Dari pagi sudah suntuk.
Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.
Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali
"Pak, ngelamun terus dari pagi."
Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima.
"Ngelunjak kamu." desisnya sebal tanpa menatap Biya. Kedua alis bertaut dalam, bibir mengerucut samar, kantung mata menghiasi wajah benar-benar memperlihatkan jika Dalvin selelah dan semalas itu meladeni Biya.
"Ya abisnya Pak Dalvin juga jahatin saya. Ya saya jahatin balik dong biar adil."
Sebenarnya Biya adalah perempuan penyabar, penyayang, dan super lembut walau tidak feminim-feminim amat. Sifatnya terbentuk oleh keadaan di mana sudah harus mengurus rumah akibat kehilangan sosok Mama di usia yang masih sangat belia. Biya juga pandai memasak, karena setiap pagi menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Kakak. Kalau kata Ayah, masakan Biya mirip sekali dengan masakan mendiang Mama.
Banyak sekali kebaikan dalam diri Biya, tapi akan hancur dalam sekejap jika sudah menemukan seseorang yang berpotensi menjadi musuh, seperti Dalvin. Biya paling tidak suka bekerja di bawah tekanan lingkungan dan sifat paling jeleknya adalah balas dendam menggunakan ancaman.
"Mana bisa gitu. Kamu udah ngebanting terus sekarang ngancam saya juga," balas Dalvin tak terima. Kejadian di bioskop sungguh tak bisa dilupakan begitu saja. Dia mendelik; kedua tangannya bersiap mencekik Biya. "Saya nggak akan mati dalam waktu dekat dan sialnya saya harus ketemu sama kamu setiap hari. Muka kamu bikin umur saya berkurang tahu, nggak?!"
"Kayak muka Bapak bagus aja."
Mendengar cibiran Biya, telinga Dalvin terasa panas dalam sekejap. Apalagi Biya juga menguadarakan tawa kecil yang sok bersahabat di telinganya. Kemudian, begitu lift terbuka, mereka berdua melangkah masuk ke sana. Dalvin langsung memalingkan wajah; menjaga jarak sebisa mungkin dari Biya.
"Pak Dalvin."
"Apa?! Apa lagi, Biya?!" Dalvin pikir Biya ingin mengganggu lagi. Wajah lelaki itu memerah akibat emosi disertai raut galak. "Kamu sampai kapan mau ganggu saya terus? Sampai rahasia kebongkar ke semua orang di kantor?!"
Memperoleh respon super sewot, Biya jelas menautkan alis kebingungan. Biya memanggil baik-baik tanpa ada niatan mengajak debat. Namun, karena yakin mood Dalvin memang sejelek itu, Biya pun sekadar mengatakan seadanya.
"Resleting celana Bapak kebuka. Saya cuma mau ngasih tau aja kok." ucapan Biya otomatis mengakibatkan mata Dalvin membelalak kaget. Dia secepat kilat menoleh ke bawah--benar saja, resleting celananya terbuka.
Dalvin mengubah posisi tubuh membelakangi Biya. Membenarkan resleting celana. Matanya tertutup rapat akibat frustrasi serta malu yang teramat sangat.
'Hidup gue kenapa gini amat, sih???' Dalvin merutuki keadaan yang sama sekali tidak berpihak padanya. Sejak kemarin selalu dihinggapi kesialan usai Biya terlibat dalam hidup melalui kejadian tak terduga. Bisakah Dalvin menyingkirkan perempuan itu sekarang juga?
Dalvin ingin menjadi Thanos. Sungguh.
"Awas kamu ngasih tahu orang-orang." ancam Dalvin sesudah membenarkan resleting celana dan kembali menghadap ke arah Biya. Dalvin ingin sekali berteriak, tapi takut jika Biya menangis atau menyebabkan kehebohan di kantor.
"Nggak bakal."
Dalvin jelas tidak percaya dan tambah sebal, karena meyakini jika Biya pasti akan kembali mengancam. Maka dari itu, dia cemberut lalu bergumam, "Jelas aja batal nikah."
"Tadi Pak Dalvin ngomong apa?"
Dalvin terjingkat setelah mendengar pertanyaan dari Biya. Masalahnya, nada Biya kurang bersahabat dan cukup rendah kala mengikis jarak. Dalvin berusaha tak menghiraukan dengan cara membuang muka ke arah lain, tapi sayang, setibanya lift di lantai satu--Biya malah melayangkan pukulan pada wajah Dalvin akibat tersinggung.
Ketika pintu lift terbuka, para karyawan yang berdiri di sana menunggu lift jelas terkejut setengah mati saat melihat wakil kepala manajer akuntansi mengaduh kesakitan sembari menutupi hidungnya yang berdarah.
"Aduh Bapak!" Biya ikut-ikutan sok peduli. Dia mendekat. Berbohong dengan memastikan bahwa Dalvin baik-baik saja. "Pak Dalvin nggak papa? Aduh, darahnya banyak banget!"
Rasa malu Dalvin kian berlipat ganda.
***
19.28
Dalvin ingin memperoleh kemungkinan di mana dia juga bisa mengetahui rahasia lain milik Biya agar bisa balas dendam. Dalvin tahu, balas dendam menggunakan ancaman sama sekali bukan dirinya. Dalvin lebih suka bermain bersih dibanding bermain kotor seperti Biya.
Amarah Dalvin kian berlipat sesudah melihat pesan masuk dari Mama--Raras.[Mama: Pulang kamu. Dicariin sama Papa
Mama: Dolphin pulangMama: DolphinMama: DolphinMama: DalvinMama: Autocorrect..Mama: Mau dicoret dari kk?]"Apaan sih Mama," dia menggerutu sebal, karena Raras selalu mengancam akan mencoret namanya dari kartu keluarga. Dalvin hanya mendiamkan pesan Raras pada kolom notifikasi. Terlalu malas untuk meladeni Raras, yang pasti kembali mengungkit masalah pernikahan.
Dalvin enggan bicara dengan siapapun. Suasana hatinya yang jelek tak kunjung berubah, ditambah lagi, akibat kejadian hidung berdarah di lift sampai semua orang panik.
Dalvin ingin Biya memperoleh karma secepat mungkin!
"Aduh!" Dalvin mengeluh jengkel saat turun dari mobil sembari membawa kantong plastik berisikan beberapa kotak susu serta satu box besar sereal rasa cokelat.
Dalvin Tak sengaja menginjak permen karet bekas yang dibuang sembarangan. Tak ada yang berjalan sesuai rencana sejak kemarin. Dalvin memejamkan mata frustrasi, mengumpat berulang kali dalam hati, dan nyaris memukul badan mobil sebelum mengambil tisu kering di dalam kendaraan tersebut.
Dalvin mengambil permen karet dari pernukaan sepatu lalu membuangnya ke tong sampah. Dia berjalan masuk ke dalam hotel tersebut tanpa bisa berhenti menggerutu.
Hotel itu tak memiliki lift, sehingga Dalvin harus berjalan menaiki anak tangga sampai ke lantai empat. Ditambah lagi, lampu di lorong tiap lantai juga tak seterang itu. Lokasinya mirip sekali dengan film horror.
Dalvin meraih kunci kamar hotel dari saku celana dan membuka pintunya. Tapi, bertepatan dengan itu, kamar hotel yang hanya berjarak sepuluh langkah tiba-tiba terbuka.
Memperlihatkan sosok Biya, yang mengenakan pakaian minim disertai aroma rokok super menyengat.
"P-Pak Dalvin?"
Genggaman Dalvin pada kantong plastik melemah sampai kotak susu serta sereal berhamburan ke lantai. Dalvin sama tercengangnya seperti Biya. Di tengah remangnya cahaya lorong hotel, mereka saling menatap dengan penuh keterkejutan.
"Kamu ... ngapain di sini, Biya?"
Biya jelas pernah melakukan hubungan badan dengan Ethan sewaktu dulu masih menjadi sepasang kekasih. Ethan yang pertama kali mengajak. Ethan sukses membuat Biya luluh-lantak menggunakan kalimat super manis ketika mereka berusia dua puluh tahun. Alhasil, selama tujuh tahun belakangan, mereka setidaknya melakukan hubungan badan sekali dalam sebulan tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga."Kamu jangan ngomong ke Papaku. Aku takut Papa kecewa kalau tahu anak perempuannya berani kayak gini..""Iya, sayang, aku kan sudah janji tadi."Kebiasaan melakukan hubungan badan tersebut jelas mengakibatkan perubahan pada gairah seksual Biya, karena awalnya tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi yang dikatakan dosa. Maka dari itu, setelah putus dari Ethan, Biya merasakan sedikit kekosongan dalam hidup dan mencoba menutupinya dengan cara meet up.Meet up bersama orang asing dari twindler tentunya.Di twindler, Biya dan lelaki asing akan berjanji untuk merahasiakan identitas masing-masing apabila
'Ini cewek beneran lucu deh hahaha,' lelaki itu mencibir sarkastik diiringi helaan napas panjang saat mengamati Biya yang tengah tertidur pulas di atas kasur. Biya memang sempat mengatakan ingin menetap sebentar, karena menunggu Ethan benar-benar pergi terlebih dahulu dan tak membiarkan Dalvin keluar dari kamar."Pak, nggak usah keluar! Di sini aja!"Perintah Biya yang dipenuhi nada memohon masih terngiang jelas di kepala Dalvin. Sebenarnya Dalvin sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dan dia berakhir berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Dia menghabiskan satu jam duduk di kursi sambil menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.Namun, siapa sangka kalau Biya kelelahan dan malah berujung tak sengaja tertidur? Dalvin melipat kedua tangan di depan dada ketika melirik ke arah kasur yang tempatnya hanya tersisa sedikit sekali. Tapi, kalaupun ada tempat, Dalvin juga tidak mungkin tidur di samping Biya. Biya adalah Adik Arsen dan Dalvin bisa saja langsung mati apabi
20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se
17.10"Kok lo tumben hari Kamis pulang ke rumah?"Jam kerja telah berakhir, Biya langsung melesat ke rumah dan wajah pertama yang dia jumpai adalah wajah milik Arsen. Di balik pintu, lelaki itu hanya menggunakan boxer serta baju putih tipis di saat memijat pundaknya yang terasa pegal. Kelihatan persis seperti bapak-bapak anak satu yang kelelahan akibat dimarahi istri karena melempar baju sembarangan.Rambutnya pun berantakan. Berbanding terbalik dengan Biya yang masih tampak cukup rapi di balik pakaian kerjanya."Nggak papa, lagi pengen aja.." jawabnya. Berusaha tak menunjukkan bahwa dirinya lesu dan sedang tidak mood. Biya melangkah masuk ke dalam--mengedarkan pandang sebelum kembali menatap Arsen."Ayah mana?" Arsen langsung menjawab, "Masih mandi. Lo pulang cuma buat nemuin Ayah aja nih? Bukan buat nemuin gue?"Sejak Mama pergi, Biya tahu bagaimana hancurnya hati Ayah dan Kakaknya selama menjalani hidup. Biya tahu sebagaimana besar mereka menyayangi B
"Pak Dalvin nggak mau ke rumah sakit aja?"Dalvin sungguh tak nyaman. Situasi saat ini membuatnya ingin segera kabur dan pulang saja ke hotel. Pasalnya, setelah dipukul oleh Ethan, Dalvin langsung ditarik masuk ke rumah oleh Biya--dipaksa duduk di sofa ruang tamu lalu sekarang tiga orang mengamatinya lekat-lekat dengan sorot yang berbeda, ada yang: menatap khawatir, bingung bercampur penuh tanya, serta ingin bertanya dan membutuhkan jawaban sesegera mungkin."Saya baik-baik aja. Nggak perlu sampai ke rumah sakit segala," balas Dalvin tanpa mengangkat kepala. Menghindari kontak mata dengan semua anggota keluarga yang ada di hadapannya. Dia kelihatan canggung sekali, terutama saat mendadak Biya duduk di sampingnya."Saya beneran baik-baik aja," dia mengulangi sekali lagi. Mendorong Biya menjauh untuk menjaga jarak. "Malah harusnya mantan pacar kamu yang dibawa ke rumah sakit."Dalvin serius.Sejujurnya, Dalvin sama sekali tak menyentuh Ethan. Sedikit pun. Mala
29 Januari 2019Memangnya aku membawa sial ya untuk Pak Dalvin? Aku mencoba memahami sejak beberapa hari lalu setelah memilih tidak membalas pesan darinya lagi. Di kantor, aku menghindari kontak mata dengannya, karena takut membuat suasana hati Atasanku itu memburuk. Pak Dalvin baik pada semua orang, kecuali padaku dan itu sangat kentara sampai Maya selalu mempertanyakan kebenaran yang kusampaikan waktu itu."Are you okay?" Maya bertanya ketika kami duduk di kantin. Dia menikmati makan siang, sedangkan aku tidak. Bagaimana aku bisa menikmati semangkuk bakso kalau selama bekerja Pak Dalvin sejudes itu? Karyawan lain sampai mencuri pandang berulang kali ke arahku. "Lo sama Pak Dalvin pas itu beneran ketemu di jalan terus dia inisiatif anterin lo? Itu beneran apa bohongan? Soalnya pas itu gue lihat, dia marah banget ke lo sampai kaya pengen jeblosin ke penjara gitu. Terus dari kemarin juga jahat banget ke lo walaupun jahatnya ya enggak ngasih kerjaan setumpuk dan lewat tatapan mata sama
14 Mei 2015 14.30 Gama sudah lama sekali magang sejak masih menjadi mahasiswa di perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur tersebut. Gama bahkan sudah ditarik untuk menjadi salah satu anggota permanen di bagian Human Resource Development karena kinerja yang baik serta memadai. Tapi, karena Gama tak terlalu suka bekerja menjadi HRD tetap, mencari pengalaman lebih luas, serta masih ingin menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dia memutuskan untuk menjadi HRD panggilan tiap ada sesi perekrutan karyawan baru dan itu disetujui oleh kepala HRD. Tak hanya di perusahaan ini, tapi juga di beberapa perusahaan lain yang membutuhkan jasanya. Hari ini, ada sesi perekrutan karyawan baru—Gama telah meninjau semua berkas para pelamar sebelum wawancara berlangsung. Mata sipit lelaki dengan paras rupawan itu mengamati satu portofolio seorang perempuan yang tampak menarik. Kemudian, tiba saat perempuan itu masuk ke dalam ruangan, mengucapkan salam yang sangat sopan, lalu duduk tepat di