8 Februari 201907.59[Airin Callista: Lo sampai kapan mau pundung? Dicariin sama Tante Raras tau. Gitu-gitu mereka orang tua lo. Gue juga sudah minta maaf bolak-balik, tapi cuma lo baca doang....][Airin Callista: Lo juga pake nitip hadiah lewat Biya segala. Gue minta maaf banget soalnya bikin lo malu. Salah gue ga ketuk pintu pas itu. Lo pulang dong, kasihan Tante Raras sama Om Adam. Gue harus apa biar lo mau maafin gue? Mau gue kayang di depan monas?]Dalvin lagi-lagi hanya mendiamkan pesan dari Airin yang menghiasi layar ponsel. Dalvin terlalu malas menghadapi mereka, terutama Raras, yang pasti akan mengomel tanpa henti serta mempermalukan dirinya di depan orang-orang. Dalvin sudah terlalu nyaman tinggal seorang diri setelah pergi dari rumah. Ditambah lagi, dia telah menemukan rumah yang harganya sesuai serta pas dengan tabungannya saat ini.Dalvin menghela napas panjang saat meletakkan ponsel di atas meja kerja dan melirik ke arah bawah--ada kotak bekal lagi, yang entah apa isiny
9 Februari 201916.30[Gama: Ce Biya, Pak Dalvin gapapa? Gue baru denger dari Dimas, katanya si bos lo jatuh keras banget gegara kepeleset air di lantai satu][Biya: Nggak papa kok. Pak Dalvin cuma malu aja sampe harus dibantu digotong gitu masuk ke mobil sama satpam]Sedetik setelah membalas pesan dari Gama, nama si lelaki langsung menghiasi layar ponsel Biya. Biya menggeser tombol berwarna hijau; menerima panggilan telepon dari Gama merupakan suatu hal yang sudah biasa untuknya sekarang. Gama rajin sekali menanyakan kabar serta keadaan, sampai tiap ada masalah, Biya otomatis teringat pada Gama untuk bercerita.["Lo serius dia digotong?"] sangat kentara jika Gama tengah menahan tawa dari suaranya. Gama melanjutkan, ["Pas itu lo ada di lokasi, nggak, sih? Dimas ngomong gitu juga ke gue."]Biya mengudarakan tawa setelah mendengar suara Gama. Dia bisa membayangkan jelas bagaimana wajah lelaki itu sekarang. Biya mengangguk-anggukkan kepala meski tahu Gama tak bisa melihatnya melalui samb
"Lo sampai kapan mau menghindari Airin? Malam ini, ayo ketemu di mekdi mumpung dia lagi ngidam makan itu."Akibat kesialan yang selalu menimpa, Dalvin takut bertemu dengan semua orang. Dia terlalu malu untuk sekadar bernapas atau berdiri tegak di tempat-membuat semua hal terasa memuakkan seolah segala hal yang ada di dunia menyebabkan kemarahan luar biasa.Termasuk saat ini.Kenapa juga Dalvin mau menemui mereka? Dalvin masih belum bisa menatap Airin meski sebulan telah lewat. Kejadian hari itu sungguh menyesakkan, karena Dalvin jadi sulit tidur akibat rasa malu yang kelewat mendalam. Tak apa apabila terciduk menyanyi atau menari, tapi masturbasi? Siapa pun jelas pasti malu tujuh turunan!Di ambang pintu berbahan kaca yang bisa langsung melihat ke arah dalam resto, Dalvin memandang Airin dan Arsen yang terlihat sudah menunggu; mereka duduk di meja bagian tengah di saat meja lain sudah terisi oleh orang lain. Jemarinya menggenggam erat gagang pintu kala dia masih bergelut dengan pikira
11 Februari 2019"Lo tadi kenapa sampai dibentak Dalvin gitu? Ada salah apa ke dia?"Aku ingat malam Minggu kemarin, Kak Arsen menyerang dengan berbagai macam pertanyaan akibat ulah Pak Dalvin yang membentakku di depan umum. Waktu itu suara Pak Dalvin memang terdengar jelas sampai ke dalam resto--semua mata memandangi kami dengan sorot penasaran, bingung, dan juga menatapku geli--karena, aku terlihat seperti perempuan yang baru saja ketahuan selingkuh. Kak Arsen menarikku ke tempat parkir untuk menjelaskan semuanya. Aku jelas langsung berdalih mengenai masalah pekerjaan. Tapi, Kak Arsen jelas tidak percaya. Dia masih terus bertanya dan untungnya Gama melindungiku. Dia menarikku ke belakang; aku bersembunyi di balik punggungnya saat dia berkata, "Ko, maaf, Ce Biya belum makan. Kami rencananya ke sini buat makan, tapi kayaknya bakal pindah--""Lah, lo berondong?"Baik Gama maupun aku sama-sama terlalu shock sesudah mendengar pertanyaan Kak Arsen. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Gama
17.55"Loh, May, lo mau ke mana?"Pulang kerja, aku nyaris mendapatkan serangan jantung usai melihat Maya yang tampak sangat rapi dengan kemeja putih yang dipadukan celana jeans panjang berwarna biru muda. Ditambah lagi, Maya membawa satu koper kecil berwarna hitam seolah menunjukkan bahwa dia akan pergi selama seminggu lebih. Maksudku, dia sudah seperti mempersiapkan hal ini sejak lama sekali dan tidak memberitahuku.Bagaimana caranya aku bisa tinggal sendirian di apartemen studio sebesar ini sampai hari Jumat nanti? Aku tidak mungkin pulang ke rumah. Jarak rumah ke kantor sangat jauh--bisa satu setengah jam sendiri dan itupun kalau tidak macet. Aku berlari menghampiri Maya lalu menggenggam tangannya erat-erat; menunjukkan kalau aku tidak mau dia pergi."Gue mau balik ke Malang sampe hari Sabtu," 'Tuh, kan, seminggu!' Aku menggelengkan kepala. "Maya, gimana caranya gue tidur kalau cuma sendirian di sini?""Eh, tapi bukannya gue udah ngasih tahu lo ya kalau gue minggu lalu udah ke ba
13 Februari 2019Hari ini, Biya dikejutkan oleh Gama yang tiba-tiba datang ke kantor tanpa memberi kabar. Biya tidak keberatan sama sekali. Gama datang tepat saat jam makan siang berlangsung dan Biya tengah malas makan akibat tak ada Maya. Jika Maya tidak masuk kantor, biasanya Biya sudah membawa roti selai cokelat yang dibuat sebelum berangkat namun berakhir tidak dimakan sampai malam menjelang.Di lobby kantor, Biya menemui Gama yang sudah menunggu selama lima menit. Mereka saling sapa--padahal kemarin malam baru bertemu untuk makan bersama, tapi siang ini sudah bertemu lagi--aduh."Ce Celine baru pulang dari Bali. Bawain pie susu. Gue langsung kepikiran sama lo," ucap si lelaki ketika menyerahkan kantong plastik berisi satu kotak pie susu rasa original. Tak hanya pie susu, tapi juga gantungan kunci kura-kura yang sangat lucu apabila dipakaikan di tas. Senyum lebar tak kunjung pudar dari bibir Gama ketika melihat mata Biya yang berbinar. "Ce Celine bilang ke gue, katanya kalau lo mau
a/n: terima kasih untuk yang sudah membaca sampai sejauh ini
14 Februari 201905.55Getaran kencang ponsel di bawah bantal membangunkan Biya dari tidur nyenyak. Biya mengerang panjang selagi merogoh benda elektronik itu dan melihat nama Maya tertera di layar. Biya berniat membalikkan badan untuk tengkurap di atas ranjang ketika menerima panggilan telepon dari Maya, tapi dadanya yang tak ditutupi apapun mengakibatkan puting Biya menggesek permukaan selimut."Aduh!" Biya mengeluh usai merasakan perih di bagian puting serta kedua kaki yang terasa sangat kebas. Biya kembali mengerang; menandakan bahwa dia sangat tersiksa karena keadaan tubuhnya sekarang.["Kenapa lo 'aduh-aduh' gitu?"] suara galak Maya menyapa gendang telinga. Mendengar Biya mengeluh kesakitan seperti itu jelas membuatnya curiga. Apalagi dari kemarin malam, Biya mengabaikan seluruh pesan yang Maya kirim. Maya kemudian mengutarakan tuduhannya saat Biya meringkuk di bawah selimut--menutupi bagian puting agar tak terkena permukaan kain lagi.["Lo nggak bawa cowok kan ke apart?!"] Maya
Lima tahun kemudian.Biya beberapa kali melakukan switch career, dari staff purchasing, copywriter, hingga akhirnya memilih menjadi virtual assistant yang bisa bekerja secara remote di mana saja. Biya masih berusaha menjadi orang yang lebih baik setelah insiden beberapa tahun lalu. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun tidak ada yang cocok secara emosional. Semakin hari, Biya sendiri semakin menghindari lawan jenis karena merasa semuanya berujung sia-sia—tidak ada yang jadi, katanya.Biya sudah putus hubungan dengan Maya. Beberapa kali Biya melihat sosial media sang mantan sahabat melalui akun lain. Maya tampak bahagia dan baik-baik saja. Sudah menikah; pindah ke luar negeri mengikuti suami yang merupakan orang Australia. Biya ingin mengirimkan pesan, tapi takut Maya mengabaikan atau mungkin malah belum memaafkan.“Ce, kabarnya gimana?” Biya mendongakkan kepala ketika melihat Odilia, salah satu teman yang diperoleh melalui komunitas virtual assistant di media sosial. Mereka serin
“Mbak Biya, sudah lama nggak ketemu. Mau ambil barang-barang di lantai atas, ya?”Sesuai ucapannya kemarin, Biya pergi ke perusahaan untuk mengambil barang-barang di mejanya pada sore hari. Biya terkejut, karena security yang dikenalnya tahu bahwa dia resign. Biya menganggukkan kepala, mengucapkan salam, sebelum beranjak ke tempat kerjanya yang ada di lantai lima.Perusahaan sudah sepi, hanya ada beberapa office boy dan office girl yang masih bekerja. Biya bersyukur, karena dia tidak perlu menemui rekan rekan kerja yang pasti akan kepo luar biasa mengenai setelah ini akan bekerja di mana, kabar setelah sembuh dari tipes, dan lain lain. Biya menarik napas dalam ketika sampai di lantai lima dan masuk ke ruang departemennya.Biya tak menemukan siapa pun selain Dalvin yang masih duduk di kursinya—memeriksa kembali laporan keuangan pada layar komputer. Dalvin menoleh ke arah Biya, tak terlihat kaget, dan kembali fokus pada layar komputer.“Ambil barang?” Dalvin bertanya tanpa melihat Biya
[“Besok lo mau ambil barang-barang dari tempat kerja lo?”]Malam ini Biya dihubungi oleh Arsen yang tadi sempat menceritakan perjalanan selama berbulan madu di Bali. Tadi, Biya juga sempat berbincang sebentar dengan Airin melalui sambungan telepon. Biya senang, karena mereka bisa menikmati liburan selama seminggu dalam memulai perjalanan pernikahan yang akan dibina selama beberapa tahun ke depan.“Iya, besok mau gue ambil sendirian. Sebenarnya Ayah nawarin buat bantu, tapi gue tolak soalnya nggak mau ngerepotin,” Biya menjelaskan sambil mengambil tas kain yang biasanya digunakan untuk belanja, kunci sepeda motor serta mengenakan jaketnya yang berwarna hijau sage. Hendak pergi ke supermarket sebentar untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis di rumah. “Gue besok rencana mau datang sore aja setelah semua orang pulang, biar nggak usah drama di tempat kerja orang gue juga cuma mau ambil barang.”[“Ohh, haha,”] Arsen sempat mengudarakan tawa pelan, karena pikirannya langsung tertuj
Butuh waktu hampir dua minggu bagi Biya untuk pulih dari tipes dan benar-benar diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Proses pemulihannya lama, sebab Biya tak kooperatif—enggan makan dan minum obat—baru dikonsumsi apabila dipaksa oleh ayah atau Arsen yang bergantian berjaga. Keluar dari rumah sakit pun, kondisi fisiknya masih lemah.Biya sudah dinyatakan resign oleh HRD perusahaan dan diminta segera mengambil barang-barangnya. Biya menghela napas pelan, tidak menyangka jika dia jatuh sakit sampai melewati tanggal resign. Perempuan itu menatap langit-langit kamar ketika merebahkan diri; memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini, karena belum menemukan tempat kerja yang pas di hati. Biya pun memikirkan semua orang yang selama ini berputar di sekitarnya—terutama Gama dan Maya, yang mendadak keluar dari kehidupannya.[“Gue sudah dengar semuanya dari kakak lo. Gue nggak akan balik dulu, jadi gue belum bisa jengukin lo. Gue bakal stay di sini sampai mama gue sembuh. Goodluck and get
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket