a/n: terima kasih untuk yang sudah membaca sampai sejauh ini
14 Februari 201905.55Getaran kencang ponsel di bawah bantal membangunkan Biya dari tidur nyenyak. Biya mengerang panjang selagi merogoh benda elektronik itu dan melihat nama Maya tertera di layar. Biya berniat membalikkan badan untuk tengkurap di atas ranjang ketika menerima panggilan telepon dari Maya, tapi dadanya yang tak ditutupi apapun mengakibatkan puting Biya menggesek permukaan selimut."Aduh!" Biya mengeluh usai merasakan perih di bagian puting serta kedua kaki yang terasa sangat kebas. Biya kembali mengerang; menandakan bahwa dia sangat tersiksa karena keadaan tubuhnya sekarang.["Kenapa lo 'aduh-aduh' gitu?"] suara galak Maya menyapa gendang telinga. Mendengar Biya mengeluh kesakitan seperti itu jelas membuatnya curiga. Apalagi dari kemarin malam, Biya mengabaikan seluruh pesan yang Maya kirim. Maya kemudian mengutarakan tuduhannya saat Biya meringkuk di bawah selimut--menutupi bagian puting agar tak terkena permukaan kain lagi.["Lo nggak bawa cowok kan ke apart?!"] Maya
«WARNING»***06.35Biya masih tercengang saat melihat tiga bungkus kondom bekas berisikan cairan putih kental berada di tempat sampah kamarnya. Biya juga sesekali melirik ke arah ranjang yang sangat berantakan, yang sepreinya basah akibat squirt semalam. Biya memijat kening yang mendadak terasa sakit; sudah terlalu terlambat untuk disebut penyesalan. Hal seperti ini lebih pantas disebut sebagai kebodohan akibat tidak pikir panjang sebelum melakukan sesuatu.Ponsel masih berada dalam genggaman tangan. Mata Biya menatap ke arah layar, melihat pesan masuk dari Dalvin yang sudah dia baca namun belum dia balas. Biya masih bingung harus membalas apa, karena malam ini juga sebenarnya sudah ada janji dengan Gama untuk nonton bioskop berdua. 'Tapi, kalau nanti Pak Dalvin nagih atau maksa gimana?' Biya mendudukkan diri di atas ranjang. Matanya terpejam lelah--mengutuk kebodohan yang semalam dilakukan. 'Ini gimana cara laundy seprei ranjangnya? Ma
14 Februari 201907.22Biya melangkah keluar dari apartemen usai selesai mandi dan berdandan senormal mungkin seolah kemarin malam tak ada peristiwa apapun dengan sang atasan. Biya meringis akibat putingnya yang masih terasa perih, padahal tadi sudah diganjal menggunakan kapas lembut saat mengenakan bra. Perempuan itu berulang kali melirik ke arah layar ponsel untuk memastikan apakah driver online yang dipesan telah tiba.Biya jelas tidak bisa mengendarai sepeda motor seorang diri. Takut dirinya jatuh di jalan akibat kedua kaki yang masih terasa kebas dan lemas. Berjalan menuju lift saja sudah seperti lari maraton seribu kilometer, apalagi kalau naik sepeda motor, kan?Saat masuk ke lift, Biya bertemu dengan salah satu perempuan penghuni apartemen kamar sebelah. Mereka saling sapa. Mereka berdiri berdampingan selagi lift melaju turun ke lantai satu. Tapi, tiba-tiba perempuan yang bekerja sebagai desain grafis di salah satu perusahaan ternama bernama Sasmita itu, mengatakan teguran yan
13.45"Ce Biya?"Gendang telingaku disapa oleh suara Gama serta pintu yang terbuka. Gama menyibak tirai; senyum tipis terlukis di bibirnya begitu kontak mata tercipta. Gama membantuku mendudukkan diri di atas ranjang lalu memakaikan jaket hitam kebesaran pada tubuhku."Ini jaketnya siapa?" tanyaku pelan ketika perlahan aroma citrus bercampur sedikit aroma bayi yang manis menyeruak memasuki indra penciuman. Gama menepuk-nepuk punggungku lembut sembari menjawab, "Jaket gue. Takutnya lo kedinginan atau apa gitu."Aku jadi ingat jelas sewaktu di bioskop dia menarikku ke belakang--melindungiku dari Pak Dalvin yang marah-marah kala aku menawarkan popcorn. Aroma Gama manis sekali, seperti anak kecil yang baru mandi dan diberi bedak oleh sang ibu. Aku membenamkan hidung pada jaketnya guna menghirup aroma itu lebih lama."Kenapa?" Gama bertanya penasaran sekaligus panik. Mungkin, dia berpikir jika bau jaketnya tidak enak. Aku menggeleng. "Baunya enak. Bau bayi.""Oalah, kirain kenapa," dia ber
16.05["Heh, lo tuh dari jam berapa nganggurin chat gue?"] suara Maya sukses membuat telingaku berdengung akibat nada tingginya. Aku menjauhkan ponsel beberapa senti guna menjaga diri agar gendangku tidak pecah. ["Gue khawatir banget sama lo. Lo kenapa sampai pingsan gitu?"]Bukankah berbohong merupakan suatu kesalahan besar? Aku tidak ingin berbohong pada Maya, tapi aku juga tidak mungkin menceritakan semuanya secara jujur. Jika Maya tahu, dia pasti akan marah besar karena tidak menurut--karena aku telah membawa Pak Dalvin masuk ke apartemen kami. Akhirnya, aku memilih berbohong untuk kali kedua."Maaf, tadi gue mau bales chat lo tapi kelupaan. Sekarang baru ingat lagi," jawabku sembari meraih handuk untuk mengeringkan rambut yang basah setelah mandi. Aku mendudukkan diri di sofa, menyalakan televisi, lalu mengambil jaket Gama karena ingin menghirup aromanya yang menggemaskan. "Gue nggak papa kok. Kayanya tadi pingsan gara-gara mendekati hari datang bulan. Badan gue memang lemas dari
«warning»***18.05[Pak Dalvin: Biya, saya udah di depan.]Aku tidak menyangka Pak Dalvin benar-benar menjemputku jam enam. Aku bersyukur, karena tadi sudah mengemas satu pakaian ganti untuk besok pagi, karena tidak mungkin kan jika Pak Dalvin mengantarku pulang malam-malam kembali kemari? Sebelum turun, aku memastikan jika seluruh barang di dalam tas jinjingku sudah lengkap, termasuk pembalut.Di lobby, mataku langsung menangkap sosok Pak Dalvin yang berdiri menungguku. Aku ingin berjalan cepat, sungguh, tapi kedua kakiku tidak bisa diajak kerja sama karena lebih terasa kebas dan kram daripada tadi pagi saat jatuh. Alhasil, jalanku sedikit tertatih sampai Pak Dalvin menatapku keheranan."Kamu kenapa?" tanyanya sambil memapahku untuk tetap berjalan ke mobilnya yang diparkir di luar pintu gerbang apartemen. Aku cemberut dan menyahut, "Ya Bapak yang bikin saya gini. Kok masih nanya aja.""Kamu juga semalam keenakan, makanya saya nggak berhenti-berhenti."Mendengarnya terkekeh membuatku
Recommended song: Rendevouz at Two - Closer to U***21.20Setelah selesai bercinta--yang untungnya benar-benar hanya satu ronde--kini tubuhku berada dalam rengkuhan hangat Pak Dalvin. Malam ini hujan mengguyur tanah ibu kota, menyebabkan suasana dingin yang memang cocok dibarengi dengan cuddle di atas ranjang seperti ini. Aku membenamkan wajah pada celuk leher Pak Dalvin--tak menemukan aroma white musk di sana, tapi yang kutemukan malah aroma sabun dan sampo berbau wangi nan segar.Kami telanjang. Kata Pak Dalvin, tidak perlu menggunakan baju ketika sedang cuddle, karena lebih menyenangkan cuddle skin to skin. "Biya?" Pak Dalvin memanggil ragu-ragu saat jemarinya menyisir rambutku. Aku memperluas jarak kemudian mendongak agar bisa menatap wajahnya. Tangan Pak Dalvin sekarang beralih turun ke punggung telanjangku; jari-jarinya mengusap daerah tersebut sampai tubuhku merinding akibat kegelian."Apa, Pak?" tanyaku kala mata kami bertemu dalam kesunyian kamar. Suara guyuran hujan menamb