20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se
17.10"Kok lo tumben hari Kamis pulang ke rumah?"Jam kerja telah berakhir, Biya langsung melesat ke rumah dan wajah pertama yang dia jumpai adalah wajah milik Arsen. Di balik pintu, lelaki itu hanya menggunakan boxer serta baju putih tipis di saat memijat pundaknya yang terasa pegal. Kelihatan persis seperti bapak-bapak anak satu yang kelelahan akibat dimarahi istri karena melempar baju sembarangan.Rambutnya pun berantakan. Berbanding terbalik dengan Biya yang masih tampak cukup rapi di balik pakaian kerjanya."Nggak papa, lagi pengen aja.." jawabnya. Berusaha tak menunjukkan bahwa dirinya lesu dan sedang tidak mood. Biya melangkah masuk ke dalam--mengedarkan pandang sebelum kembali menatap Arsen."Ayah mana?" Arsen langsung menjawab, "Masih mandi. Lo pulang cuma buat nemuin Ayah aja nih? Bukan buat nemuin gue?"Sejak Mama pergi, Biya tahu bagaimana hancurnya hati Ayah dan Kakaknya selama menjalani hidup. Biya tahu sebagaimana besar mereka menyayangi B
"Pak Dalvin nggak mau ke rumah sakit aja?"Dalvin sungguh tak nyaman. Situasi saat ini membuatnya ingin segera kabur dan pulang saja ke hotel. Pasalnya, setelah dipukul oleh Ethan, Dalvin langsung ditarik masuk ke rumah oleh Biya--dipaksa duduk di sofa ruang tamu lalu sekarang tiga orang mengamatinya lekat-lekat dengan sorot yang berbeda, ada yang: menatap khawatir, bingung bercampur penuh tanya, serta ingin bertanya dan membutuhkan jawaban sesegera mungkin."Saya baik-baik aja. Nggak perlu sampai ke rumah sakit segala," balas Dalvin tanpa mengangkat kepala. Menghindari kontak mata dengan semua anggota keluarga yang ada di hadapannya. Dia kelihatan canggung sekali, terutama saat mendadak Biya duduk di sampingnya."Saya beneran baik-baik aja," dia mengulangi sekali lagi. Mendorong Biya menjauh untuk menjaga jarak. "Malah harusnya mantan pacar kamu yang dibawa ke rumah sakit."Dalvin serius.Sejujurnya, Dalvin sama sekali tak menyentuh Ethan. Sedikit pun. Mala
29 Januari 2019Memangnya aku membawa sial ya untuk Pak Dalvin? Aku mencoba memahami sejak beberapa hari lalu setelah memilih tidak membalas pesan darinya lagi. Di kantor, aku menghindari kontak mata dengannya, karena takut membuat suasana hati Atasanku itu memburuk. Pak Dalvin baik pada semua orang, kecuali padaku dan itu sangat kentara sampai Maya selalu mempertanyakan kebenaran yang kusampaikan waktu itu."Are you okay?" Maya bertanya ketika kami duduk di kantin. Dia menikmati makan siang, sedangkan aku tidak. Bagaimana aku bisa menikmati semangkuk bakso kalau selama bekerja Pak Dalvin sejudes itu? Karyawan lain sampai mencuri pandang berulang kali ke arahku. "Lo sama Pak Dalvin pas itu beneran ketemu di jalan terus dia inisiatif anterin lo? Itu beneran apa bohongan? Soalnya pas itu gue lihat, dia marah banget ke lo sampai kaya pengen jeblosin ke penjara gitu. Terus dari kemarin juga jahat banget ke lo walaupun jahatnya ya enggak ngasih kerjaan setumpuk dan lewat tatapan mata sama
14 Mei 2015 14.30 Gama sudah lama sekali magang sejak masih menjadi mahasiswa di perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur tersebut. Gama bahkan sudah ditarik untuk menjadi salah satu anggota permanen di bagian Human Resource Development karena kinerja yang baik serta memadai. Tapi, karena Gama tak terlalu suka bekerja menjadi HRD tetap, mencari pengalaman lebih luas, serta masih ingin menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dia memutuskan untuk menjadi HRD panggilan tiap ada sesi perekrutan karyawan baru dan itu disetujui oleh kepala HRD. Tak hanya di perusahaan ini, tapi juga di beberapa perusahaan lain yang membutuhkan jasanya. Hari ini, ada sesi perekrutan karyawan baru—Gama telah meninjau semua berkas para pelamar sebelum wawancara berlangsung. Mata sipit lelaki dengan paras rupawan itu mengamati satu portofolio seorang perempuan yang tampak menarik. Kemudian, tiba saat perempuan itu masuk ke dalam ruangan, mengucapkan salam yang sangat sopan, lalu duduk tepat di
23 Agustus 2015Jari-jari panjang Gama bergerak menelusuri lemari, mencari setelan jas hitam yang biasanya dia kenakan untuk menghadiri acara pernikahan. Gama baru saja selesai mandi--rambut hitam legamnya masih basah--menyebabkan si Kakak Perempuannya mengomel begitu melangkah masuk ke dalam kamar."Rambut lo dikeringin dulu!" Celine memukul pelan punggung Gama. Perempuan bermata sipit yang memiliki kecantikan serta karisma kuat bak pemimpin itu mendengus sebal usai melihat Gama yang hanya nyengir. "Lo mau pakai jas itu lagi? Serius, deh, ayo lo kapan-kapan ikut gue ke toko baju buat cari setelan baru."Gama menggelengkan kepala cepat sembari tertawa lucu. Dia menanggalkan jas hitam itu dari hanger kemudian menyahut, "Males ah. Kalau sama Cece, komentarnya setengah jam sendiri. Udah gitu harus nyoba-nyoba baju lain sampai dapat yang kualitas sama harga yang klop."Celine mencebikkan bibir. Sudah hapal sekali pada kalimat balasan Gama tiap kali diajak mencari pakaian baru. Dia menjita
20.05 “May, sumpah, gue sama Pak Dalvin beneran nggak ada hubungan.” Bibir Biya sudah lelah dan sekarang dia mempertanyakan ‘berapa kali gue harus ngejelasin ke Maya?’. Biya sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengolah kata-kata agar Maya percaya, tapi ujungnya Maya mengatakan jika Biya tengah berbohong. Buat apa berbohong mengenai hubungannya dengan Dalvin? Dia memiliki hubungan dengan beliau saja tidak! “Aduh, pokoknya kalau kalian backstreet tenang aja,” Maya mengibas-ngibaskan tangan centil seolah enggan menerima penjelasan lebih jauh dan memilih tutup telinga. Dia mengudarakan tawa kecil penuh jenaka yang sukses membuat Biya mendesah lelah. Maya sungguh terlihat seperti ibu-ibu yang senang sekali menggosip di kompleks perumahan. “Pokoknya gue bakal jaga rahasia kalian. Nggak papa. Terusin aja. Gue dukung. Tapi, Pak Dalvin judesin lo tuh gegara kalian lagi bertengkar ya?” “Sudah dibilang gue sama Pak Dalvin tuh nggak ada hubungan apa-apa..” “Duh, iya, iya,” Maya kembali mengu