Recommended song: Rendevouz at Two - Closer to U***21.20Setelah selesai bercinta--yang untungnya benar-benar hanya satu ronde--kini tubuhku berada dalam rengkuhan hangat Pak Dalvin. Malam ini hujan mengguyur tanah ibu kota, menyebabkan suasana dingin yang memang cocok dibarengi dengan cuddle di atas ranjang seperti ini. Aku membenamkan wajah pada celuk leher Pak Dalvin--tak menemukan aroma white musk di sana, tapi yang kutemukan malah aroma sabun dan sampo berbau wangi nan segar.Kami telanjang. Kata Pak Dalvin, tidak perlu menggunakan baju ketika sedang cuddle, karena lebih menyenangkan cuddle skin to skin. "Biya?" Pak Dalvin memanggil ragu-ragu saat jemarinya menyisir rambutku. Aku memperluas jarak kemudian mendongak agar bisa menatap wajahnya. Tangan Pak Dalvin sekarang beralih turun ke punggung telanjangku; jari-jarinya mengusap daerah tersebut sampai tubuhku merinding akibat kegelian."Apa, Pak?" tanyaku kala mata kami bertemu dalam kesunyian kamar. Suara guyuran hujan menamb
"Everything starts with a little crush and ends with a lot of tears." - bookofteenager***14 Februari 201916.49"Mama, aku boleh minta tolong?" tadi siang usai mengantar Biya pulang ke apartemen, Gama langsung menghubungi perempuan paruh baya yang telah melahirkannya ke dunia. Di depan pintu lobby, Gama memasang senyum lebar saat Mama menyahut, ["Mau minta tolong apa?"]"Mama buat makan malam masak apa? Chinese food, kan, ya?" Gama menutup separuh wajah menggunakan satu tangan. Takut dikira sinting oleh para satpam serta calon pelamar kerja yang lewat karena senyum-senyum sendiri. Usai mendengar Mama meng-iyakan, Gama pun melanjutkan, "Aku mau minta tolong ini ... bisa tolong masukin makanannya ke kotak bekal? Aku mau kasih ke Ce Biya, soalnya Ce Biya lagi sakit."Si lawan bicara terkesiap, karena tidak menduga jika hari seperti ini akan tiba. Sejak dulu, Mama sudah menantikan saat Gama mengenalkan satu perempuan--ya, walaupun belum dikenalkan secara langsung dengan diajak ke rumah,
16 Februari 2019Usai pulang dari Malang, Maya tancap gas pergi ke apartemen untuk mengisi waktu luang dengan beristirahat sebanyak mungkin sebelum nanti malam menghadiri pesta pernikahan Hana. Di lobby, Maya memindai kartu aksesnya agar pintu masuk bisa terbuka dan di sana dia menyapa Pak Ahmad lalu berpamitan pergi ke lantai atas.Maya menggunakan lift dan berhenti di lantai yang dia tuju. Tapi, langkah perempuan itu terhenti ketika mendapati kantong plastik bening yang menggantung pada gagang pintu kamar apartemennya. Maya teringat lusa lalu Gama menghubungi, karena hendak memberikan masakan sang ibu pada Biya.'Masa nggak diambil dan dimakan, sih?' Kedua alis Maya bertaut penuh kebingungan. Dia memandang kantong plastik itu lama sekali. 'Biya jahat banget kalau ini gak dimakan. Sumpah. Apalagi ini masakan Mamanya Gama.'Maya tahu, Biya tidak mungkin pulang ke rumah, karena Arsen juga sempat menghubungi; lelaki itu menanyakan, “Emangnya bener dia ada kerjaan kantor sampai nggak bis
17.45[Gama: Ce Biya, gimana kabarnya? Sudah sehat? Gue hari ini datang ke nikahannya mbak hana. Mau berangkat bareng? Gue jemput. Ajak Ce Maya juga biar sekalian bareng][Gama: Gue jemput jam setengah enam ya?]Biya sebenarnya bisa berangkat sendiri, tapi jika ditawari mana bisa menolak? Memang terkesan tidak tahu diri, namun Biya juga sekalian ingin mengutarakan ucapan maaf pada Gama. Di luar lobby, perempuan itu tampak cantik dengan balutan dress batik selutut dan berlengan panjang berwarna cokelat muda. Rambut sengaja digerai, karena sedang enggan menata rambut. Biya menggenggam tas kecil berisikan lipstik, dompet, dan juga ponsel.“Ce Biya,” suara Gama menyapa gendang telinga dan Biya otomatis menoleh. Mendapati Gama tampak rapi serta menawan kala mengenakan kemeja batik serta celana kain berwarna hitam. “Ce Maya mana? Nggak ikut?”“O-oh, Maya mau berangkat sendiri aja katanya.” Dia jelas berdusta. Maya masih belum mau bicara dan mengabaikan Biya ketika diajak bicara. Gama menger
Dalvin sempat dengar dari para pegawai lain jika Hana akan resign dalam waktu dekat, karena perempuan itu akan ikut sang suami pindah ke luar negeri akibat masalah pekerjaan. Dalvin tidak heran juga sih jika Hana seberani itu, sebab acara pernikahan saja diadakan di hotel bintang lima yang Dalvin yakini biayanya sangat mahal.Usai memarkirkan mobilnya, Dalvin masuk ke dalam hotel dan menuju ke lantai sembilan menggunakan lift. Sesampainya di sana, aroma serta pemandangan khas ruangan orang kaya sungguh menampar Dalvin. Di ruangan itu, terdapat meja panjang yang dipenuhi oleh tiga bridesmaid serta enam bridesmaid lain yang berada di depan pintu masuk ballroom hotel."Pak Dalvin, datang sendirian?" pertanyaan itu dibarengi oleh tepukan pelan pada punggung. Dalvin menoleh dan nyaris mengumpat ketika pertanyaan sensitif itu menerjang. Tapi, dia tetap berusaha menunjukkan senyum ramah kala melihat Evan—pegawai di bagian departemen marketing—dia memang terkenal sok akrab sampai temannya ada
Dari semua tempat duduk yang telah disediakan, kenapa Biya harus duduk di samping Dalvin? Apakah para bridesmaid yang menuntun para tamu ke dalam ballroom tidak melihat betapa tegangnya suasana saat menuliskan kehadiran di buku tamu undangan? Apakah mereka sengaja agar ada keributan sehingga bisa menjadi bahan gosip satu Indonesia? Semua pikiran itu meledak-ledak dalam pikiran Biya, yang detik itu baru saja menjatuhkan pantatnya di atas kursi--tepat di samping Dalvin.Biasanya, ketika datang ke pesta pernikahan orang, Biya akan terlebih dahulu mengevaluasi serta mengagumi dekorasi tempat tersebut. Namun, kali ini Biya terlalu sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri di saat dekorasi ballroom hotel sungguh megah, indah, dan menyegarkan mata.Biasanya, ketika datang ke pesta pernikahan orang, Biya akan terlebih dahulu mengevaluasi serta mengagumi dekorasi tempat tersebut. Namun, kali ini Biya terlalu sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri di saat dekorasi ballroom hotel sungguh megah,
21.35Pesta pernikahan telah selesai.Dalvin hendak langsung pulang ke rumah untuk beristirahat, karena besok dia harus bekerja banting tulang dari pagi hingga sore. Sayang, tubuh dan otaknya tidak mau diajak kerja sama akibat sensasi membakar di dada. Bagaimana bisa Biya berpura-pura tidak mengenal sepanjang sesi pernikahan Hana dilaksanakan?Perempuan itu hanya bicara serta tertawa bersama Gama. Sedangkan Dalvin? Diacuhkan. Bicara seperlunya saja—menunjukkan seolah mereka tidak pernah melakukan sebuah dosa di atas ranjang atau tempat-tempat lain.“Ce Biya, mau diantar pulang sekarang?”“Iya, eh, tapi gue ke kamar mandi dulu ya. Lo nunggu di lobby aja nggak papa kok.”&ld
21.55 Gama tidak bisa mengalihkan pandang dari ponsel barang sedetik. Biya hanya membaca pesan-pesan yang terkirim, tapi sama sekali tidak mengirimkan balasan apapun. Maya juga sudah membantu menelepon perempuan itu. Di lobby hotel, tamu-tamu hotel sudah beranjak pulang walau memang masih tersisa beberapa yang bercengkrama, tertawa, dan melepas rindu dengan keluarga. “Biya nggak jawab,” Maya bersuara di tengah keramaian lobby. Dia menatap Gama yang kelihatan cemas dan juga kebingungan. “Apa gue naik lagi ke lantai atas dan cek kamar mandinya ya?” Lelaki itu menggelengkan kepalanya pelan dan tangannya bersiap mencegah Maya. “No, no, kasihan lo mondar-mandir—” “Gama?” Ucapan Gama terpotong oleh suara perempuan dan disusul oleh sosok itu. Dia tampak menawan di balik balutan dress merah maroon pendek tanpa lengan dan rambut tergulung rapi ke atas. Menampilkan leher jenjang nan putih yang menyegarkan mata. “Joanna?” Gama bersuara tak percaya. Maya melirik Gama dan Joanna bergantian.
Lima tahun kemudian.Biya beberapa kali melakukan switch career, dari staff purchasing, copywriter, hingga akhirnya memilih menjadi virtual assistant yang bisa bekerja secara remote di mana saja. Biya masih berusaha menjadi orang yang lebih baik setelah insiden beberapa tahun lalu. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun tidak ada yang cocok secara emosional. Semakin hari, Biya sendiri semakin menghindari lawan jenis karena merasa semuanya berujung sia-sia—tidak ada yang jadi, katanya.Biya sudah putus hubungan dengan Maya. Beberapa kali Biya melihat sosial media sang mantan sahabat melalui akun lain. Maya tampak bahagia dan baik-baik saja. Sudah menikah; pindah ke luar negeri mengikuti suami yang merupakan orang Australia. Biya ingin mengirimkan pesan, tapi takut Maya mengabaikan atau mungkin malah belum memaafkan.“Ce, kabarnya gimana?” Biya mendongakkan kepala ketika melihat Odilia, salah satu teman yang diperoleh melalui komunitas virtual assistant di media sosial. Mereka serin
“Mbak Biya, sudah lama nggak ketemu. Mau ambil barang-barang di lantai atas, ya?”Sesuai ucapannya kemarin, Biya pergi ke perusahaan untuk mengambil barang-barang di mejanya pada sore hari. Biya terkejut, karena security yang dikenalnya tahu bahwa dia resign. Biya menganggukkan kepala, mengucapkan salam, sebelum beranjak ke tempat kerjanya yang ada di lantai lima.Perusahaan sudah sepi, hanya ada beberapa office boy dan office girl yang masih bekerja. Biya bersyukur, karena dia tidak perlu menemui rekan rekan kerja yang pasti akan kepo luar biasa mengenai setelah ini akan bekerja di mana, kabar setelah sembuh dari tipes, dan lain lain. Biya menarik napas dalam ketika sampai di lantai lima dan masuk ke ruang departemennya.Biya tak menemukan siapa pun selain Dalvin yang masih duduk di kursinya—memeriksa kembali laporan keuangan pada layar komputer. Dalvin menoleh ke arah Biya, tak terlihat kaget, dan kembali fokus pada layar komputer.“Ambil barang?” Dalvin bertanya tanpa melihat Biya
[“Besok lo mau ambil barang-barang dari tempat kerja lo?”]Malam ini Biya dihubungi oleh Arsen yang tadi sempat menceritakan perjalanan selama berbulan madu di Bali. Tadi, Biya juga sempat berbincang sebentar dengan Airin melalui sambungan telepon. Biya senang, karena mereka bisa menikmati liburan selama seminggu dalam memulai perjalanan pernikahan yang akan dibina selama beberapa tahun ke depan.“Iya, besok mau gue ambil sendirian. Sebenarnya Ayah nawarin buat bantu, tapi gue tolak soalnya nggak mau ngerepotin,” Biya menjelaskan sambil mengambil tas kain yang biasanya digunakan untuk belanja, kunci sepeda motor serta mengenakan jaketnya yang berwarna hijau sage. Hendak pergi ke supermarket sebentar untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis di rumah. “Gue besok rencana mau datang sore aja setelah semua orang pulang, biar nggak usah drama di tempat kerja orang gue juga cuma mau ambil barang.”[“Ohh, haha,”] Arsen sempat mengudarakan tawa pelan, karena pikirannya langsung tertuj
Butuh waktu hampir dua minggu bagi Biya untuk pulih dari tipes dan benar-benar diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Proses pemulihannya lama, sebab Biya tak kooperatif—enggan makan dan minum obat—baru dikonsumsi apabila dipaksa oleh ayah atau Arsen yang bergantian berjaga. Keluar dari rumah sakit pun, kondisi fisiknya masih lemah.Biya sudah dinyatakan resign oleh HRD perusahaan dan diminta segera mengambil barang-barangnya. Biya menghela napas pelan, tidak menyangka jika dia jatuh sakit sampai melewati tanggal resign. Perempuan itu menatap langit-langit kamar ketika merebahkan diri; memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini, karena belum menemukan tempat kerja yang pas di hati. Biya pun memikirkan semua orang yang selama ini berputar di sekitarnya—terutama Gama dan Maya, yang mendadak keluar dari kehidupannya.[“Gue sudah dengar semuanya dari kakak lo. Gue nggak akan balik dulu, jadi gue belum bisa jengukin lo. Gue bakal stay di sini sampai mama gue sembuh. Goodluck and get
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket