30 November 2018
"Biya, saya boleh bicara sebentar?"
Pukul lima sore seharusnya masih ada beberapa karyawan yang tersisa. Tapi, entah bagaimana ceritanya sehingga hanya tersisa Dalvin dan Biya di ruangan khusus departemen akuntansi. Jika digambarkan dalam sebuah novel light-romance, si perempuan pasti sudah jatuh hati dan tidak percaya, karena tiba-tiba diajak lelaki kelewat tampan bicara empat mata.
Biya jelas berbeda!
"Ada apa, Pak?" tanya Biya sok jual mahal. "Kerjaan saya sudah beres. Laporan audit sudah saya serahkan ke Bapak tadi."
"Hmm, saya tahu." Dalvin menjawab seraya menundukkan kepala. Dalvin terlihat gugup dan tak nyaman saat ingin mengutarakan sesuatu. Dia mengusap tengkuk, sesekali berdeham untuk mengusir kecanggungan, tapi itu jelas tak berhasil akibat tatapan Biya yang mengintimidasi.
Biya ingin segera pulang dan merebahkan diri di ranjang.
"Pak--"
"Kamu sekarang free?" perlahan Dalvin memberanikan diri mendongakkan kepala lalu menatap Biya tepat di mata. Ada sengatan listrik yang mendadak menjalari seluruh tubuh Biya hingga bibirnya terkatup rapat. Biya begini, karena sorot mata Dalvin sungguh memancarkan kesungguhan luar biasa.
Tapi, tetap saja Biya mau pulang!
"Saya harus pulang. Sudah diminta Ayah buat pulang," dustanya tanpa mengalihkan pandang dari Dalvin supaya terlihat lebih meyakinkan. "Maaf kalau misalkan saya nggak sopan ... kalau ada sesuatu yang mau dibicarakan sama saya, bisa lewat chat aja kok. Atau kalau mau, bisa dibicarakan besok pagi aja karena mengingat ini sudah di luar jam kerja meskipun kita masih di kantor sih."
"Saya nggak punya nomor kamu.."
Biya ingin segera kabur akibat situasi super canggung yang dia alami sekarang. Semua orang di kantor jelas tahu, bahwa Biya gagal menikah di bulan Agustus kemarin karena kekasih--lebih tepatnya mantan kekasih--tiba-tiba memberitahu bahwa dirinya harus bertanggung jawab terhadap anak orang yang sudah dia hamili di luar nikah.
Biya masih belum siap menerima orang baru dalam hidupnya. Masih takut memperoleh luka yang sama. Bagaimana Biya tidak takut dan geer kalau sekarang dia melihat telinga Dalvin memerah?
"Kan saya ada di grup howsapp, Pak."
"Sebenarnya nggak perlu sampai ngobrol di chat atau nunggu besok pagi. Besok pagi pasti banyak orang."
Biya tidak mengerti. Dahinya berkerut kebingungan dan juga sebal. Sejak tadi Dalvin terus berputar-putar; menghabiskan waktu berharga milik Biya yang setara dengan waktu perjalanan pulang.
"Sebenarnya kenapa, Pak?" pertanyaan Biya langsung dijawab penuh keraguan oleh Dalvin. "Sebenarnya saya nemuin sesuatu di bawah meja kamu. Pas itu nggak sengaja lihat. Saya ambil, karena takut orang lain nemu. Takutnya malah spreading some false rumour and making fun of you."
Biya membeku sesudah mendengar jawaban Dalvin. Sudah cukup menjadi bahan gunjingan gagal nikah. Perempuan itu membeku dan ketakutan begitu kentara terlukis di wajah cantiknya.
"Saya nemuin ini ... " volume suara Dalvin semakin mengecil hingga Biya tak mampu mendengar dengan jelas. Itu pun beriringan dengan Dalvin yang perlahan menyerahkan benda berukuran dua belas sentimeter, berwarna ungu, berbentuk lonjong, ujungnya tumpul, dan bisa dilipat.
Wajah Biya lebih padam dibandingkan Dalvin sekarang.
"Ada nama kamu di sana dan saya cuma kenal 'Biya' itu ya Biya kamu di sini. Ada di bawah meja kamu. Kayaknya jatuh atau gimana saya juga nggak ngerti," Dalvin menjelaskan. Berusaha keras menjaga kestabilan nada agar suasana canggung memudar walau itu tidak mungkin. Sesekali dia berdeham sebelum melanjutkan, "Saya bukan orang mesum. Saya juga naruh vibrator--maksud saya, barang kamu kamu di laci meja kerja saya, nggak sampai saya bawa pulang, karena yakin kamu pasti nyari dan kebingungan."
Biya bersumpah, dia tidak menyadari jika vibrator itu sempat menghilang, karena masih memiliki vibrator lain yang ada di apartemen. Biya malu sekali sampai tidak bisa menatap wajah Dalvin yang entah bagaimana ekspresinya sekarang. Malu akibat terlalu percaya diri dan terciduk memiliki toy sex padahal belum menikah.
Dan jujur saja, Biya memiliki benda itu sesudah sang mantan kekasih membelinya secara online dan menggunakannya saat tengah berolahraga di ranjang. Nama di vibrator itu pun ditulis secara langsung oleh yang membeli.
Astaga.
Biya mau berlari, tapi seluruh tubuhnya seolah terpaku di tempat.
Biya menunduk dalam; menyembunyikan wajah merah padam di antara helai rambut pendeknya saat menatap ke arah kakinya dan juga kaki Dalvin yang berhadapan. Biya juga menatap ke arah tangan Dalvin yang masih menggenggam vibrator berwarna ungu miliknya.
'Ahh, sial banget gue!' Biya mengumpat berulang kali dalam hati lalu bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi padanya.
"Tenang aja, saya bukan orang cepu yang suka nyebarin gosip aneh. Pulang sana. Tadi kayaknya kamu pengen banget pulang. Saya bakal diam di sini, soalnya yakin kamu pasti nggak nyaman kalo kita berdua barengan turun ke bawah."
Biya langsung menyambar vibrator dari tangan Dalvin dan berlari meninggalkan ruangan tersebut menuju ke arah lift sembari memasukkan vibrator ke dalam tas jinjing kecilnya. Namun, saat tiba di lantai satu, Biya menyadari bahwa ada sesuatu yang tertinggal.
Kunci sepeda motor.
Biya menepuk-nepuk kasar kening lebarnya. Merutuki segala kesialan akibat kecerobohan yang dia perbuat sendiri. 'Balik ke atas atau enggak? Apa nyewa driver online aja? Tapi kalo nyewa ojol, sayang duitnya bisa buat beli nasi goreng!' Biya ingin menangis saat mempertimbangkan banyak sekali hal.
Detik itu, Biya tak sengaja membuat kontak mata dengan salah satu satpam yang menjaga pintu keluar. Sang satpam menyadari jika Biya membutuhkan bantuan. Tapi, Biya buru-buru membalikkan badan dan masuk ke dalam lift daripada harus ditanya-tanya oleh satpam atau menimbulkan masalah baru.
'Aduh, balik aja. Sayang duitnya!'
Sesampainya di lantai lima, Biya keluar dari lift dan diam di tempat selama beberapa menit. Biya tak sanggup melihat wajah Dalvin lagi. Sungguh. Perempuan itu menancapkan kuku-kuku panjangnya pada permukaan kulit hingga warna kemerahan serta rasa sakit mulai muncul.
Dia pikir, dia akan terjebak di sana--tapi suara notifikasi ponsel memecah pikiran kalutnya. Biya merogoh ponsel dari dalam tas selempang hitamnya dan melihat pesan masuk dari Ayah.
[Ayah: Nak, gak pulang? Ini Kakak sama Ayah tunggu kamu pulang biar bisa makan sama-sama]
Setiap hari Jumat, Biya akan pulang ke rumah sampai hari Minggu untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Biya mengerucutkan bibir dan menautkan kedua alisnya dalam saat sadar bahwa dia harus memenuhi rencana tiap minggu. Seolah memperoleh kekuatan, Biya pun melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan departemen akuntasi.
Biya membuka pintu tembus pandang berbahan kaca itu pelan sekali.
Gendang telinga Biya langsung disambut oleh senandung lagu Tulus yang berjudul "Monokrom". Biya membelalakkan mata walau perlahan dia melangkah lebih jauh ke mejanya yang berada di pojok ruangan.
'Ini Pak Dalvin apa belum pulang--'
Tubuh Biya membeku ketika mendadak membuat kontak mata dengan Dalvin yang baru saja tak sengaja menjatuhkan ponsel ke lantai. Dalvin terkejut, karena Biya kembali lagi dan malah melihat keadaannya yang sekarang.
Posisi Dalvin membelakangi jendela sehingga Biya tak terlalu bisa melihat jelas bagaimana ekspresi Dalvin akibat sinar matahari sore yang menusuk mata. Tapi, yang Biya tahu, Biya masih bisa melihat Dalvin menghisap dot bayi di mulutnya.
Maksud Biya, benar-benar dot yang masih dipakai bayi berusia nol hingga dua tahun.
"Saya bisa jelaskan!" Teriak Dalvin panik hingga dot itu jatuh begitu saja ke lantai dibarengi air liur yang menetes mengaliri bibir.
Semuanya menjadi tidak tepat semenjak kejadian itu.
5 Januari 201912.33[Nope: Halo, sayang. How are you? You can hit me up anytime. Kita bisa ketemuan kapan aja. I miss you that much. Bales pesenku sesekali, Bi. Kamu nggak kangen sama aku?]Di dalam kamar yang minim akan cahaya, Biya menghela napas super panjang usai melihat beberapa notifikasi pesan masuk dari sang mantan kekasih yang kurang ajarnya masih mengirimkan pesan-pesan sok romantis. Seingat Biya, Biya sudah resmi mengakhiri hubungan mereka saat Ethan memberitahu jika dirinya harus menikahi seorang mahasiswi yang 'tak sengaja' dia hamili.Biya langsung memutus segala kontak dengan Ethan walau rasanya sakit sekali, karena dipaksa melepaskan seseorang yang telah menemaninya selama dua belas tahun. Biya menekan segala rindu dengan cara mengingat fakta jika Ethan sudah berani bermain di belakangnya.Biya menarik selimut; berniat kembali menghabiskan hari Minggunya dengan tidur. Tapi, itu jelas tidak berhasil."Biya!"Biya tersentak kaget dan nyaris mendapat serangan jantung aki
9 Januari 2019[+62 835-xxxx-xxxxx: Pak Dalvin, hari ini masih belum bisa masuk kerja?][Dalvin: Ya menurut lu aja gimana ngab][+62 835-xxxx-xxxxx: Maafin saya pak.. saya pas itu panik][Dalvin: O gt y][+62 835-xxxx-xxxxx: Iya pak, maaf pak saya beneran nggak maksud bikin bapak celaka+62 835-xxxx-xxxxx: Sekali lagi saya minta maaf pak]Dalvin enggan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Biya walau tiga hari telah berlalu. Lelaki itu terlalu jengkel atas kejadian menghebohkan di bioskop. Rasa malu sekaligus sakit di seluruh tubuh masih menyiksanya sampai saat ini--tidak, sejujurnya rasa malu Dalvin jauh lebih besar dibandingkan sakit.Dalvin terpaksa izin sakit dan bahkan sempat menerima omelan dari Ibu yang selama tiga hari memanggil tukang pijit berturut-turut agar kondisi tubuh Dalvin segera membaik. "Kamu gimana bisa jatuh? Badan segede gini jelas sakit pas ngehantam lantai!" Dalvin terlalu gengsi untuk memberitahu Ibu jika dirinya dibanting oleh seorang perempuan--yang b
"Dalvin, ini udah ganti tahun loh ... kamu apa nggak mau ganti status juga?"Sang pemilik nama paling enggan jika mendapat pertanyaan menyudutkan tersebut apalagi jika baru pulang bekerja. Masalah dengan Biya belum selesai dan sudah ada masalah baru dengan sosok Mama yang hampir setiap hari selalu mempertanyakan kapan Dalvin akan menikah.Menjadi anak satu-satunya di keluarga bukanlah hal yang baik.Dalvin berjalan ke arah dispenser sesudah mengambil gelas kosong dan menuangkan air. Di sana, dia menatap Mama yang sedari tadi mengikuti seraya menunjukkan pandang penuh harap. Berekspektasi Dalvin menjawab ‘iya’ lalu segera mengenalkan sosok menantu. Tapi, itu jelas ekspektasi yang mudah sekali dihancurkan oleh sang anak."Mau melajang aja." jawaban Dalvin sontak mengakibatkan Mama merespon panik. Mama memukul punggung Dalvin hingga sang empunya terjingkat dan mengaduh kesakitan. "'Melajang' gimana maksud kamu? Kamu mau jadi perjaka tua dan nggak memberi Mama cucu? Nggak kasihan sama Mam
Dari pagi sudah suntuk.Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali"Pak, ngelamun terus dari pagi."Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima."Ngelun
Biya jelas pernah melakukan hubungan badan dengan Ethan sewaktu dulu masih menjadi sepasang kekasih. Ethan yang pertama kali mengajak. Ethan sukses membuat Biya luluh-lantak menggunakan kalimat super manis ketika mereka berusia dua puluh tahun. Alhasil, selama tujuh tahun belakangan, mereka setidaknya melakukan hubungan badan sekali dalam sebulan tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga."Kamu jangan ngomong ke Papaku. Aku takut Papa kecewa kalau tahu anak perempuannya berani kayak gini..""Iya, sayang, aku kan sudah janji tadi."Kebiasaan melakukan hubungan badan tersebut jelas mengakibatkan perubahan pada gairah seksual Biya, karena awalnya tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi yang dikatakan dosa. Maka dari itu, setelah putus dari Ethan, Biya merasakan sedikit kekosongan dalam hidup dan mencoba menutupinya dengan cara meet up.Meet up bersama orang asing dari twindler tentunya.Di twindler, Biya dan lelaki asing akan berjanji untuk merahasiakan identitas masing-masing apabila
'Ini cewek beneran lucu deh hahaha,' lelaki itu mencibir sarkastik diiringi helaan napas panjang saat mengamati Biya yang tengah tertidur pulas di atas kasur. Biya memang sempat mengatakan ingin menetap sebentar, karena menunggu Ethan benar-benar pergi terlebih dahulu dan tak membiarkan Dalvin keluar dari kamar."Pak, nggak usah keluar! Di sini aja!"Perintah Biya yang dipenuhi nada memohon masih terngiang jelas di kepala Dalvin. Sebenarnya Dalvin sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dan dia berakhir berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Dia menghabiskan satu jam duduk di kursi sambil menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.Namun, siapa sangka kalau Biya kelelahan dan malah berujung tak sengaja tertidur? Dalvin melipat kedua tangan di depan dada ketika melirik ke arah kasur yang tempatnya hanya tersisa sedikit sekali. Tapi, kalaupun ada tempat, Dalvin juga tidak mungkin tidur di samping Biya. Biya adalah Adik Arsen dan Dalvin bisa saja langsung mati apabi
20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se