Menata hati yang sempat tidak beraturan, membuat Helena senyum-senyum sendiri sambil memandangi atap kamar sampai tertidur pulas. Bahkan Ezra yang sudah selesai mengganti pakaiannya untuk melanjutkan perjalanan, tersenyum semringah. Di pandangnya Helena yang manis meskipun tertutup mata."Indahnya bidadari duniaku ini."Ezra menggeleng seraya mendekati Helena. Meskipun tubuhnya di balut selimut putih, tetapi aura wanita itu selalu memancarkan ke cantikkannya.Sampai akhirnya Ezra sendiri yang menghidangkan beberapa makanan yang sudah di pesan untuknya di atas meja. Tring!Suara gelas dan piring beradu mengganggu Helena, kemudian perlahan membuka mata. "Loh, Ezra?"Ezra menyeringai berdiri di depannya. Melihat Helena terkejut melihatnya. "Maaf, aku gak sengaja!" Helena bangkit meskipun ia berat sekali membuka mata karena masih mengantuk. "Kamu ngapain di sini, Zra?"Helena menghela napas panjang. Ia melirik kepada pakaiannya yang masih tertutup rapat. Ia khawatir, pemuda itu berbuat n
"Awww ... Zra, sakit!" Helena meringis perih."Tahan, ya, cantiknya Ezra. Sebentar lagi selesai." Dengan cekatan Ezra perlahan mengobati luka di bagian kaki Helena.Helena memerhatikan gerakan jemari kekarnya, seketika ulasan senyum mengulas di raut wajahnya. Ia merasa puas karena Ezra melindunginya. "Cukup, Zra. Kita pulang saja bagaimana?"Ezra mengangguk. "Apa Tante sudah puas menikmati liburan hari ini denganku?" "Ke mana pun aku pergi, asal bersamamu pasti puas. Terima kasih, ya." Ezra bangkit ia pun duduk di depan Helena."Setelah pulang kita langsung mengadakan pesta pernikahan. Makanya aku ajak Tante liburan dulu, karena besok kita sibuk di gedung." Ezra mengelap sisa saus yang menempel di dekat bibir Helena menggunakan tisu. Helena yang sedang menikmati semangkuk mie ayam mengulum senyum, menahan malu.Keduanya sedang berada di tepi pantai, awalnya Ezra dan Helena begitu senang menikmati ombak laut yang menepi, tetapi tiba-tiba Helena menginjak karang membuat kakinya terluka.
"Kok, gitu?" protes Aca. Bagaimana pun kuasa perusahaan masih di tangan Nico. Ia khawatir jika pria paruh baya itu tidak mengetahui hubungan kekasihnya dengan sang anak, ke depannya akan menimbulkan masalah baru."Hmm ... ma– maksud aku biar Ezra saja yang memberitahukannya," jawab Helena ragu. Ia tidak yakin jika Ezra akan mengundang Ayahnya. Mengingat Ezra sempat mengatakan sudah tidak mau mempunyai urusan dengannya."Baiklah. Segera beristirahat, Tan. Besok aku akan datang ke sini untuk merias wajahmu. Bye-bye!" Aca bangkit. Berhubung waktu sudah siang, akhirnya Aca pergi dari hadapan Helena. ****"Huhf! Zra, tunggu!" Keluh Mateo. Ia lelah membawa banyak sekali bingkisan di tangannya. Sedangkan Ezra dengan santainya berjalan tanpa membawa apa pun yang sudah berada di depan."Jangan manja, Mateo. Ini juga demi pernikahan Mamahmu!" sindir Ezra tanpa menoleh, bahkan ia membiarkan Mateo sendiri yang menata barang bawaannya di bagasi."Kamu memang kejam!" gerutu Mateo menyeka bulir ker
"Jika seperti itu jadinya, aku yang menemui om Nico duluan. Enak saja memainkan perasaan Mamah!" Celetukan dari Mateo di belakang Aca, membuatnya terperanjat."Maaf, aku hanya takut itu terjadi.""Seharusnya jangan kamu ucapkan itu, karena perkataan adalah doa!" ketus Mateo, ia duduk di sofa kosong.Helena hanya diam tak berkomentar, ia tahu jika Aca sedang gugup di temui Mateo, karena jemari lentik yang bergetar mengenai pipinya. "Santai aja, Ca. Mateo gak gigit kok!"Aca mengangguk perlahan. Peluh keringat membutir di keningnya. Helena merasa lucu sekali dengan tingkah gadis di depannya itu. "Selesai, Tan. Silakan berkaca!" Helena perlahan bangkit, ia menjiwir gaun yang mengembang seraya berjalan ke dalam kamar. Aca menghela napas pajang, ia duduk di kursi bekas Helena karena lelah terus berdiri. "Gunakan baju ini."Aca mengernyitkan kening, saat Mateo memberikan bingkisan kepadanya sambil pergi begitu saja tanpa menjelaskan. "Kau pikir pakaianku tidak menarik, Mateo?" "Gunakan sa
Ruangan bernuansa putih dan biru navy itu menjadi saksi malam pertama Helena dan Ezra. Lilin-lilin dibiarkan menyala memutari pasangan suami-istri itu duduk di tepi ranjang.Bukan Ezra jika lalai menjaga Helena, meskipun umurnya masih terbilang muda, tetapi pria yang sudah menggunakan baju piyama hitam itu selalu menyiapkan kebutuhan istrinya. Terutama menyambut malam kebahagiaan yang di nanti oleh pengantin baru."Ko–kondom buat apa, Zra?" Pikiran Helena terus penasaran kepada benda bertekstur karet itu. "Gunakan ini!" Ezra memberikan sebuah kain seperti jaring kepada Helena, membuat wanita itu terbelalak. "Lingerie?""Ayolah ..." Ezra menarik tangan Helena, bahkan tak segan pria itu mendorong tubuhnya ke dalam kamar mandi. Membawa lingerie berwarna hitam.Seperti sedang menunggu seseorang, Ezra berdiri bolak-balik tidak tenang. Yang akhirnya ia merogoh saku untuk menghubungi orang yang di harapkan kedatangannya. Tuuut!Tuuut!Tuuut!Ezra meremas ponselnya erat, wajahnya mendadak m
"Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apa kamu akan percaya?" tanya Ezra. Helena yang masih penasaran yang mengangguk perlahan.Pria muda yang menggunakan kaos putih serta celana hitam mendekati Helena yang sudah memakai dress putihnya. "Kamu yakin?""Memangnya apa, sih, Zra?" ketus Helena. Emosinya sedikit memuncak karena keperawanannya itu hanya dirinya yang tahu. "Dulu om Farel meninggal karena apa?" tanya Ezra. Farel— pria yang pernah menikahi Helena selama seminggu tiba-tiba ditakdirkan tiada."Dokter mengatakan Mas Farel mempunyai penyakit jantung," jawab Helena. Karena mendiang tiada saat berseteru dengannya. Saat Helena pulang, keadaannya sudah tidak berdaya yang akhirnya Helena segera membawanya ke rumah sakit."Salah!" jawab Ezra santai.Helena mengernyitkan kening. "Memangnya kamu kenal Mas Farel?""Aku yang membunuhnya!"Jeder!Detak jantung Helena mendadak berhenti ditemani matanya yang membulat sempurna. Ia betul-betul percaya karena Ezra menunjukkan sebuah foto kepada H
Sulit bagi Helena percaya, apa yang diucapkan Ezra. Namun, hatinya bergetar seakan meyakinkan perasaannya jika Ezra— pria muda yang ternyata dari dulu melindunginya melebihi Mateo yang tidak tahu apa-apa."Sekarang Tante masih menuduhku jahat sama seperti Ayah?" tanya Ezra dengan serius. Helena menggeleng seraya menggeleng perlahan."Aku percaya, Zra. Walaupun sulit bagiku menerima apa yang terjadi.""Tante menyesal menikah denganku?" tanya Ezra lirih, raut wajahnya mendadak murung. Ia takut mengecewakan Helena. "Tidak. Untuk apa?""Tante pasti kecewa padaku, 'kan?" tanya Ezra."Ya, pastinya Tante kecewa. Bukan kecewa karenamu, tetapi Tante terlalu bodoh percaya kepada seorang laki-laki. Tante pun sangat-sangat kesal padamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kepada Tante dari dalu?" Ezra yang sedang berbaring, bangkit duduk di samping Helena. "A– aku? Dari dulu aku menyatakan cinta pada Tante, siapa yang terus menolak?"Hati Helena merasa tertampar mendengar ucapan Ezra, karena ia menyada
Punggungnya begitu setia menempel di balik pintu, ia menahan berontaknya Nico yang berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. "Helena, apa kamu lupa jika rumah ini adalah milikku?"Tubuhnya yang bergetar seraya wajah yang mendadak pucat, menemani Helena saat ini. ia begitu ketakutan, karena tenaga Niko Akhirnya bisa membuka pintu rumah itu hingga rusak. Helena mundur beberapa langkah di hadapannya."Kenapa kamu begitu takut melihatku?" tanya pria parih baya berkemeja putih, ia menjinjing tasnya tak segan masuk ke rumah, duduk di sofa besar. Sedangkan Helena mematung di tempat. Ia bingung. Karena ingin pergi entah ke mana, tetap di rumah takut mantan kekasihnya berniat untuk membahayakan dirinya. Mengingat ucapan Ezra jika pria paruh baya itu nyatanya sengaja ingin melukainya tempo dulu, apalagi kekecewaannya masih tertanam di dalam hatinya saat tahu jika Nico mempunyai tiga istri saat menjalin kasih dengannya."Maaf, saya telat untuk menghadiri pesta pernikahan kamu dan Ezra." Nico memb
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu