"Aku bukan buronan! Memangnya Bapak tahu dari siapa perkataan tidak benar itu?" cecar Mateo kepada seorang pria paruh baya, pemilik toko roti di sebuah pasar swalayan.Semenjak Helena pergi dari rumah, Mateo pun pergi karena jenuh. Niatnya hanya ingin menghirup udara segar, sesekali mengunjungi toko yang ramai, berharap ia mendapatkan pekerjaan. Namun, tak di sangka banyak sekali yang mengatakan jika Mateo adalah seorang buronan. Entah kasus apa, membuat Mateo mengamuk di pasar tersebut."Kami juga gak tahu. Yang jelas kemarin di setiap sudut pasar, ada yang menempelkan kertas ini!" Seorang pria memberikan selembar kertas kepada Mateo, karena amarah Mateo yang menggelegar, mengundang orang-orang berdatangan.'PERINGATAN! JANGAN COBA-COBA MENERIMA ORANG DI BAWAH INI. BERDALIH MENCARI PEKERJAAN. IA HANYA PURA-PURA, NAMANYA MATEO YANG SEBENARNYA ADALAH BURONAN POLISI.'Mateo meremas kertas bertulisan itu, bahkan foto nya pun terpampang nyata di sana, netranya semakin merah padam dengan ta
Ezra mengangguk antusias. Tak peduli jika nantinya syarat dari Mateo sulit di tempuh olehnya. Yang terpenting ia sudah berhasil membujuk sahabatnya."Syaratnya ... semua aku serahkan kepada Mamah!" Mateo mengangkat kedua alisnya menatap Ezra, pria muda itu, melirik kepada Helena."Tan, bagaimana? Jika Tante berkata tidak, aku tidak akan mengganggu hidup Tante lagi. Ini pertanyaan terakhir dariku, Tan." Ezra memohon dengan tatapan binar, bahkan kali ini posisinya pun sedang berlutut di depan Helena.Helena menggeleng perlahan. "Maaf, Zra!"Hati Ezra mencelos lagi-lagi ia mendapatkan penolakan dari pujaan hatinya. "Ya sudah. Hari ini aku tidak akan mengganggu Tante!" "Tante jangan pergi dari perusahaan ini. Sekarang anggap aku sebagai bos Tante, mungkin jika Mateo belum mendapatkan pekerjaan dia juga boleh bekerja di sini." Ujar Ezra menampakkan senyum manisnya.Atas perjanjian yang sudah disepakati, Ezra pergi meninggalkan Helena dan Mateo. Kali ini hatinya benar-benar kacau. Ternyata
Wanita itu terkekeh, ia melepaskan rangkulan dari Ezra dan duduk di sofa depannya. "Aku Pakai baju ini cantik gak?"Ezra mengangguk antusias. "Meskipun lebih cantik tante Helena, sih!"Wanita itu berdecih. "Pikiran kau memang ke Tante terus, deh! Lagian mau apa sih menyuruh aku datang ke sini?""Ca, aku bingung harus melakukan apa lagi?" keluh Ezra menampakkan raut wajah lesunya. Meskipun suasana di club malam tersebut begitu ramai, itu semua sama sekali tidak membuat Ezra terhibur. Ia justru merasa sirik karena dikelilingi oleh beberapa pasangan yang sedang bercumbu.Aca, wanita yang setia menemani Ezra saat ini menjadi jajaran terdepan mendukung perjuangan Ezra. Ternyata selain menjadi sekretarisnya, gadis itu pun menjadi teman dekat Ezra dari duli. Bahkan tempat mengeluh untuk Ezra."Kenapa kamu begitu cinta kepada Tante Helena, apa kamu sudah di butakan olehnya?" tanya gadis berbaju merah."Bukan di butakan, tetapi entah kenapa hati aku selalu tertuju padanya!" ketus Ezra mendengu
Netra redup yang sedang bersandiwara itu, tiba-tiba membulat sempurna. Raut wajah cemberut dari Ezra, kini mendadak senyum semringah. "Ta– tante gak bohong, 'kan?'Helena menggeleng. "Asal kamu pulang!""Ok!" Entah siluman apa yang merasuki tubuhnya. Ia begitu lincah menggendong Helena dengan gaya bridal style, membuat Mateo menganga di tempat. "Astaga ... tipuan macam apa ini!""Siapa yang menipu? kamu saja yang bodoh. Bukannya kamu tahu sendiri kalau aku tidak minum-minuman seperti itu!"Mateo menepuk jidatnya seraya berjalan. Dalam keadaan panik, ia sulit sekali berpikir jernih.Di perjalanan, Ezra tak lepas menggenggam tangan Helena, wanita itu pun tidak menolak karena cengkeraman darinya begitu erat. "Zra, ini sudah sampai!" protes Helena. Ezra tetap menggenggam tangannya. "Memangnya kenapa?""Ezra, ini sudah malem. Jangan bikin kesel bisa gak, sih?" jangankan Helena, Mateo pun jengkel padanya karena kunci pintu tidak segera di bukakan.Akhirnya Ezra membukakan pintu untuk Mate
Mateo— pemuda yang selalu bersama Helena diam. Pikirannya terus bekerja antara merestui atau tidak. Pasangan beda usia di depannya itu adalah dua orang yang berarti bagi hidupnya. Namun, siapa sangka takdir berkata lain yang nyatanya Ezra menyukai sang Mamah."Hmm ... jujur aku masih ragu." Mateo yang sedari tadi menundukkan kepala, kini ia melirik kepada Ezra. "Buktikan jika kamu benar-benar serius kepada Mamah.""Setelah aku menikah kamu yang berkuasa di perusahaan ini. Aku dan Tante akan mengurus hotel yang sudah lama terbengkalai. Hotel itu masih milik Ayah," jawab Ezra dengan santai."Aku tidak bisa membuktikan dengan spontan, butuh banyak waktu untuk aku berjuang mendapatkan hati Tante Helena, Mateo," ujarnya kembali.Mateo mengangguk perlahan, nyatanya menaklukkan seorang wanita yang sama sekali tidak menaruh hati pada kita itu sulit. "Baiklah. Aku restui hubungan kalian," Helena membulatkan matanya dengan sempurna.Sungguh, wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu tidak me
"Tante pilih yang mana, perjaka atau duda?" Ezra tertawa terbahak-bahak. Helena yang di sampingnya hanya menggeleng.Kini keduanya sedang berada di sebuah tempat yang menyediakan beberapa gedung khusus untuk pesta acara pernikahan. Namun, bukannya Ezra dan Helena memilih gedung-gedung yang tertera di sebuah buku, pemuda itu terus bercanda sampai satu jam lamanya."Zra, bisa serius?" Ezra menutup mulutnya, menahan tawa. Entah kenapa hari itu terlihat sekali begitu bahagia."Jadi, kamu pilih yang mana? Perawan atau janda?" sindir Helena mengulum senyum, membuat Ezra tertawa lagi."Janda perawan seperti Tante," jawab Ezra santai.Helena menghela napas panjang, sedikit melirik kepada pemuda itu. Pasalnya kondisi dirinya menjadi janda perawan masih jadi rahasia yang tertutup rapat. 'kenapa Ezra tahu?'"Tan, katanya serius?" Helena menggeleng cepat, memudarkan lamunannya."Kalau Tante gimana kamu aja.""Menurut aku semua bagus. Kalau Tante suka semuanya pun, aku gak keberatan memakai lima ge
Menata hati yang sempat tidak beraturan, membuat Helena senyum-senyum sendiri sambil memandangi atap kamar sampai tertidur pulas. Bahkan Ezra yang sudah selesai mengganti pakaiannya untuk melanjutkan perjalanan, tersenyum semringah. Di pandangnya Helena yang manis meskipun tertutup mata."Indahnya bidadari duniaku ini."Ezra menggeleng seraya mendekati Helena. Meskipun tubuhnya di balut selimut putih, tetapi aura wanita itu selalu memancarkan ke cantikkannya.Sampai akhirnya Ezra sendiri yang menghidangkan beberapa makanan yang sudah di pesan untuknya di atas meja. Tring!Suara gelas dan piring beradu mengganggu Helena, kemudian perlahan membuka mata. "Loh, Ezra?"Ezra menyeringai berdiri di depannya. Melihat Helena terkejut melihatnya. "Maaf, aku gak sengaja!" Helena bangkit meskipun ia berat sekali membuka mata karena masih mengantuk. "Kamu ngapain di sini, Zra?"Helena menghela napas panjang. Ia melirik kepada pakaiannya yang masih tertutup rapat. Ia khawatir, pemuda itu berbuat n
"Awww ... Zra, sakit!" Helena meringis perih."Tahan, ya, cantiknya Ezra. Sebentar lagi selesai." Dengan cekatan Ezra perlahan mengobati luka di bagian kaki Helena.Helena memerhatikan gerakan jemari kekarnya, seketika ulasan senyum mengulas di raut wajahnya. Ia merasa puas karena Ezra melindunginya. "Cukup, Zra. Kita pulang saja bagaimana?"Ezra mengangguk. "Apa Tante sudah puas menikmati liburan hari ini denganku?" "Ke mana pun aku pergi, asal bersamamu pasti puas. Terima kasih, ya." Ezra bangkit ia pun duduk di depan Helena."Setelah pulang kita langsung mengadakan pesta pernikahan. Makanya aku ajak Tante liburan dulu, karena besok kita sibuk di gedung." Ezra mengelap sisa saus yang menempel di dekat bibir Helena menggunakan tisu. Helena yang sedang menikmati semangkuk mie ayam mengulum senyum, menahan malu.Keduanya sedang berada di tepi pantai, awalnya Ezra dan Helena begitu senang menikmati ombak laut yang menepi, tetapi tiba-tiba Helena menginjak karang membuat kakinya terluka.
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu