"Dalvin, ini udah ganti tahun loh ... kamu apa nggak mau ganti status juga?"
Sang pemilik nama paling enggan jika mendapat pertanyaan menyudutkan tersebut apalagi jika baru pulang bekerja. Masalah dengan Biya belum selesai dan sudah ada masalah baru dengan sosok Mama yang hampir setiap hari selalu mempertanyakan kapan Dalvin akan menikah.
Menjadi anak satu-satunya di keluarga bukanlah hal yang baik.
Dalvin berjalan ke arah dispenser sesudah mengambil gelas kosong dan menuangkan air. Di sana, dia menatap Mama yang sedari tadi mengikuti seraya menunjukkan pandang penuh harap. Berekspektasi Dalvin menjawab ‘iya’ lalu segera mengenalkan sosok menantu. Tapi, itu jelas ekspektasi yang mudah sekali dihancurkan oleh sang anak.
"Mau melajang aja." jawaban Dalvin sontak mengakibatkan Mama merespon panik. Mama memukul punggung Dalvin hingga sang empunya terjingkat dan mengaduh kesakitan. "'Melajang' gimana maksud kamu? Kamu mau jadi perjaka tua dan nggak memberi Mama cucu? Nggak kasihan sama Mama?!"
Mama—Raras, bersiap kembali mengomeli Dalvin tanpa henti, namun Dalvin sukses melarikan diri ke kamar. Inilah alasan utama mengapa Dalvin tidak betah di rumah dan berniat membeli rumah sendiri dengan uang yang selama ini sudah dia tabung—sumpek setiap hari ditanya ‘kapan menikah’ oleh Raras yang sudah menanti kehadiran seorang cucu.
Di kamar, Dalvin teringat pada ancaman Biya saat di kantor tadi. Dalvin ingin sekali mencekik perempuan itu akibat kecemasan yang dia rasakan sekarang. Selama tiga puluh satu tahun hidup, tak pernah ada yang mengetahui kebiasaannya menghisap dot, termasuk keluarga atau teman sendiri. Tapi yang pertama kali tahu malah Biya?
"Kalau Bapak nggak maafin dan jahatin saya terus, saya bakal kasih tahu ke orang-orang kalau Bapak ngisap dot!"
Hah, Dalvin tidak habis pikir dia berhasil diancam!
"Bapak pikir saya nggak capek ngerjain kerjaan segini banyak?!"
Apa Biya tidak memikirkan betapa sakit dan malunya Dalvin sewaktu di bioskop? Oh, andaikan Dalvin bisa berubah menjadi Thanos, makhluk pertama yang akan dia musnahkan sudah pasti adalah Biya. Andaikan tidak ada hukum yang berlaku, Dalvin sudah pasti menculik dan menyekap Biya di gudang antah berantah.
Karena frustrasi akibat berusaha meredakan kecemasannya, Dalvin menyalakan laptop yang sudah ada di meja. Bersiap onani menggunkan bantuan tenga. Tenga adalah alat bantu onani khusus pria berbentuk botol yang satu sisinya datar. Di bagian datar itu, terdapat lubang yang teksturnya mirip sekali seperti kemaluan perempuan dan itu merupakan tempat di mana penis di masukkan ketika alat itu digerakkan naik-turun menggunakan tangan kanan.
Seusai melakukan onani dan mencapai pelepasan, Dalvin berniat membersihkan tenga lalu mengambil tisu guna menyeka ujung penis. Sialnya, tiba-tiba ada seseorang masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu di saat Dalvi belum mematikan video porno dan berteriak kelewat ceria.
"Dalvin, gue ... !"
Posisi Dalvin memang membelakangi pintu, tapi dia sudah pasti panik sebab masih belum mengenakan celananya. Karena sudah tak mampu berpikir jernih, Dalvin tak sengaja menjatuhkan tenga ke lantai hingga spermanya berceceran di lantai. Dia juga buru-buru menutup layar laptop, namun sayang, suara desahan erotis perempuan masih terdengar.
Airin, sepupu Dalvin yang baru sampai dan awalnya berniat menyapa, langsung membeku di tempat bersama dengan Raras di ambang pintu. Dua perempuan berbeda generasi itu sama-sama mematung di tempat tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Lelaki itu jelas merasakan malu setengah mati. Dia langsung berteriak seraya menahan tangis.
"SUDAH GUE BILANG JANGAN MASUK KAMAR TANPA KETOK PINTU!!!"
***
18.37
Di ruang tamu, Dalvin berdiri tanpa bisa mengangkat wajah yang merah padam di saat Raras dan Airin duduk di sofa. Airin merasa sangat canggung--penyesalan menyelimuti sesudah melewati situasi yang tak seharusnya dilihat ataupun diingat. Biasanya ketika masuk ke kamar Dalvin tanpa mengetuk pintu, Dalvin tidak akan melakukan sesuatu yang tak senonoh. Dalvin hanya rebahan di ranjang sambil membaca komik jepang sewaan.
"Sekarang Mama jadi tahu kenapa kamu nggak mau menikah." ucap Raras tanpa memikirkan betapa malunya Dalvin atau canggungnya Airin.
Kedua alis Dalvin bertaut dalam. Kepalanya mendongak cepat dan menyahut, "Mama apaan, sih! Ada Airin di sini! Mama mending kalau--"
"Dengar, Dalvin, alat tenga-tenga itu nggak bisa mengandung anak kamu meskipun sudah kamu buahi!"
'FAKKKK,' Dalvin berteriak frustrasi. Wajahnya kian merah--balapan dengan warna merah kepiting rebus. Marah, malu, geram, benci; Dalvin sudah tidak bisa mendeskripsikan semua itu. 'Mending gue mati sekarang daripada harus lihat Airin lagi besok demi Tuhan. Lagian Airin masuk gak ketuk pintu. Tai banget dah ah!'
Airin tidak nyaman.
Sejujurnya, Airin datang berkunjung hanya untuk mengajak Dalvin makan malam bersama di luar sekaligus meminta Dalvin membantu memilih hadiah untuk ulang tahun Arsen mendatang. Mereka sangat dekat. Sama halnya dengan jarak rumah mereka yang hanya berbeda gang saja.
"Terserah aku, aku kan sudah dewasa," sergahnya. Berusaha tak mempedulikan ucapan Raras serta mengesampingkan rasa malu. "Hak aku mau beli atau pakai apa aja. Lagian itu pakai uangku sendiri dan itu nggak ada hubungannya sama aku mau menikah atau enggak."
"Ya meskipun sudah dewasa masa mau buang-buang bibit anak bangsa sembarangan?"
Malu Dalvin berlipat-lipat sampai dia tak tahu harus menyahut apa lagi pada Raras. Maksud Dalvin, bagaimana bisa dia dimarahi soal hal ini di depan orang lain? Orang yang sering ditemui setiap hari pula.
"Nggak tau ah, terserah Mama!" cecar Dalvin penuh emosi tanpa repot menyembunyikan ekspresi wajah yang tak bersahabat. Dalvin menuju ke kamar; memasukkan beberapa pakaian untuk beberapa hari ke dalam tas ransel. Saat berbenah, Dalvin melihat spermanya yang masih berceceran di lantai lalu segera membersihkannya menggunkan tisu kering.
Dalvin semakin yakin bahwa dia memang harus segera hidup sendirian agar bebas dari tuntutan ini-itu.
Ketika kembali ke ruang tamu, Raras jelas tampak kebingungan bukan main. Airin juga langsung berdiri dari tempat duduk akibat merasa bersalah.
"Mau apa kamu bawa baju segala?" tanya Raras. Nadanya setengah mengancam. Dalvin balin mendelik galak. "Mau nginap di rumah temen biar bisa bebas dari Mama sama Airin!"
"Dalvin!"
Sebelum benar-benar pergi dari tempat itu, pertahanan Dalvin nyaris runtuh--air matanya hampir jatuh akibat hari yang begitu buruk untuknya. Dia menunjuk Airin menggunakan jari telunjuk sambil berkata penuh kebencian, "Lo ya jangan masuk ke kamar orang sembarangan lagi!"
***
20.30
"Ah, gue mau tidur di mana ini?" Dalvin bertanya pada diri sendiri saat berada di dalam mobil. Sejak tadi dia terus memikirkan harus pergi ke mana, karena tak memiliki tempat tujuan. Kalaupun menginap di rumah teman pun tak enak, karena pasti mereka masih tinggal bersama orang tua atau bersama istri.
"Airin kampret, masuk ke kamar segala nggak ketuk pintu lagi. Gue mana tahu dia datang segala ke rumah. Biasanya ngabarin, ini malah enggak. Nggak sopan. Gue perlu bilangin berapa kali sih biar ucapan gue tuh nyantol di otaknya?"
Dalvin bermonolog seorang diri. Mengomel atas tingkah laku Airin yang sama menjengkelkannya seperti Biya.
Kepala Dalvin ingin pecah dan di saat-saat seperti ini, dia mengeluarkan dot bayi yang selalu dibawa ke mana-mana dalam keadaan bersih tentunya.
'Hidup gue bakal gimana ini, Tuhan?'
Dari pagi sudah suntuk.Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali"Pak, ngelamun terus dari pagi."Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima."Ngelun
Biya jelas pernah melakukan hubungan badan dengan Ethan sewaktu dulu masih menjadi sepasang kekasih. Ethan yang pertama kali mengajak. Ethan sukses membuat Biya luluh-lantak menggunakan kalimat super manis ketika mereka berusia dua puluh tahun. Alhasil, selama tujuh tahun belakangan, mereka setidaknya melakukan hubungan badan sekali dalam sebulan tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga."Kamu jangan ngomong ke Papaku. Aku takut Papa kecewa kalau tahu anak perempuannya berani kayak gini..""Iya, sayang, aku kan sudah janji tadi."Kebiasaan melakukan hubungan badan tersebut jelas mengakibatkan perubahan pada gairah seksual Biya, karena awalnya tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi yang dikatakan dosa. Maka dari itu, setelah putus dari Ethan, Biya merasakan sedikit kekosongan dalam hidup dan mencoba menutupinya dengan cara meet up.Meet up bersama orang asing dari twindler tentunya.Di twindler, Biya dan lelaki asing akan berjanji untuk merahasiakan identitas masing-masing apabila
'Ini cewek beneran lucu deh hahaha,' lelaki itu mencibir sarkastik diiringi helaan napas panjang saat mengamati Biya yang tengah tertidur pulas di atas kasur. Biya memang sempat mengatakan ingin menetap sebentar, karena menunggu Ethan benar-benar pergi terlebih dahulu dan tak membiarkan Dalvin keluar dari kamar."Pak, nggak usah keluar! Di sini aja!"Perintah Biya yang dipenuhi nada memohon masih terngiang jelas di kepala Dalvin. Sebenarnya Dalvin sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dan dia berakhir berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Dia menghabiskan satu jam duduk di kursi sambil menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.Namun, siapa sangka kalau Biya kelelahan dan malah berujung tak sengaja tertidur? Dalvin melipat kedua tangan di depan dada ketika melirik ke arah kasur yang tempatnya hanya tersisa sedikit sekali. Tapi, kalaupun ada tempat, Dalvin juga tidak mungkin tidur di samping Biya. Biya adalah Adik Arsen dan Dalvin bisa saja langsung mati apabi
20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se
17.10"Kok lo tumben hari Kamis pulang ke rumah?"Jam kerja telah berakhir, Biya langsung melesat ke rumah dan wajah pertama yang dia jumpai adalah wajah milik Arsen. Di balik pintu, lelaki itu hanya menggunakan boxer serta baju putih tipis di saat memijat pundaknya yang terasa pegal. Kelihatan persis seperti bapak-bapak anak satu yang kelelahan akibat dimarahi istri karena melempar baju sembarangan.Rambutnya pun berantakan. Berbanding terbalik dengan Biya yang masih tampak cukup rapi di balik pakaian kerjanya."Nggak papa, lagi pengen aja.." jawabnya. Berusaha tak menunjukkan bahwa dirinya lesu dan sedang tidak mood. Biya melangkah masuk ke dalam--mengedarkan pandang sebelum kembali menatap Arsen."Ayah mana?" Arsen langsung menjawab, "Masih mandi. Lo pulang cuma buat nemuin Ayah aja nih? Bukan buat nemuin gue?"Sejak Mama pergi, Biya tahu bagaimana hancurnya hati Ayah dan Kakaknya selama menjalani hidup. Biya tahu sebagaimana besar mereka menyayangi B
"Pak Dalvin nggak mau ke rumah sakit aja?"Dalvin sungguh tak nyaman. Situasi saat ini membuatnya ingin segera kabur dan pulang saja ke hotel. Pasalnya, setelah dipukul oleh Ethan, Dalvin langsung ditarik masuk ke rumah oleh Biya--dipaksa duduk di sofa ruang tamu lalu sekarang tiga orang mengamatinya lekat-lekat dengan sorot yang berbeda, ada yang: menatap khawatir, bingung bercampur penuh tanya, serta ingin bertanya dan membutuhkan jawaban sesegera mungkin."Saya baik-baik aja. Nggak perlu sampai ke rumah sakit segala," balas Dalvin tanpa mengangkat kepala. Menghindari kontak mata dengan semua anggota keluarga yang ada di hadapannya. Dia kelihatan canggung sekali, terutama saat mendadak Biya duduk di sampingnya."Saya beneran baik-baik aja," dia mengulangi sekali lagi. Mendorong Biya menjauh untuk menjaga jarak. "Malah harusnya mantan pacar kamu yang dibawa ke rumah sakit."Dalvin serius.Sejujurnya, Dalvin sama sekali tak menyentuh Ethan. Sedikit pun. Mala
29 Januari 2019Memangnya aku membawa sial ya untuk Pak Dalvin? Aku mencoba memahami sejak beberapa hari lalu setelah memilih tidak membalas pesan darinya lagi. Di kantor, aku menghindari kontak mata dengannya, karena takut membuat suasana hati Atasanku itu memburuk. Pak Dalvin baik pada semua orang, kecuali padaku dan itu sangat kentara sampai Maya selalu mempertanyakan kebenaran yang kusampaikan waktu itu."Are you okay?" Maya bertanya ketika kami duduk di kantin. Dia menikmati makan siang, sedangkan aku tidak. Bagaimana aku bisa menikmati semangkuk bakso kalau selama bekerja Pak Dalvin sejudes itu? Karyawan lain sampai mencuri pandang berulang kali ke arahku. "Lo sama Pak Dalvin pas itu beneran ketemu di jalan terus dia inisiatif anterin lo? Itu beneran apa bohongan? Soalnya pas itu gue lihat, dia marah banget ke lo sampai kaya pengen jeblosin ke penjara gitu. Terus dari kemarin juga jahat banget ke lo walaupun jahatnya ya enggak ngasih kerjaan setumpuk dan lewat tatapan mata sama