9 Januari 2019
[+62 835-xxxx-xxxxx: Pak Dalvin, hari ini masih belum bisa masuk kerja?]
[Dalvin: Ya menurut lu aja gimana ngab]
[+62 835-xxxx-xxxxx: Maafin saya pak.. saya pas itu panik]
[Dalvin: O gt y]
[+62 835-xxxx-xxxxx: Iya pak, maaf pak saya beneran nggak maksud bikin bapak celaka
+62 835-xxxx-xxxxx: Sekali lagi saya minta maaf pak]Dalvin enggan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Biya walau tiga hari telah berlalu. Lelaki itu terlalu jengkel atas kejadian menghebohkan di bioskop. Rasa malu sekaligus sakit di seluruh tubuh masih menyiksanya sampai saat ini--tidak, sejujurnya rasa malu Dalvin jauh lebih besar dibandingkan sakit.
Dalvin terpaksa izin sakit dan bahkan sempat menerima omelan dari Ibu yang selama tiga hari memanggil tukang pijit berturut-turut agar kondisi tubuh Dalvin segera membaik. "Kamu gimana bisa jatuh? Badan segede gini jelas sakit pas ngehantam lantai!" Dalvin terlalu gengsi untuk memberitahu Ibu jika dirinya dibanting oleh seorang perempuan--yang badannya jauh lebih kecil darinya pula.
Hari ini Dalvin baru bisa masuk kerja, dan sialnya, saat melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan malah langsung bertemu Biya yang tengah berdiri di depan lift bersama Maya. Tidak ada karyawan lain selain mereka yang menunggu, menyebabkan Dalvin mau tidak mau dilihat dan disapa oleh mereka.
'Bete banget lihat mukanya,' Dalvin menggerutu dalam hati dibarengi wajah jutek setengah mati kala menghentikan langkah di depan lift. Dia berdiri di samping dua perempuan itu saat lift nyaris sampai di lantai satu. Melihat wajah Biya mengakibatkan sekelebat memori buruk di hari itu menyerang hingga rasa malu kian bertambah tiap detiknya.
Di sana, Dalvin ikut menunggu lift.
"Pak Dalvin!" Maya menyapa ceria seperti biasanya. Dalvin ingin balik menyapa Maya, tapi malas sekali sesudah melihat wajah Biya yang kelihatan kikuk. Alhasil, Maya langsung overthinking. Memikirkan, 'Mukanya Pak Dalvin gitu amat?! Gue ada salah apa?! Gimana nih?!'
Lift di lantai satu terbuka ketika sampai. Dalvin melipat kedua tangannya judes sembari berkata, "Kalian duluan aja. Saya nunggu yang selanjutnya."
Bagaimana Maya tidak tambah overthinking? Maya melirik ke arah Biya yang membeku dan menunduk canggung. Maya ingin meninggal detik itu juga, karena paling tidak suka jika ada atasan yang marah atau bermusuhan dengannya. Maya hanya malas jika diberi banyak tugas khusus sebagai hukuman atau tempat kerja menjadi tidak kondusif.
Maya berusaha menunjukkan cengiran bersahabat walau hasilnya malah terlihat super kaku. "Pak Dalvin beneran nggak mau bareng aja? Masih banyak tempat--"
"Kalau saya bilang 'nunggu selanjutnya' ya berarti 'nunggu selanjutnya'!"
Dalvin terlalu malas berada di dekat Biya. Bernapas di dunia yang sama saja sudah membuat Dalvin muak. Maksud Dalvin, kenapa dia harus terlibat dengan Biya? Kenapa juga harus Dalvin yang menganggung malu di bioskop? Waktu itu, dia digotong beberapa orang agar bisa sampai ke tempat parkir dan diantarkan oleh Arsen pula.
Dalam hati, Biya juga sama seperti Maya alias ingin mati saja.
***
12.45
Jam istirahat makan siang akan segera tiba. Biya dan Maya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi bersama, karena ingin buang air kecil sekaligus menemani Maya membenahi penampilan di depan cermin. Di balik bilik kamar mandi masing-masing, Maya mengoceh tanpa henti mengenai sikap Dalvin sejak pagi hingga siang ini.
"Pak Dalvin hari ini galak banget tau. Padahal biasanya enggak gitu," tuturnya dengan nada sebal bukan main saat masih buang air kecil. "Tadi pagi diajakin naik lift bareng nggak mau. Terus selama kerja dia judesin semua orang Ya Tuhan, Bi! Herannya, dia juga numpukkin sebagian kerjaan orang lain ke lo. Lo ada salah ke itu orang sampe dia marah-marah apa gimana, deh?!"
Biya jelas tidak bisa menjelaskan alasan kenapa Dalvin mudah marah hari ini. Mana mungkin dia memberitahu Maya jika tiga hari lalu Dalvin berhasil dibanting ke lantai oleh perempuan dengan tubuh sekecil Biya? Di depan umum pula. Biya bisa membayangkan rasa malu yang Dalvin dapatkan saat itu.
Sebenarnya, Biya juga masih merasa bersalah sampai sekarang.
"Nggak lah, orang gue deket sama Pak Dalvin aja enggak." jawab Biya sembari tertawa kaku.
Biya mengenakan kembali celananya lalu menekan flush toilet. Dia keluar dari bilik toilet, berjalan mendekati cermin, dan menunggu Maya di sana.
***
16.22
[Kak Arsen: Biya, udah minta maaf ke dalvin blm?Kak Arsen: Cepetan minta maaf. Dia kalo ngambek lama lho sampe setaunan bisa ituKak Arsen: Lagian lo aneh" temen gue pake lo banting segala ah. Udah malu, sakit juga anjir]"Bi, gue pulang duluan ya. Lo nggak papa kerja sebanyak itu?"
Biya meringis dibarengi jemarinya yang bergenti bergerak di atas keyboard. Dia kemudian mengangguk, karena tidak enak jika membuat Maya menunggu di perusahaan.
"Iya, nggak papa. Lo duluan aja," jawab Biya. Dia berusaha tidak menunjukkan kelesuannya di depan sang teman. "Oh iya, nanti jangan lupa cuci piring. Tadi pagi lo masak tapi belum lo cuci semua."
Sekadar informasi, apartemen studio yang mereka tinggali sekarang sebenarnya dimiliki oleh sepupu Maya yang super kaya raya. Tapi, karena sepupunya tak menggunakan tempat tersebut dan pindah ke luar negeri untuk bekerja--dia pun memberikannya pada Maya secara gratis, karena jangka sewanya juga masih lama.
"Siap, Bi. Ya udah gue pulang duluan ya. Gue pesenin makanan nanti. Jadi lo makan di apart aja, oke?"
Sesudah Maya berlalu pergi, hanya tersisa Biya dan Dalvin di dalam ruangan itu. Lagi. Semua pegawai sudah pulang pukul empat tadi. Biya menghela napas lelah--matanya sakit, karena angka dan laporan yang dia urus lebih banyak daripada biasanya.
Tak lama, Biya mendengar suara decitan antara kursi dengan lantai. Dia mendongak; menemukan Dalvin sudah berkemas. Bersiap pulang meninggalkan Biya seorang diri di ruangan super dingin.
'Ah, gue takut banget kalo sendirian di sini. Gimana nih?!' Biya menjerit cemas saat memandangi sang atasan yang sudah memasukkan seluruh barang ke dalam tas ransel.
"Apaan ngelihatin saya terus? Tambah ganteng ya abis dibanting?" tanya Dalvin setengah menyindir. Dia jelas menyadari bahwa sedari tadi diperhatikan oleh si perempuan.
Biya buru-buru menggeleng dan menjawab pelan sekali. "Enggak, Pak.."
Lelaki itu membuang napas kasar. Dia memincingkan mata judes--sungguh menunjukkan dendamnya pada Biya melalui gerak-gerik tubuh. Bagaimana tidak dendam kalau Biya meninggalkan kesan yang tidak baik.
"Jangan pulang sampai kerjaan kamu selesai," Dalvin memperingati dengan nada penuh ancaman sembari menunjuk wajah Biya menggunakan jari telunjuk. "Nggak usah alasan sakit atau ada janji biar bisa pulang sekarang. Awas aja kerjaan kamu nggak beres."
Biya ingin menangis. Dia enggan ada di kantor sendirian. Maka dari itu, saat Dalvin berjalan menuju ke arah pintu--Biya segera berdiri dan meneriakkan sesuatu yang sukses mengakibatkan Dalvin berlari ke arah tempat Biya lalu mencengkeram jengkel bahu si perempuan.
"Kalau Bapak nggak maafin dan jahatin saya terus, saya bakal kasih tahu ke orang-orang kalau Bapak ngisap dot!"
Dalvin menggeram frustrasi. Dalvin mengguncang kasar bahu Biya dan berteriak tertahan.
"ARE YOU BLACKMAILING ME? HOW DARE YOU?!" Dalvin tidak habis pikir dengan kelakuan Biya. Kemarin dibanting ke lantai, sekarang malah diancam. Dalvin nyaris mencekik leher Biya akibat amarah yang sudah naik ke ubun-ubun. "You're so mean, Biya! Kamu pikir saya mau terlibat sama kamu? Saya juga ogah! Keterlaluan kamu, pakai ngancam saya segala!"
Biya merasa bersalah.
Tapi, mau bagaimana lagi?
"Dalvin, ini udah ganti tahun loh ... kamu apa nggak mau ganti status juga?"Sang pemilik nama paling enggan jika mendapat pertanyaan menyudutkan tersebut apalagi jika baru pulang bekerja. Masalah dengan Biya belum selesai dan sudah ada masalah baru dengan sosok Mama yang hampir setiap hari selalu mempertanyakan kapan Dalvin akan menikah.Menjadi anak satu-satunya di keluarga bukanlah hal yang baik.Dalvin berjalan ke arah dispenser sesudah mengambil gelas kosong dan menuangkan air. Di sana, dia menatap Mama yang sedari tadi mengikuti seraya menunjukkan pandang penuh harap. Berekspektasi Dalvin menjawab ‘iya’ lalu segera mengenalkan sosok menantu. Tapi, itu jelas ekspektasi yang mudah sekali dihancurkan oleh sang anak."Mau melajang aja." jawaban Dalvin sontak mengakibatkan Mama merespon panik. Mama memukul punggung Dalvin hingga sang empunya terjingkat dan mengaduh kesakitan. "'Melajang' gimana maksud kamu? Kamu mau jadi perjaka tua dan nggak memberi Mama cucu? Nggak kasihan sama Mam
Dari pagi sudah suntuk.Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali"Pak, ngelamun terus dari pagi."Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima."Ngelun
Biya jelas pernah melakukan hubungan badan dengan Ethan sewaktu dulu masih menjadi sepasang kekasih. Ethan yang pertama kali mengajak. Ethan sukses membuat Biya luluh-lantak menggunakan kalimat super manis ketika mereka berusia dua puluh tahun. Alhasil, selama tujuh tahun belakangan, mereka setidaknya melakukan hubungan badan sekali dalam sebulan tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga."Kamu jangan ngomong ke Papaku. Aku takut Papa kecewa kalau tahu anak perempuannya berani kayak gini..""Iya, sayang, aku kan sudah janji tadi."Kebiasaan melakukan hubungan badan tersebut jelas mengakibatkan perubahan pada gairah seksual Biya, karena awalnya tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi yang dikatakan dosa. Maka dari itu, setelah putus dari Ethan, Biya merasakan sedikit kekosongan dalam hidup dan mencoba menutupinya dengan cara meet up.Meet up bersama orang asing dari twindler tentunya.Di twindler, Biya dan lelaki asing akan berjanji untuk merahasiakan identitas masing-masing apabila
'Ini cewek beneran lucu deh hahaha,' lelaki itu mencibir sarkastik diiringi helaan napas panjang saat mengamati Biya yang tengah tertidur pulas di atas kasur. Biya memang sempat mengatakan ingin menetap sebentar, karena menunggu Ethan benar-benar pergi terlebih dahulu dan tak membiarkan Dalvin keluar dari kamar."Pak, nggak usah keluar! Di sini aja!"Perintah Biya yang dipenuhi nada memohon masih terngiang jelas di kepala Dalvin. Sebenarnya Dalvin sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dan dia berakhir berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Dia menghabiskan satu jam duduk di kursi sambil menonton televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.Namun, siapa sangka kalau Biya kelelahan dan malah berujung tak sengaja tertidur? Dalvin melipat kedua tangan di depan dada ketika melirik ke arah kasur yang tempatnya hanya tersisa sedikit sekali. Tapi, kalaupun ada tempat, Dalvin juga tidak mungkin tidur di samping Biya. Biya adalah Adik Arsen dan Dalvin bisa saja langsung mati apabi
20 Januari 2019Sejak kejadian di hotel, Biya belum bicara secara personal dengan Dalvin kecuali jika sedang bekerja. Lelaki itu terlihat menghindarinya mati-matian; tak mau menatap saat bercengkrama, mengambil jalan lain saat tahu Biya melewati jalan yang sama, enggan berada di dekat Biya dan menjaga jarak sampai dua meter. Tak hanya Biya yang menyadari hal tersebut, tapi Maya dan rekan lainnya juga.Biya sampai malu sendiri."Sebenarnya kalian ada masalah apa, sih?" tanya Maya penasaran tanpa menatap Biya, karena matanya sibuk mengamati anak tangga ketika mereka berdua berniat pergi ke lantai satu—makan siang di kantin perusahaan seperti biasanya. Biya sesekali menoleh kikuk ke arah Maya dengan bibir terkatup rapat.Menginjakkan kaki di lantai satu dan tak kunjung memperoleh jawaban, Maya pun berkata, "Kita sudah kerja lima tahunan di sini dan dari awal kerja sudah ada Pak Dalvin. Dari dia masih jadi pegawai biasa kayak kita sebelum akhirnya dia diangkat jadi wakil kepala manajer ak
17.32Dalvin menatap lekat layar ponsel yang menampilkan beberapa pesan masuk dari Airin. Airin meminta Dalvin pulang, karena Raras khawatir bukan main walau memang di depan Dalvin selalu mengancam akan mengeluarkan lelaki itu dari keluarga. Dalvin membuang napas kasar beriringan dengan dirinya yang melemparkan tubuh ke atas ranjang keras hotel. Seharian rasanya begitu lelah meskipun dia menjalani hari seperti biasa."Enak aja disuruh pulang abis dimalu-maluin gitu," dia menggerutu jengkel ketika melepas kancing kemeja satu per satu lalu menghisap dot yang baru saja diambil dari meja nakas. Semakin dipikirkan, semakin menggebu emosi di dada hingga terasa sesak. Dalvin menggigit kuat karet dot itu saat mengingat bagaimana Raras terlalu oversharing sesuatu yang seharusnya menjadi privasi. "Memang dipikir gue nggak malu? Malesin. Gue juga masih males ngelihat mukanya Airin. Udah salah, nggak minta maaf. Malah nyalahin gue soalnya nggak kunci pintu. Ya kan itu kamar gue. Se
17.10"Kok lo tumben hari Kamis pulang ke rumah?"Jam kerja telah berakhir, Biya langsung melesat ke rumah dan wajah pertama yang dia jumpai adalah wajah milik Arsen. Di balik pintu, lelaki itu hanya menggunakan boxer serta baju putih tipis di saat memijat pundaknya yang terasa pegal. Kelihatan persis seperti bapak-bapak anak satu yang kelelahan akibat dimarahi istri karena melempar baju sembarangan.Rambutnya pun berantakan. Berbanding terbalik dengan Biya yang masih tampak cukup rapi di balik pakaian kerjanya."Nggak papa, lagi pengen aja.." jawabnya. Berusaha tak menunjukkan bahwa dirinya lesu dan sedang tidak mood. Biya melangkah masuk ke dalam--mengedarkan pandang sebelum kembali menatap Arsen."Ayah mana?" Arsen langsung menjawab, "Masih mandi. Lo pulang cuma buat nemuin Ayah aja nih? Bukan buat nemuin gue?"Sejak Mama pergi, Biya tahu bagaimana hancurnya hati Ayah dan Kakaknya selama menjalani hidup. Biya tahu sebagaimana besar mereka menyayangi B
"Pak Dalvin nggak mau ke rumah sakit aja?"Dalvin sungguh tak nyaman. Situasi saat ini membuatnya ingin segera kabur dan pulang saja ke hotel. Pasalnya, setelah dipukul oleh Ethan, Dalvin langsung ditarik masuk ke rumah oleh Biya--dipaksa duduk di sofa ruang tamu lalu sekarang tiga orang mengamatinya lekat-lekat dengan sorot yang berbeda, ada yang: menatap khawatir, bingung bercampur penuh tanya, serta ingin bertanya dan membutuhkan jawaban sesegera mungkin."Saya baik-baik aja. Nggak perlu sampai ke rumah sakit segala," balas Dalvin tanpa mengangkat kepala. Menghindari kontak mata dengan semua anggota keluarga yang ada di hadapannya. Dia kelihatan canggung sekali, terutama saat mendadak Biya duduk di sampingnya."Saya beneran baik-baik aja," dia mengulangi sekali lagi. Mendorong Biya menjauh untuk menjaga jarak. "Malah harusnya mantan pacar kamu yang dibawa ke rumah sakit."Dalvin serius.Sejujurnya, Dalvin sama sekali tak menyentuh Ethan. Sedikit pun. Mala
Lima tahun kemudian.Biya beberapa kali melakukan switch career, dari staff purchasing, copywriter, hingga akhirnya memilih menjadi virtual assistant yang bisa bekerja secara remote di mana saja. Biya masih berusaha menjadi orang yang lebih baik setelah insiden beberapa tahun lalu. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun tidak ada yang cocok secara emosional. Semakin hari, Biya sendiri semakin menghindari lawan jenis karena merasa semuanya berujung sia-sia—tidak ada yang jadi, katanya.Biya sudah putus hubungan dengan Maya. Beberapa kali Biya melihat sosial media sang mantan sahabat melalui akun lain. Maya tampak bahagia dan baik-baik saja. Sudah menikah; pindah ke luar negeri mengikuti suami yang merupakan orang Australia. Biya ingin mengirimkan pesan, tapi takut Maya mengabaikan atau mungkin malah belum memaafkan.“Ce, kabarnya gimana?” Biya mendongakkan kepala ketika melihat Odilia, salah satu teman yang diperoleh melalui komunitas virtual assistant di media sosial. Mereka serin
“Mbak Biya, sudah lama nggak ketemu. Mau ambil barang-barang di lantai atas, ya?”Sesuai ucapannya kemarin, Biya pergi ke perusahaan untuk mengambil barang-barang di mejanya pada sore hari. Biya terkejut, karena security yang dikenalnya tahu bahwa dia resign. Biya menganggukkan kepala, mengucapkan salam, sebelum beranjak ke tempat kerjanya yang ada di lantai lima.Perusahaan sudah sepi, hanya ada beberapa office boy dan office girl yang masih bekerja. Biya bersyukur, karena dia tidak perlu menemui rekan rekan kerja yang pasti akan kepo luar biasa mengenai setelah ini akan bekerja di mana, kabar setelah sembuh dari tipes, dan lain lain. Biya menarik napas dalam ketika sampai di lantai lima dan masuk ke ruang departemennya.Biya tak menemukan siapa pun selain Dalvin yang masih duduk di kursinya—memeriksa kembali laporan keuangan pada layar komputer. Dalvin menoleh ke arah Biya, tak terlihat kaget, dan kembali fokus pada layar komputer.“Ambil barang?” Dalvin bertanya tanpa melihat Biya
[“Besok lo mau ambil barang-barang dari tempat kerja lo?”]Malam ini Biya dihubungi oleh Arsen yang tadi sempat menceritakan perjalanan selama berbulan madu di Bali. Tadi, Biya juga sempat berbincang sebentar dengan Airin melalui sambungan telepon. Biya senang, karena mereka bisa menikmati liburan selama seminggu dalam memulai perjalanan pernikahan yang akan dibina selama beberapa tahun ke depan.“Iya, besok mau gue ambil sendirian. Sebenarnya Ayah nawarin buat bantu, tapi gue tolak soalnya nggak mau ngerepotin,” Biya menjelaskan sambil mengambil tas kain yang biasanya digunakan untuk belanja, kunci sepeda motor serta mengenakan jaketnya yang berwarna hijau sage. Hendak pergi ke supermarket sebentar untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis di rumah. “Gue besok rencana mau datang sore aja setelah semua orang pulang, biar nggak usah drama di tempat kerja orang gue juga cuma mau ambil barang.”[“Ohh, haha,”] Arsen sempat mengudarakan tawa pelan, karena pikirannya langsung tertuj
Butuh waktu hampir dua minggu bagi Biya untuk pulih dari tipes dan benar-benar diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Proses pemulihannya lama, sebab Biya tak kooperatif—enggan makan dan minum obat—baru dikonsumsi apabila dipaksa oleh ayah atau Arsen yang bergantian berjaga. Keluar dari rumah sakit pun, kondisi fisiknya masih lemah.Biya sudah dinyatakan resign oleh HRD perusahaan dan diminta segera mengambil barang-barangnya. Biya menghela napas pelan, tidak menyangka jika dia jatuh sakit sampai melewati tanggal resign. Perempuan itu menatap langit-langit kamar ketika merebahkan diri; memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini, karena belum menemukan tempat kerja yang pas di hati. Biya pun memikirkan semua orang yang selama ini berputar di sekitarnya—terutama Gama dan Maya, yang mendadak keluar dari kehidupannya.[“Gue sudah dengar semuanya dari kakak lo. Gue nggak akan balik dulu, jadi gue belum bisa jengukin lo. Gue bakal stay di sini sampai mama gue sembuh. Goodluck and get
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket