12.33
[Nope: Halo, sayang. How are you? You can hit me up anytime. Kita bisa ketemuan kapan aja. I miss you that much. Bales pesenku sesekali, Bi. Kamu nggak kangen sama aku?]Di dalam kamar yang minim akan cahaya, Biya menghela napas super panjang usai melihat beberapa notifikasi pesan masuk dari sang mantan kekasih yang kurang ajarnya masih mengirimkan pesan-pesan sok romantis. Seingat Biya, Biya sudah resmi mengakhiri hubungan mereka saat Ethan memberitahu jika dirinya harus menikahi seorang mahasiswi yang 'tak sengaja' dia hamili.
Biya langsung memutus segala kontak dengan Ethan walau rasanya sakit sekali, karena dipaksa melepaskan seseorang yang telah menemaninya selama dua belas tahun. Biya menekan segala rindu dengan cara mengingat fakta jika Ethan sudah berani bermain di belakangnya.
Biya menarik selimut; berniat kembali menghabiskan hari Minggunya dengan tidur. Tapi, itu jelas tidak berhasil.
"Biya!"
Biya tersentak kaget dan nyaris mendapat serangan jantung akibat Kakak lelakinya, Arsen, yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan mendobrak pintu. Biya otomatis menutup kedua mata--tak mampu menahan terangnya cahaya yang menyapa. Perempuan itu mulai memberengut, karena Arsen juga menyalakan lampu tanpa izin.
"Kok dinyalakan?!"
"Temenin makan di Burger Queen terus nonton bioskop. Airin lagi nggak bisa diajakin keluar," tutur Arsen tanpa mempedulikan Biya yang masih kesulitan membuka mata. Arsen ingin melanjutkan ucapannya, namun menahan diri usai melihat layar ponsel milik Biya yang ada di atas ranjang. Arsen bisa melihat jelas siapa si pengirim pesan tersebut.
"Are you still in touch with him?!"
"No!"
"Terus kenapa masih nge-chat lo?" pertanyaan Arsen langsung dijawab oleh Biya. "Ya enggak tau. Dianya sendiri yang kegatelan nge-chat gue mulu, Kak. Gue nggak pernah respon dan dia nggak mau berhenti chat."
"Sini handphone lo. Gue blokirin dia," Arsen menawarkan diri, tapi Biya malah menyembunyikan ponsel di balik selimut. Arsen menyipitkan mata penuh curiga dan tidak mengerti. Lelaki itu mengerutkan dahi sebal sebelum menuduh, "Jangan bilang lo masih sayang sama dia? For God's sake, Bi, dia sudah ngehamilin anak orang dan batalin pertunangan kalian gitu aja. Ayah sedih banget gara-gara dia dan dia juga sudah nyakitin lo."
Bibir Biya terkatup rapat sesudah mendengar tuduhan Arsen yang benar adanya. Biya juga tahu bahwa dia tidak sepatutnya masih sayang, karena Ethan tidak hanya menyakiti Biya seorang--tapi juga keluarganya, terutama Ayah dan Kakak. Biya tahu bahwa seharusnya dia bersyukur setelah batal menikah dengan Ethan. Namun percayalah, tidak semudah itu melepaskan cinta pertama yang sudah menemani selama dua belas tahun.
Maka dari itu, Biya enggan menerima orang baru untuk sekarang ini dan entah sampai kapan akan berlangsung.
"Iya, Kak ... I'm sorry."
Balasan penuh penyesalan yang terlontar dari bibir Biya jelas sukses membuat ekspresi wajah Arsen melemah. Menyadari jika dirinya terlalu keras pada Biya yang seharusnya dia jaga membuatnya merasa bersalah. Arsen menghela napas pelan lalu menepuk-nepuk kepala Biya penuh sayang.
"Udah, cepet siap-siap sana kalau mau ikut gue ke Burger Queen terus nonton."
"Ditraktir?"
"Iya."
Biya paling tidak suka jika melewatkan kesempatan ditraktir oleh Arsen dan otomatis segera bersiap-siap mengisi perutnya. Namun, saat sibuk mengganti pakaian, Biya mendengar suara bel rumah berbunyi dibarengi suara Arsen yang menyambut seseorang dengan begitu bahagia.
'Siapa?' Biya mengernyit ketika memandangi pantulan dirinya di cermin. 'Masa Kak Arsen ngajak temennya? Ini gue mau dicomblangin apa gimana?'
Biya diam di tempatnya cukup lama, karena memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi padanya nanti saat bertemu dengan 'teman' Arsen. Tapi setahu Biya, Arsen bukan tipe yang suka menjodohkan orang. Selama hidup pun Biya tahu jika Arsen bukan tipe yang ribet dan suka mencari perkara baru.
Tok tok.
"Biya, udah selesai belom?"
Biya tidak membuka pintu kamar lebar-lebar—hanya menampakkan wajahnya. Biya cemberut. "Kak Arsen ngajak orang lain? Terus ngapain ngajak gue?"
"Jadi gini, gue tuh pesen tiket bioskop tiga buat gue, Airin, sama temen gue satu lagi. Kebetulan Airin ini nggak bisa datang karena mendadak Mamanya sakit dan nggak ada yang jaga. Sayang kalo tiketnya Airin kebuang tau. Udah cepet turun ke bawah kalau sudah siap!"
"Aduh, iya."
Sesudah selesai, Biya turun ke lantai bawah sesuai dengan perintah Arsen.
Biya membeku di tempat usai mengetahui siapa 'teman' yang Arsen maksud. Perempuan itu bahkan sampai tak sengaja berteriak dan nyaris terjatuh dari anak tangga saking terkejutnya akibat melihat sosok Dalvin sekarang ada di ruang tamu dan menegak segelas air putih pemberian Arsen.
"Pak Dalvin?!" teriaknya panik, sebab tak siap membayangkan kecanggungan dan ketidaknyamanan nanti saat pergi bertiga bersama Arsen.
Dalvin yang mendengar namanya diteriakkan jelas langsung menoleh ke arah sumber suara. Mata Dalvin menangkap sosok Biya berdiri di tangga dan ikut terkejut setengah mati. Di tengah keterkejutan itu, Dalvin yang tengah menegak air putih langsung tersedak--terbatuk-batuk hingga air menyembur keluar lewat hidungnya.
"LO NGAPA TONG?!" tanya Arsen tak kalah panik sembari menyeka hidung dan mulut Dalvin yang dipenuhi air menggunakan tisu kering.
Ini jelas bukanlah suatu hal yang baik Biya maupun Dalvin harapkan.
***
Makan siang di Burger Queen berlalu dengan penuh kecanggungan. Hanya Arsen yang banyak bicara--berusaha keras melibatkan Dalvin dan Biya yang diam layaknya patung pajangan di tengah jalan. Keadaan mereka sangat kaku sampai Arsen bingung sendiri.
Dan sekarang, mereka berada di lobby bioskop.
Arsen mengambil tiket bioskop yang sudah dipesan secara online empat hari lalu pada mesin yang ada di dekat meja kasir, sedangkan Dalvin dan Biya duduk berjauhan di kursi lobby. Mereka sangat menghindari kontak mata akibat terus mengingat kejadian di hari itu.
Sungguh tak nyaman.
"Pak Dalvin ... kenal Kakak saya di mana?" tiba-tiba saja keheningan di antara mereka diakhiri oleh Biya walau sang perempuan masih enggan membuat kontak mata. Banyak orang berlalu-lalang, namun semua itu seolah tak ada bagi Dalvin--dia terlalu sibuk mengkhawatirkan sesuatu dibanding mengamati lobby bioskop.
"Saya?" tanya Dalvin sembari menunjuk dirinya sendiri.
Biya menoleh--menyempatkan membuat kontak mata sebentar sebelum kembali melempar pandang ke arah lain. Wajah mereka sama-sama kikuk, hanya saja, milik Biya lebih parah.
"Iya."
"Saya ketemu Kakak kamu di pesta nikahan teman saya. Kayaknya tahun lalu. Dia datang sama Airin, kan? Nah Airin itu sepupu saya," jawaban Dalvin terputus-putus. Terlalu grogi untuk sekadar bicara dengan Biya. "Saya dikenalin sama Airin di sana. Jadi temenan deh sampai sekarang. Tapi, saya nggak tahu kalau kamu itu Adiknya Arsen.."
'Astaga, Kak Arsen sama Kak Airin kalau nikah, gue ketemu lagi sama Pak Dalvin dong?!' Biya berteriak histeris dalam hati meskipun wajahnya masih kikuk setengah mati.
Biya ingin menyahut, namun didahului oleh Arsen yang melangkah mendekati mereka. "Eh, masuk yuk ke studio dua. Abis gini mulai bioskopnya."
Mereka berjalan pergi ke studio dua. Biya berada di belakang Arsen, sedangkan Dalvin di posisi paling belakang. Sejujurnya hingga sekarang, Dalvin tidak percaya jika orang lain tidak mengetahui rahasia mengenai dot bayi. Dalvin terlalu takut Biya menyebarkan ke orang-orang bahwa waktu itu dia ngedot di kantor.
Dalvin mengamati punggung Biya penuh kecemasan. Alhasil, tak tahan bergumul dengan setiap emosi negatif yang dia rasakan, Dalvin pun meraih pergelangan tangan Biya dari belakang.
"Biya, saya mau--"
Tapi, siapa sangka kalau Biya itu jago dalam olah raga taekwondo? Kepanikan Biya menyebabkan dia kembali meraih tangan Dalvin, menariknya, lalu dalam sekejap tubuh Dalvin melayang--punggungnya menghantam permukaan lantai dingin bioskop--menimbulkan suara gaduh nan nyaring yang sukses mengakibatkan keheningan datang tanpa diundang.
Dalvin mengerang tertahan. Wajah merah padam menunjukkan betapa sakit tubuh bagian belakangnya saat ini.
Arsen dan beberapa pengunjung bioskop yang berada di depan pintu terkejut setengah mati. Biya yang membanting tubuh Dalvin pun ikut terkejut dan membeku di tempat.
"Bi, lo ngapain sih?!" Arsen berteriak kaget sekaligus jengkel. Bagaimana bisa dia membanting tubuh lelaki di tengah keramaian bioskop? Arsen berlari mendekati Dalvin yang masih menggeliat di lantai, berjongkok, dan menepuk-nepuk dada bidangnya.
"Vin, lo gapapa?!"
"A-ahh," itulah rintihan pertama penuh kepedihan yang terlontar dari bibir Dalvin. Air matanya menetes dibarengi wajah yang kian memerah. Dia pun mencengkeram lemah tangan Arsen saat berbisik, "Sa-sakit banget anjing.."
Dalvin pun yakin, nasibnya hari ini memang seburuk itu.
9 Januari 2019[+62 835-xxxx-xxxxx: Pak Dalvin, hari ini masih belum bisa masuk kerja?][Dalvin: Ya menurut lu aja gimana ngab][+62 835-xxxx-xxxxx: Maafin saya pak.. saya pas itu panik][Dalvin: O gt y][+62 835-xxxx-xxxxx: Iya pak, maaf pak saya beneran nggak maksud bikin bapak celaka+62 835-xxxx-xxxxx: Sekali lagi saya minta maaf pak]Dalvin enggan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Biya walau tiga hari telah berlalu. Lelaki itu terlalu jengkel atas kejadian menghebohkan di bioskop. Rasa malu sekaligus sakit di seluruh tubuh masih menyiksanya sampai saat ini--tidak, sejujurnya rasa malu Dalvin jauh lebih besar dibandingkan sakit.Dalvin terpaksa izin sakit dan bahkan sempat menerima omelan dari Ibu yang selama tiga hari memanggil tukang pijit berturut-turut agar kondisi tubuh Dalvin segera membaik. "Kamu gimana bisa jatuh? Badan segede gini jelas sakit pas ngehantam lantai!" Dalvin terlalu gengsi untuk memberitahu Ibu jika dirinya dibanting oleh seorang perempuan--yang b
"Dalvin, ini udah ganti tahun loh ... kamu apa nggak mau ganti status juga?"Sang pemilik nama paling enggan jika mendapat pertanyaan menyudutkan tersebut apalagi jika baru pulang bekerja. Masalah dengan Biya belum selesai dan sudah ada masalah baru dengan sosok Mama yang hampir setiap hari selalu mempertanyakan kapan Dalvin akan menikah.Menjadi anak satu-satunya di keluarga bukanlah hal yang baik.Dalvin berjalan ke arah dispenser sesudah mengambil gelas kosong dan menuangkan air. Di sana, dia menatap Mama yang sedari tadi mengikuti seraya menunjukkan pandang penuh harap. Berekspektasi Dalvin menjawab ‘iya’ lalu segera mengenalkan sosok menantu. Tapi, itu jelas ekspektasi yang mudah sekali dihancurkan oleh sang anak."Mau melajang aja." jawaban Dalvin sontak mengakibatkan Mama merespon panik. Mama memukul punggung Dalvin hingga sang empunya terjingkat dan mengaduh kesakitan. "'Melajang' gimana maksud kamu? Kamu mau jadi perjaka tua dan nggak memberi Mama cucu? Nggak kasihan sama Mam
Dari pagi sudah suntuk.Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali"Pak, ngelamun terus dari pagi."Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima."Ngelun
Biya jelas pernah melakukan hubungan badan dengan Ethan sewaktu dulu masih menjadi sepasang kekasih. Ethan yang pertama kali mengajak. Ethan sukses membuat Biya luluh-lantak menggunakan kalimat super manis ketika mereka berusia dua puluh tahun. Alhasil, selama tujuh tahun belakangan, mereka setidaknya melakukan hubungan badan sekali dalam sebulan tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga."Kamu jangan ngomong ke Papaku. Aku takut Papa kecewa kalau tahu anak perempuannya berani kayak gini..""Iya, sayang, aku kan sudah janji tadi."Kebiasaan melakukan hubungan badan tersebut jelas mengakibatkan perubahan pada gairah seksual Biya, karena awalnya tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi yang dikatakan dosa. Maka dari itu, setelah putus dari Ethan, Biya merasakan sedikit kekosongan dalam hidup dan mencoba menutupinya dengan cara meet up.Meet up bersama orang asing dari twindler tentunya.Di twindler, Biya dan lelaki asing akan berjanji untuk merahasiakan identitas masing-masing apabila
'Ini cewek beneran lucu deh hahaha,' lelaki itu mencibir sarkastik diiringi helaan napas panjang saat mengamati Biya yang tengah tertidur pulas di atas kasur. Biya memang sempat mengatakan ingin menetap sebentar, karena menunggu Ethan benar-benar pergi terlebih dahulu dan tak membiarkan Dalvin keluar dari kamar."Pak, nggak usah keluar! Di sini aja!"Perintah Biya yang dipenuhi nada memohon masih terngiang jelas di kepala Dalvin. Sebenarnya Dalvin sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dan dia berakhir berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Dia menghabiskan satu jam duduk di kursi sambil menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.Namun, siapa sangka kalau Biya kelelahan dan malah berujung tak sengaja tertidur? Dalvin melipat kedua tangan di depan dada ketika melirik ke arah kasur yang tempatnya hanya tersisa sedikit sekali. Tapi, kalaupun ada tempat, Dalvin juga tidak mungkin tidur di samping Biya. Biya adalah Adik Arsen dan Dalvin bisa saja langsung mati apabi
20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se
17.10"Kok lo tumben hari Kamis pulang ke rumah?"Jam kerja telah berakhir, Biya langsung melesat ke rumah dan wajah pertama yang dia jumpai adalah wajah milik Arsen. Di balik pintu, lelaki itu hanya menggunakan boxer serta baju putih tipis di saat memijat pundaknya yang terasa pegal. Kelihatan persis seperti bapak-bapak anak satu yang kelelahan akibat dimarahi istri karena melempar baju sembarangan.Rambutnya pun berantakan. Berbanding terbalik dengan Biya yang masih tampak cukup rapi di balik pakaian kerjanya."Nggak papa, lagi pengen aja.." jawabnya. Berusaha tak menunjukkan bahwa dirinya lesu dan sedang tidak mood. Biya melangkah masuk ke dalam--mengedarkan pandang sebelum kembali menatap Arsen."Ayah mana?" Arsen langsung menjawab, "Masih mandi. Lo pulang cuma buat nemuin Ayah aja nih? Bukan buat nemuin gue?"Sejak Mama pergi, Biya tahu bagaimana hancurnya hati Ayah dan Kakaknya selama menjalani hidup. Biya tahu sebagaimana besar mereka menyayangi B
Lima tahun kemudian.Biya beberapa kali melakukan switch career, dari staff purchasing, copywriter, hingga akhirnya memilih menjadi virtual assistant yang bisa bekerja secara remote di mana saja. Biya masih berusaha menjadi orang yang lebih baik setelah insiden beberapa tahun lalu. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun tidak ada yang cocok secara emosional. Semakin hari, Biya sendiri semakin menghindari lawan jenis karena merasa semuanya berujung sia-sia—tidak ada yang jadi, katanya.Biya sudah putus hubungan dengan Maya. Beberapa kali Biya melihat sosial media sang mantan sahabat melalui akun lain. Maya tampak bahagia dan baik-baik saja. Sudah menikah; pindah ke luar negeri mengikuti suami yang merupakan orang Australia. Biya ingin mengirimkan pesan, tapi takut Maya mengabaikan atau mungkin malah belum memaafkan.“Ce, kabarnya gimana?” Biya mendongakkan kepala ketika melihat Odilia, salah satu teman yang diperoleh melalui komunitas virtual assistant di media sosial. Mereka serin
“Mbak Biya, sudah lama nggak ketemu. Mau ambil barang-barang di lantai atas, ya?”Sesuai ucapannya kemarin, Biya pergi ke perusahaan untuk mengambil barang-barang di mejanya pada sore hari. Biya terkejut, karena security yang dikenalnya tahu bahwa dia resign. Biya menganggukkan kepala, mengucapkan salam, sebelum beranjak ke tempat kerjanya yang ada di lantai lima.Perusahaan sudah sepi, hanya ada beberapa office boy dan office girl yang masih bekerja. Biya bersyukur, karena dia tidak perlu menemui rekan rekan kerja yang pasti akan kepo luar biasa mengenai setelah ini akan bekerja di mana, kabar setelah sembuh dari tipes, dan lain lain. Biya menarik napas dalam ketika sampai di lantai lima dan masuk ke ruang departemennya.Biya tak menemukan siapa pun selain Dalvin yang masih duduk di kursinya—memeriksa kembali laporan keuangan pada layar komputer. Dalvin menoleh ke arah Biya, tak terlihat kaget, dan kembali fokus pada layar komputer.“Ambil barang?” Dalvin bertanya tanpa melihat Biya
[“Besok lo mau ambil barang-barang dari tempat kerja lo?”]Malam ini Biya dihubungi oleh Arsen yang tadi sempat menceritakan perjalanan selama berbulan madu di Bali. Tadi, Biya juga sempat berbincang sebentar dengan Airin melalui sambungan telepon. Biya senang, karena mereka bisa menikmati liburan selama seminggu dalam memulai perjalanan pernikahan yang akan dibina selama beberapa tahun ke depan.“Iya, besok mau gue ambil sendirian. Sebenarnya Ayah nawarin buat bantu, tapi gue tolak soalnya nggak mau ngerepotin,” Biya menjelaskan sambil mengambil tas kain yang biasanya digunakan untuk belanja, kunci sepeda motor serta mengenakan jaketnya yang berwarna hijau sage. Hendak pergi ke supermarket sebentar untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis di rumah. “Gue besok rencana mau datang sore aja setelah semua orang pulang, biar nggak usah drama di tempat kerja orang gue juga cuma mau ambil barang.”[“Ohh, haha,”] Arsen sempat mengudarakan tawa pelan, karena pikirannya langsung tertuj
Butuh waktu hampir dua minggu bagi Biya untuk pulih dari tipes dan benar-benar diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Proses pemulihannya lama, sebab Biya tak kooperatif—enggan makan dan minum obat—baru dikonsumsi apabila dipaksa oleh ayah atau Arsen yang bergantian berjaga. Keluar dari rumah sakit pun, kondisi fisiknya masih lemah.Biya sudah dinyatakan resign oleh HRD perusahaan dan diminta segera mengambil barang-barangnya. Biya menghela napas pelan, tidak menyangka jika dia jatuh sakit sampai melewati tanggal resign. Perempuan itu menatap langit-langit kamar ketika merebahkan diri; memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini, karena belum menemukan tempat kerja yang pas di hati. Biya pun memikirkan semua orang yang selama ini berputar di sekitarnya—terutama Gama dan Maya, yang mendadak keluar dari kehidupannya.[“Gue sudah dengar semuanya dari kakak lo. Gue nggak akan balik dulu, jadi gue belum bisa jengukin lo. Gue bakal stay di sini sampai mama gue sembuh. Goodluck and get
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket