Jelas ada yang salah. Meski begitu, Killian masih belum tahu juga soal penyebabnya.
"Kiska, stop! Hentikan," desis Killian, mencoba menahan gerakan Aila yang sejak tadi terus mencumbunya. "Sayang, hentikan. Kumohon."
Namun seolah tidak mendengarkannya, Aila masih terus saja menciumi Killian. Sekujur tubuh Killian merinding saat bibir mungil gadis itu bermain di tengkuknya. Lelaki itu bahkan harus mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan desahan saat lidah basah Aila menyapa kulit lehernya.
Wajah tampan yang biasanya nyaris tanpa ekspresi itu, kini terlihat merah padam. Bukan karena amarah, tapi karena menahan gairah.
"Kiska," geram Killian dengan suara yang mulai serak. Napas lelaki itu pun sudah semakin berat. "Hentikan atau aku nggak akan sanggup menahannya lagi."
Namun sebagai jawabannya, gadis yang biasanya akan menghindar bila Killian mencumbunya itu, kali ini justru menangkup wajah Killian dengan kedua tangan lalu mencium mesra bibir yang se
Seumur hidup, rasanya Killian belum pernah mengalami kejutan sebesar ini."Kills?"Aila merengek memanggilnya. Pengaruh dari permen berisi obat perangsang yang tadi diberikan oleh Noah, masih begitu mempengaruhi gadis itu, membuatnya sangat mendambakan sentuhan."Kills .... Kills ...," panggilnya berulang kali, tapi dengan cepat Killian justru mundur menjauhinya. Lelaki buta itu bersikap seolah Aila adalah sesuatu yang harus dihindari. "Killian ....""Tetap di tempatmu, Kisk— Ma—maksudku, A—" Pertama kali dalam hidupnya pula, Killian mengalami susah bicara sampai harus terbata-bata seperti ini. Dia pun terpaksa berkali-kali menelan ludah hanya demi menyelesaikan kalimatnya. "Ai—la?"Masih dibutakan oleh gairah, Aila tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang sekarang justru menjauhinya."Kills!" panggilnya, setengah memerintah, setengah memohon. "Kemari. Kumohon. Mendekatlah, Kills?"Berjengit sewaktu Ai
"Ngghhnn ... nghnn ... ugh!"Pinggang lelaki itu bergerak naik turun dengan cepat. Sesekali gerakannya mengarah ke kanan dan ke kiri, bahkan memutar beberapa kali sebelum akhirnya kembali maju mundur.Peluh yang saat ini membanjir pun tidak mengurangi atau bahkan mengganggu aktifitas. Yang ada, ritme gerakan malah semakin cepat dan bertenaga seolah tanpa kenal lelah, seakan ada sesuatu yang tengah dikejarnya."Hngh! Ahn! Ahn! Hngh!" erang lelaki itu, di antara deru napasnya yang semakin memburu.Suara decakan, erangan dan desahan saling beradu, mengisi ruangan tempat mereka saling menyatu yang justru terdengar bagaikan penambah semangat.Sebentar lagi. Tinggal sebentar lagi.Deru napas semakin tidak teratur. Hawa panas pun kian bertambah, membuat dinginnya AC yang menyala kencang sama sekali tidak ada pengaruhnya.Geliat dan goyangan yang bergerak dari gadis yang ditindihnya pun, semakin mengantarkan rasa semangat untuk memacu lebih k
Aila mengerang dalam tidurnya.Mengerutkan dahi, perlahan sepasang mata abu itu terbuka.Ini ... di mana?Hal pertama yang dia rasakan setelah terbangun dari tidur adalah rasa pusing yang teramat sangat. Perlu beberapa menit bagi gadis itu untuk memejamkan kedua matanya rapat-rapat sambil mencengkeram erat sprei, sekedar berusaha memfokuskan pandangan yang terus berputar.Ini ... apakah ini kamar Killian?Bertumpu dengan sebelah sikunya, gadis bersurai coklat itu berusaha untuk bangun. Namun, di detik yang sama dia langsung mengernyit dan mengaduh, lalu kembali berbaring.Kenapa seluruh tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal, ya?"Kills?" panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur. Namun setelah beberapa waktu berselang pun, lelaki bersurai hitam itu tidak juga berhasil tertangkap oleh pandangannya.Killian ada di mana? Kenapa dia hanya sendirian di sini? Lagi pula, kenapa dia berada di kamar ini? Bukankah, terakhir kali ha
Rasanya jantung Aila nyaris meledak saja."Coba buka mulutmu, Kiska," pinta Killian sambil mengangkat sepotong sandwich telur, jelas sekali terlihat kalau lelaki itu ingin menyuapi Aila."Ng, Kills .... Aku bisa makan sendiri," gumam Aila dengan wajah yang semakin bersemburat merah."Tapi aku ingin menyuapimu. Apa nggak boleh?""Itu—"Memandang tidak berdaya ke arah Erik, yang sangat jelas terlihat berusaha keras menahan senyuman, Aila menghela napas putus asa."I—ini yang terakhir, Kills," gerutunya dengan wajah cemberut, karena sejak tadi Killian terus menerus menyuapinya. "Aku bukan anak kecil, jadi biarkan aku makan sendiri.""Yang mengatakan kalau kamu anak kecil itu siapa, Kiska?" kekeh Killian, mengusap permukaan bibir Aila untuk memastikan tidak ada sisa sandwich yang berantakan, lalu setelahnya, lelaki itu pun menjilat jarinya sendiri. "Kamu memang bukan anak kecil, tapi kalau urusan membuat anak kecil, pasti bisa
Wajah Aiden saat ini nyaris seperti mayat hidup.Sejak pulang dari kediaman Ardhana, dalam waktu tiga hari ini dia nyaris tidak tidur sama sekali. Baik lab, klinik maupun rumah sakit miliknya memang sedang dalam kondisi sibuk oleh pasien, tapi bukan hal tersebut yang membuat dokter muda itu sampai terlihat begitu kuyu seperti sekarang."Si Gila itu," gerutunya, menyetir dengan napas yang berdengus-dengus saking sebalnya. "Sudah kukatakan kalau kondisi sekarang sedang sangat sibuk, tapi mana mungkin dia mau tahu? Cih!""'Tiga hari dari sekarang aku sudah harus menerima hasilnya,'" Aiden mengulangi ucapan seseorang dengan nada penuh kekesalan. "Tiga hari! Tiga hari! Apa dia kira nggak sulit, mencoba meneliti dan memilah bahan apa saja dari permen aneh itu? Mana masih ditambah lagi aku harus bisa menemukan kira-kira dari mana bahan utamanya berasal!"Mengeratkan rahang, Aiden bahkan sampai meremas kuat bantal
"Nah, Kiska. Sekarang kamu mau aku jadi binatang peliharaan yang lucu atau binatang buas yang liar? Hm?""Oh, God ...."Menggigit bibir, Aila menyadari bahwa saat ini dia berada dalam bahaya besar. Gadis itu memejamkan kedua mata rapat-rapat, sementara tubuhnya pun sudah menegang.Namun yang terjadi kemudian malah membuat Aila heran."Istirahatlah, Kiska," ujar Killian, mengecup dahi Aila sesaat sebelum akhirnya bangun dan membebaskan gadis itu. "Perjalanan kita tadi cukup lama, jadi kamu pasti sudah sangat capek sekarang."Aila masih termangu, seolah tidak percaya dengan sikap yang Killian tunjukkan saat ini."Kills?""Ya, Kiska. Kemarikan tanganmu," pinta Killian, mengulurkan sebelah tangannya. Dia pun segera membantu Aila b
"Tunggu! Hei!"Aila berlari mengejar dua anak kecil yang tadi menjambret kalungnya. Entah berapa kali sudah dia menabrak orang, jalanan di Maladewa di jam sekian rupanya cukup padat. Ada banyak wisatawan yang berbaur dengan para penduduk asli yang memenuhi jalanan, membuat Aila sedikit kesulitan untuk tidak kehilangan dua punggung kecil itu."Ke mana mereka?" erangnya kesal, kehilangan sosok kedua anak kecil yang dikejarnya setelah mereka membelok.Mengikuti mereka, Aila menemukan bahwa dia sekarang berada di sebuah jalanan yang dipenuhi para pedagang asongan yang menjajakan souvenir dengan harga murah. Sesaat gadis itu kebingungan, sampai akhirnya sepasang mata abunya menangkap dua punggung kecil yang menyelinap di balik barang-barang dagangan yang memenuhi kiri dan kanan jalan."Tunggu!" pekiknya. Dua anak kecil itu sudah kembali berlari, rupanya mereka menyadari bahwa ada seseorang yang masih terus beru
"Ayo kita lakukan, Sayang." "Ha?" "Yah, kamu tahu ... maksudku, 'itu'." Aila memandang Killian kebingungan. 'Itu'? 'Itu' apa? Memangnya apa sih, yang dimaksud oleh Killian? Hari ini gadis itu sudah cukup dibuat bingung oleh sikapnya, yang bukan hanya aneh, tapi juga membuat Aila terus-terusan merona. Bayangkan saja! Tanpa malu-malu lelaki bersurai hitam itu terus mencium dan mencumbunya sepanjang perjalanan mereka di atas speed boat sewaktu menyeberang tadi. Kalau hanya sekedar ciuman sekilas, sih, masih tidak apa-apa, tapi masalahnya ciuman Killian semakin lama semakin dalam dan panas. Aila bahkan sampai kewalahan karena selain menciuminya, tangan Killian juga sibuk bergerilya di balik baju gadis itu. "Memang, sih, itu speed boat pribadinya, tapi 'kan di sana juga ada Tuan Erik dan yang lainnya," gerutu Aila dengan wajah yang suda