan jalan."Tunggu!" pekiknya. Dua anak kecil itu sudah kembali berlari, rupanya mereka menyadari bahwa ada seseorang yang masih terus beru
"Ayo kita lakukan, Sayang." "Ha?" "Yah, kamu tahu ... maksudku, 'itu'." Aila memandang Killian kebingungan. 'Itu'? 'Itu' apa? Memangnya apa sih, yang dimaksud oleh Killian? Hari ini gadis itu sudah cukup dibuat bingung oleh sikapnya, yang bukan hanya aneh, tapi juga membuat Aila terus-terusan merona. Bayangkan saja! Tanpa malu-malu lelaki bersurai hitam itu terus mencium dan mencumbunya sepanjang perjalanan mereka di atas speed boat sewaktu menyeberang tadi. Kalau hanya sekedar ciuman sekilas, sih, masih tidak apa-apa, tapi masalahnya ciuman Killian semakin lama semakin dalam dan panas. Aila bahkan sampai kewalahan karena selain menciuminya, tangan Killian juga sibuk bergerilya di balik baju gadis itu. "Memang, sih, itu speed boat pribadinya, tapi 'kan di sana juga ada Tuan Erik dan yang lainnya," gerutu Aila dengan wajah yang suda
Aila berjalan dengan perasaan kesal.Entah ke mana dia akan pergi, gadis itu pun tidak tahu. Tidak ada arah tertentu yang ingin dia tuju, tapi yang jelas dia hanya ingin menjauh dan menyendiri untuk sementara waktu.Wajahnya memang cemberut, tapi sepasang mata abu itu berkobar marah. Sepanjang jalan Aila terus-terusan menggerutu dan bergumam kesal. Sesekali gadis itu bahkan menendang kerikil atau benda-benda kecil yang dia temui di sepanjang jalan, membuat beberapa orang sempat menoleh ke arahnya, memberinya pandangan ingin tahu."Kenapa dia nggak segera mengatakan kalau dia sudah mengetahui semuanya?" gumamnya bersungut-sungut, menghentakkan sebelah kaki saking kesalnya. "Memang apa, sih, susahnya memberi tahuku? Kalau dia lebih cepat memberi tahu 'kan, aku nggak perlu galau berlama-lama seperti ini?"Nyaris menangis, Aila sampai merasa dadanya sesak karena saking kesalnya. Gadis itu pun lalu melangkah ke
"Saya sudah selesai memeriksa dan mengobati luka-luka Anda. Sayangnya, luka di dahi Anda terpaksa saya jahit karena lukanya cukup lebar. Setidaknya ada tiga jahitan yang harus Anda terima untuk luka tersebut." "Terima kasih, Dok." "Tidak ada luka parah yang Anda derita, syukurlah. Beberapa luka lebam dan lecet yang ada tidak berbahaya sama sekali, sehingga tidak perlu untuk dikhawatirkan." "Tapi, Dok. Tulang rusuk saya terasa nyeri dan dada saya juga masih terasa sakit setiap kali menarik napas." Dokter berusia lima puluh tahun itu terdiam dan menatap heran pasien yang ditanganinya saat ini. Seorang wisatawan luar, lelaki muda dengan wajah tampan dan surai hitam, yang tadi ditemukan terkapar tidak sadarkan diri di salah satu gang kecil di jalanan pinggir pantai Maldives. Menarik napas dalam, sebenarnya dokter itu juga merasa heran. Maldives bisa dik
"Kills, akh!" desah Aila saat Killian memeluknya dari belakang sambil meremas kedua bongkahan kembarnya. Tidak cukup sampai di situ, lelaki bersurai hitam itu juga menelusuri leher Aila dan memenuhinya dengan ciuman."Kills, tung— Ngh! Tunggu dul—"Tidak ada yang sanggup Aila lakukan selain mendongak dan bersandar pasrah di dada bidang lelaki itu, sementara sebelah tangan Killian menjalar turun dan menjamah miliknya di bawah sana.Sebenarnya, bagaimana awalnya sampai mereka bisa seperti ini? Bukankah tadi Aila hanya berniat membantu Killian mandi? Lalu, kenapa sekarang mereka berdua malah berada di dalam bathtub yang dipenuhi busa dengan tubuh yang sama-sama telanjang bulat?Aila bahkan tidak ingat bagaimana awalnya dia sampai bisa berakhir tanpa baju seperti ini.Memangnya, sejak kapan dia mulai tidak berpakaian seperti ini? Apakah dia sendiri yang melepas pakaiannya atau mala
"Lakukan, Kills.""As you wish, Kiska."Aila terkesiap tajam saat ada sesuatu yang menusuk miliknya di bawah sana. Gadis itu merasa dirinya seakan terbelah, ketika sesuatu yang begitu besar, tegang dan berurat itu berusaha memasukinya dengan perlahan."K—Kills ...," engah Aila, kesulitan bicara di tengah rasa nyeri yang sedang menghajarnya. "Sak— agh! —kit ....""Tahan, Kiska. Kumohon, tahanlah," desis Killian yang saat ini terbelah antara gairah yang memuncak dan rasa khawatirnya. "Bernapaslah. Tarik napas pelan-pelan. Jangan pingsan dulu, hm?""Ping—san?""Iya. Terakhir kali kita akan melakukannya, kamu sudah pingsan duluan sebelum semua beres."Aila menggigit bibir kuat-kuat, sementara kedua mata abunya pun sudah berlinang air mata.Sial. Dia tidak mengira kalau bakal sesakit ini. Padahal ini baru separuh milik Killian yang masuk. Bagaimana kalau seluruhnya nanti?Killian menarik mundur pinggan