"Kok, gitu?" protes Aca. Bagaimana pun kuasa perusahaan masih di tangan Nico. Ia khawatir jika pria paruh baya itu tidak mengetahui hubungan kekasihnya dengan sang anak, ke depannya akan menimbulkan masalah baru."Hmm ... ma– maksud aku biar Ezra saja yang memberitahukannya," jawab Helena ragu. Ia tidak yakin jika Ezra akan mengundang Ayahnya. Mengingat Ezra sempat mengatakan sudah tidak mau mempunyai urusan dengannya."Baiklah. Segera beristirahat, Tan. Besok aku akan datang ke sini untuk merias wajahmu. Bye-bye!" Aca bangkit. Berhubung waktu sudah siang, akhirnya Aca pergi dari hadapan Helena. ****"Huhf! Zra, tunggu!" Keluh Mateo. Ia lelah membawa banyak sekali bingkisan di tangannya. Sedangkan Ezra dengan santainya berjalan tanpa membawa apa pun yang sudah berada di depan."Jangan manja, Mateo. Ini juga demi pernikahan Mamahmu!" sindir Ezra tanpa menoleh, bahkan ia membiarkan Mateo sendiri yang menata barang bawaannya di bagasi."Kamu memang kejam!" gerutu Mateo menyeka bulir ker
"Jika seperti itu jadinya, aku yang menemui om Nico duluan. Enak saja memainkan perasaan Mamah!" Celetukan dari Mateo di belakang Aca, membuatnya terperanjat."Maaf, aku hanya takut itu terjadi.""Seharusnya jangan kamu ucapkan itu, karena perkataan adalah doa!" ketus Mateo, ia duduk di sofa kosong.Helena hanya diam tak berkomentar, ia tahu jika Aca sedang gugup di temui Mateo, karena jemari lentik yang bergetar mengenai pipinya. "Santai aja, Ca. Mateo gak gigit kok!"Aca mengangguk perlahan. Peluh keringat membutir di keningnya. Helena merasa lucu sekali dengan tingkah gadis di depannya itu. "Selesai, Tan. Silakan berkaca!" Helena perlahan bangkit, ia menjiwir gaun yang mengembang seraya berjalan ke dalam kamar. Aca menghela napas pajang, ia duduk di kursi bekas Helena karena lelah terus berdiri. "Gunakan baju ini."Aca mengernyitkan kening, saat Mateo memberikan bingkisan kepadanya sambil pergi begitu saja tanpa menjelaskan. "Kau pikir pakaianku tidak menarik, Mateo?" "Gunakan sa
Ruangan bernuansa putih dan biru navy itu menjadi saksi malam pertama Helena dan Ezra. Lilin-lilin dibiarkan menyala memutari pasangan suami-istri itu duduk di tepi ranjang.Bukan Ezra jika lalai menjaga Helena, meskipun umurnya masih terbilang muda, tetapi pria yang sudah menggunakan baju piyama hitam itu selalu menyiapkan kebutuhan istrinya. Terutama menyambut malam kebahagiaan yang di nanti oleh pengantin baru."Ko–kondom buat apa, Zra?" Pikiran Helena terus penasaran kepada benda bertekstur karet itu. "Gunakan ini!" Ezra memberikan sebuah kain seperti jaring kepada Helena, membuat wanita itu terbelalak. "Lingerie?""Ayolah ..." Ezra menarik tangan Helena, bahkan tak segan pria itu mendorong tubuhnya ke dalam kamar mandi. Membawa lingerie berwarna hitam.Seperti sedang menunggu seseorang, Ezra berdiri bolak-balik tidak tenang. Yang akhirnya ia merogoh saku untuk menghubungi orang yang di harapkan kedatangannya. Tuuut!Tuuut!Tuuut!Ezra meremas ponselnya erat, wajahnya mendadak m
"Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apa kamu akan percaya?" tanya Ezra. Helena yang masih penasaran yang mengangguk perlahan.Pria muda yang menggunakan kaos putih serta celana hitam mendekati Helena yang sudah memakai dress putihnya. "Kamu yakin?""Memangnya apa, sih, Zra?" ketus Helena. Emosinya sedikit memuncak karena keperawanannya itu hanya dirinya yang tahu. "Dulu om Farel meninggal karena apa?" tanya Ezra. Farel— pria yang pernah menikahi Helena selama seminggu tiba-tiba ditakdirkan tiada."Dokter mengatakan Mas Farel mempunyai penyakit jantung," jawab Helena. Karena mendiang tiada saat berseteru dengannya. Saat Helena pulang, keadaannya sudah tidak berdaya yang akhirnya Helena segera membawanya ke rumah sakit."Salah!" jawab Ezra santai.Helena mengernyitkan kening. "Memangnya kamu kenal Mas Farel?""Aku yang membunuhnya!"Jeder!Detak jantung Helena mendadak berhenti ditemani matanya yang membulat sempurna. Ia betul-betul percaya karena Ezra menunjukkan sebuah foto kepada H
Sulit bagi Helena percaya, apa yang diucapkan Ezra. Namun, hatinya bergetar seakan meyakinkan perasaannya jika Ezra— pria muda yang ternyata dari dulu melindunginya melebihi Mateo yang tidak tahu apa-apa."Sekarang Tante masih menuduhku jahat sama seperti Ayah?" tanya Ezra dengan serius. Helena menggeleng seraya menggeleng perlahan."Aku percaya, Zra. Walaupun sulit bagiku menerima apa yang terjadi.""Tante menyesal menikah denganku?" tanya Ezra lirih, raut wajahnya mendadak murung. Ia takut mengecewakan Helena. "Tidak. Untuk apa?""Tante pasti kecewa padaku, 'kan?" tanya Ezra."Ya, pastinya Tante kecewa. Bukan kecewa karenamu, tetapi Tante terlalu bodoh percaya kepada seorang laki-laki. Tante pun sangat-sangat kesal padamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kepada Tante dari dalu?" Ezra yang sedang berbaring, bangkit duduk di samping Helena. "A– aku? Dari dulu aku menyatakan cinta pada Tante, siapa yang terus menolak?"Hati Helena merasa tertampar mendengar ucapan Ezra, karena ia menyada
Punggungnya begitu setia menempel di balik pintu, ia menahan berontaknya Nico yang berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. "Helena, apa kamu lupa jika rumah ini adalah milikku?"Tubuhnya yang bergetar seraya wajah yang mendadak pucat, menemani Helena saat ini. ia begitu ketakutan, karena tenaga Niko Akhirnya bisa membuka pintu rumah itu hingga rusak. Helena mundur beberapa langkah di hadapannya."Kenapa kamu begitu takut melihatku?" tanya pria parih baya berkemeja putih, ia menjinjing tasnya tak segan masuk ke rumah, duduk di sofa besar. Sedangkan Helena mematung di tempat. Ia bingung. Karena ingin pergi entah ke mana, tetap di rumah takut mantan kekasihnya berniat untuk membahayakan dirinya. Mengingat ucapan Ezra jika pria paruh baya itu nyatanya sengaja ingin melukainya tempo dulu, apalagi kekecewaannya masih tertanam di dalam hatinya saat tahu jika Nico mempunyai tiga istri saat menjalin kasih dengannya."Maaf, saya telat untuk menghadiri pesta pernikahan kamu dan Ezra." Nico memb
Teriakan dari Helena yang samar-samar terdengar oleh Ezra dan Mateo. Membuat keduanya berlari terbirit-birit mencari keberadaan sumber suara. "Mah, di mana?"Mateo yang mengikuti langkah Ezra, masuk ke sebuah lorong bawah tanah terkejut."Astaga ... Ezra! Ini ruangan apa?" Mateo mondar-mandir mengelilingi ruangan yang gelap itu. Ia tidak tahu jika rumah tersebut mempunyai arena tersembunyi."Tempat persembunyian Ayah jika mafia menyerbu!" jawab Ezra seraya berjalan menyelusuri salah satu ruangan yang belum terbuka."Istriku, apakah kamu di dalam?" "Hmpt–" Helena yang di bekap mulutnya oleh Nico sudah tidak berdaya. Tubuh Nico di atasnya sudah merusak bagian segitiga yang berhasil dibobol olehnya. Tangisan semakin menemaninya saat Nico tersenyum licik padanya. "Semakin kamu berteriak, aku tidak akan memberikanmu celah untuk kabur!""Cantiknya Ezra, ada di dalam, 'kan?"Helena menjerit di dalam hati, tangannya semakin mencengkeram seprei berwarna hitam. Sesak di dada, karena Nico semaki
"Pak, saya sudah di depan!" "Masuk! aku tidak mungkin membiarkan Istriku sendirian," cecar Ezra kepada seorang wanita di seberang telepon. Ezra mendengus kesal, seraya memutuskan panggilan telepon dengannya. Helena yang menyaksikan sang suami yang jengkel, ia cekikikan di ranjang. "Padahal cuman beberapa langkah doang buka pintu.""Pintunya saja rusak."Jangankan untuk membenarkan pintu rumahnya yang rusak itu. ke dalam kamar mandi pun, Ezra membawa Helena masuk."Pak, di mana keberadaan Mateo?" tanya Aca di balik kamar Ezra. Akhirnya Ezra mau menghampirinya bergegas membukakan pintu. "Kamu diam di sini. Jaga Istriku. biar aku yang menunjukkan di mana keberadaan Mateo kepada pak Polisi!" di belakang Aca, terdapat dua pria berbaju dinas Polisinya. Mereka tidak keberatan mengikuti langkah Ezra setelah Aca menemani Helena di dalam kamar."Satu tembakan tadi terdengar di dalam kamarku. Entah siapa yang mati, berharap Ayah yang saat ini berlinang darah. Sama dengannya yang tak segan mem