14 Mei 2015 14.30 Gama sudah lama sekali magang sejak masih menjadi mahasiswa di perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur tersebut. Gama bahkan sudah ditarik untuk menjadi salah satu anggota permanen di bagian Human Resource Development karena kinerja yang baik serta memadai. Tapi, karena Gama tak terlalu suka bekerja menjadi HRD tetap, mencari pengalaman lebih luas, serta masih ingin menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dia memutuskan untuk menjadi HRD panggilan tiap ada sesi perekrutan karyawan baru dan itu disetujui oleh kepala HRD. Tak hanya di perusahaan ini, tapi juga di beberapa perusahaan lain yang membutuhkan jasanya. Hari ini, ada sesi perekrutan karyawan baru—Gama telah meninjau semua berkas para pelamar sebelum wawancara berlangsung. Mata sipit lelaki dengan paras rupawan itu mengamati satu portofolio seorang perempuan yang tampak menarik. Kemudian, tiba saat perempuan itu masuk ke dalam ruangan, mengucapkan salam yang sangat sopan, lalu duduk tepat di
23 Agustus 2015Jari-jari panjang Gama bergerak menelusuri lemari, mencari setelan jas hitam yang biasanya dia kenakan untuk menghadiri acara pernikahan. Gama baru saja selesai mandi--rambut hitam legamnya masih basah--menyebabkan si Kakak Perempuannya mengomel begitu melangkah masuk ke dalam kamar."Rambut lo dikeringin dulu!" Celine memukul pelan punggung Gama. Perempuan bermata sipit yang memiliki kecantikan serta karisma kuat bak pemimpin itu mendengus sebal usai melihat Gama yang hanya nyengir. "Lo mau pakai jas itu lagi? Serius, deh, ayo lo kapan-kapan ikut gue ke toko baju buat cari setelan baru."Gama menggelengkan kepala cepat sembari tertawa lucu. Dia menanggalkan jas hitam itu dari hanger kemudian menyahut, "Males ah. Kalau sama Cece, komentarnya setengah jam sendiri. Udah gitu harus nyoba-nyoba baju lain sampai dapat yang kualitas sama harga yang klop."Celine mencebikkan bibir. Sudah hapal sekali pada kalimat balasan Gama tiap kali diajak mencari pakaian baru. Dia menjita
20.05 “May, sumpah, gue sama Pak Dalvin beneran nggak ada hubungan.” Bibir Biya sudah lelah dan sekarang dia mempertanyakan ‘berapa kali gue harus ngejelasin ke Maya?’. Biya sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengolah kata-kata agar Maya percaya, tapi ujungnya Maya mengatakan jika Biya tengah berbohong. Buat apa berbohong mengenai hubungannya dengan Dalvin? Dia memiliki hubungan dengan beliau saja tidak! “Aduh, pokoknya kalau kalian backstreet tenang aja,” Maya mengibas-ngibaskan tangan centil seolah enggan menerima penjelasan lebih jauh dan memilih tutup telinga. Dia mengudarakan tawa kecil penuh jenaka yang sukses membuat Biya mendesah lelah. Maya sungguh terlihat seperti ibu-ibu yang senang sekali menggosip di kompleks perumahan. “Pokoknya gue bakal jaga rahasia kalian. Nggak papa. Terusin aja. Gue dukung. Tapi, Pak Dalvin judesin lo tuh gegara kalian lagi bertengkar ya?” “Sudah dibilang gue sama Pak Dalvin tuh nggak ada hubungan apa-apa..” “Duh, iya, iya,” Maya kembali mengu
1 Februari 201906.25[Gama: Ce Biya, semoga hari ini baik ya buat lo][Biya: Thankyou. Lo juga ya :)]"Lo tumben deh bawa bekal ke kantor?" ketika bersiap berangkat ke kantor, Maya melirik ke arah kotak bekal berwarna biru muda yang tutupnya berbahan plastik tembus pandang yang ada di atas meja makan. Nasi goreng. Maya sering mengkonsumsi masakan Biya dan dia tak perlu meragukan seenak apa rasanya.Hanya saja yang Maya pertanyakan adalah 'tumben sekali?'. Biya bukan tipe orang yang suka membawa bekal, kecuali jika dia benar-benar ingin berhemat. 'Apa keuangan Biya lagi agak sulit ya?' Maya menyipitkan matanya curiga bercampur penasaran sebelum akhirnya memperoleh jawaban ngawur dan bertanya, "Semalam lo abis teleponan sama Gama. Jangan-jangan ini lo bawain buat dia, ya?!"Biya merapikan rambut hitam legamnya dan sesekali mencuri pandang ke arah Maya yang kelihatan menanti jawaban. Biya tahu bahwa dia tidak mungkin memberi jawaban jujur, jadi dia memilih sok sibuk mengenakan kaus kaki
18.15"Kok baru pulang? Selama ini kamu tinggal di mana?"Pertanyaan dari Raras menghujani Dalvin yang baru saja menginjakkan kaki di rumah setelah berminggu-minggu tidur di hotel murah. Rahang Dalvin mengeras seiring dengan langkahnya yang kian dalam ke rumah. Dia enggan bicara dan menatap Ibunya sendiri akibat kejadian memalukan di hari itu."Dalvin!" Raras kembali memanggil. Suaranya menyakiti gendang telinga sang pemilik nama. "Mama lagi bicara sama kamu. Lihat Mama kalau lagi bicara!""Males, Mama pasti ujungnya bahas nikah lagi."Dalvin berlalu masuk ke kamar, berniat mengemas seluruh pakaian serta barang-barang yang dirasa butuh--memasukkannya ke dalam tas jinjing besar berwarna abu-abu. Dalvin telah menemukan tempat tinggal yang sesuai walau memang tak terlalu besar. Dalvin ingin segera pergi dari rumah, karena tidak mau lagi mendengar paksaan dari Raras yang sungguh mengganggu."Kamu mau ke mana bawa baju-baju kamu?" suara Raras kian meninggi. Terdengar benar-benar marah pada
2 Januari 201907.45"Pak, ini ... "Biya mencoba tidak menunjukkan emosi berlebihan di depan Dalvin ketika menyerahkan kotak bekal berwarna hijau muda pagi ini. Biya juga mencoba tetap menjaga kontak mata supaya tak terlihat gugup walau tak sepenuhnya berhasil. Pagi ini, mereka bertemu di depan tangga darurat lantai enam yang sangat sepi. Dan sesuai dengan permintaan Dalvin kemarin, Biya memasak beberapa nugget dan memberi nasi putih cukup banyak."Nugget?" tanya Dalvin memastikan saat menunduk. Matanya mengamati kotak bekal yang tutupnya berbahan plastik namun tidak tembus pandang sehingga Dalvin tidak bisa melihat langsung isinya. Dalvin memperoleh satu anggukan tegas dari Biya. Dalvin jelas tidak percaya begitu saja dan malah bertanya, "Isinya bukan kondom sama nasi, kan?"Biya hampir tersedak oleh air ludah sendiri saat Dalvin melempar tatapan curiga bercampur meremehkan. Biya menggelengkan kepala kuat, wajahnya memerah, dan pelan-pelan dia menundukkan kepala karena tidak sanggup
18.45Seumur hidup, Dalvin tidak pernah membayangkan ikut pergi mendadak bersama 'pasangan' yang memaksanya ikut pergi nonton bioskop. Dalvin sudah mengatakan kalau dia hendak pulang dan ingin makan malam, tapi lelaki itu--Gama--mengajak dengan senyum sok bersahabat di mata Dalvin. Apalagi Biya ikut menimpali, "Ayo, ikut aja, Pak. Lagian tiketnya sisa satu. Maya juga nggak bisa pergi. Sayang tiketnya."Dalvin menghela napas panjang saat melangkahkan kaki turun dari mobil Gama. Sepanjang perjalanan ke mall tadi, keadaan sangat canggung, karena Biya duduk di belakang di saat Dalvin duduk di depan bersama Gama yang mengemudi. Gama dan Dalvin bagaikan dua sejoli yang tengah bertengkar lalu belum berbaikan akibat gengsi.Dalvin jadi bersyukur, karena dia mampir ke apartemen Biya menggunakan pakaian layak. Tadi, Dalvin hampir berangkat hanya menggunakan hoodie, celana pendek, dan sandal jepit saja. Dalvin beruntung, karena berangkat menggunakan baju hitam polos serta celana jeans berwarna s
18.15"Ce, makasih ya tadi sudah nemenin ke Sephora. Mau popcorn, nggak? Gue traktir."Aku mendongakkan kepala; menatap papan menu bioskop yang dihiasi berbagai jenis camilan, makanan, dan juga minuman. Aroma gurih dan manis menyeruak memasuki hidung--sukses membuat perutku tergugah. Gama berdiri di sampingku, berbincang dengan perempuan penjaga kasir yang tampak terpesona akan penampilannya. Sedangkan Pak Dalvin? Dia sibuk sendiri memainkan ponsel di belakang kami seolah menunjukkan bahwa dia enggan diajak bicara."Popcorn ukuran gede gimana? Dibagi bertiga?" tanyaku menawarkan sembari menatap matanya yang jernih. Aku ikut tersenyum saat melihat senyum manisnya. "Gue bisa split bill sama lo, soalnya harganya juga lumayan. Gue juga ke sini numpang sama lo.""No, this my treat. Nggak papa."Tapi, sebelum benar-benar membeli popcorn ukuran besar, aku ingin memastikan dulu pada Pak Dalvin. Takutnya dia tidak mau makan popcorn. Iya, kan? Alhasil, aku meminta waktu sebentar pada penjaga k