Punggungnya begitu setia menempel di balik pintu, ia menahan berontaknya Nico yang berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. "Helena, apa kamu lupa jika rumah ini adalah milikku?"Tubuhnya yang bergetar seraya wajah yang mendadak pucat, menemani Helena saat ini. ia begitu ketakutan, karena tenaga Niko Akhirnya bisa membuka pintu rumah itu hingga rusak. Helena mundur beberapa langkah di hadapannya."Kenapa kamu begitu takut melihatku?" tanya pria parih baya berkemeja putih, ia menjinjing tasnya tak segan masuk ke rumah, duduk di sofa besar. Sedangkan Helena mematung di tempat. Ia bingung. Karena ingin pergi entah ke mana, tetap di rumah takut mantan kekasihnya berniat untuk membahayakan dirinya. Mengingat ucapan Ezra jika pria paruh baya itu nyatanya sengaja ingin melukainya tempo dulu, apalagi kekecewaannya masih tertanam di dalam hatinya saat tahu jika Nico mempunyai tiga istri saat menjalin kasih dengannya."Maaf, saya telat untuk menghadiri pesta pernikahan kamu dan Ezra." Nico memb
Teriakan dari Helena yang samar-samar terdengar oleh Ezra dan Mateo. Membuat keduanya berlari terbirit-birit mencari keberadaan sumber suara. "Mah, di mana?"Mateo yang mengikuti langkah Ezra, masuk ke sebuah lorong bawah tanah terkejut."Astaga ... Ezra! Ini ruangan apa?" Mateo mondar-mandir mengelilingi ruangan yang gelap itu. Ia tidak tahu jika rumah tersebut mempunyai arena tersembunyi."Tempat persembunyian Ayah jika mafia menyerbu!" jawab Ezra seraya berjalan menyelusuri salah satu ruangan yang belum terbuka."Istriku, apakah kamu di dalam?" "Hmpt–" Helena yang di bekap mulutnya oleh Nico sudah tidak berdaya. Tubuh Nico di atasnya sudah merusak bagian segitiga yang berhasil dibobol olehnya. Tangisan semakin menemaninya saat Nico tersenyum licik padanya. "Semakin kamu berteriak, aku tidak akan memberikanmu celah untuk kabur!""Cantiknya Ezra, ada di dalam, 'kan?"Helena menjerit di dalam hati, tangannya semakin mencengkeram seprei berwarna hitam. Sesak di dada, karena Nico semaki
"Pak, saya sudah di depan!" "Masuk! aku tidak mungkin membiarkan Istriku sendirian," cecar Ezra kepada seorang wanita di seberang telepon. Ezra mendengus kesal, seraya memutuskan panggilan telepon dengannya. Helena yang menyaksikan sang suami yang jengkel, ia cekikikan di ranjang. "Padahal cuman beberapa langkah doang buka pintu.""Pintunya saja rusak."Jangankan untuk membenarkan pintu rumahnya yang rusak itu. ke dalam kamar mandi pun, Ezra membawa Helena masuk."Pak, di mana keberadaan Mateo?" tanya Aca di balik kamar Ezra. Akhirnya Ezra mau menghampirinya bergegas membukakan pintu. "Kamu diam di sini. Jaga Istriku. biar aku yang menunjukkan di mana keberadaan Mateo kepada pak Polisi!" di belakang Aca, terdapat dua pria berbaju dinas Polisinya. Mereka tidak keberatan mengikuti langkah Ezra setelah Aca menemani Helena di dalam kamar."Satu tembakan tadi terdengar di dalam kamarku. Entah siapa yang mati, berharap Ayah yang saat ini berlinang darah. Sama dengannya yang tak segan mem
Setiba di ruangan IGD pihak medis segera menangani Helena yang terus tertawa kecil, karena saking paniknya Ezra sampai menabrak orang sana-sini mencari dokter. Padahal keadaan Helena tidak begitu parah. Lemas dan pusing saja."Bagaimana keadaan Istri saya, dok?" tanya Ezra kepada pria beralmamater putih di sampingnya. "Keadaannya tidak begitu parah. Pasien hanya perlu beristirahat di rumah."Ezra terbelalak. "Tidak parah dari mananya? Istri saya habis di hajar oleh pria nakal. Mungkin terdapat bakteri atau luka robekan di bagian—" Ezra melirik segitiga sang istri, dokter mengangguk. Ia paham mengapa pria muda di depannya itu sengaja memotong pembicaraannya. "Mungkin untuk lebih lanjut, cek ke Dokter kandungan saja." "Baiklah. Tolong siapkan ruangan rawat inap. Karena saya tidak mungkin membawa istri saya pulang." Dokter pria itu mengernyitkan kening."Untuk apa, Pak?" "Bulan madu. Jelas saja untuk merawat Istriku yang sedang sakit, Pak." gerutu Ezra, membuat Helena sedikit mencolekn
Ezra diam sejenak, masih mencerna apa yang diucapkan sang Istri. "Ayolah!" "Memangnya testpack buat apa?" tanya Ezra polos. "Astaga ... mendeteksi kehamilan, suamiku. Aku baru sadar kalau bulan ini telat datang bulan!" "Datang bulan? Datang angin bisa di tentu in juga, gak?" Helena menggeplak tangan Ezra. "Cepetan!" Helena perasaannya mendadak gusar, ia takut hamil oleh Nico karena perbuatan kejamnya. Sang suami tidak mungkin, karena terlalu mencintainya Ezra selalu menggunakan pengaman. Ezra yang ternyata sedang kebingungan karena tidak tahu membeli benda itu di mana, akhirnya menghubungi Aca untuk membelinya. **** Ting![Tolong belikan testpack dan segera antar ke rumah!] “Aca!”Aca menyeringai, ia menoleh kepada Mateo yang sedang menatap tajam padanya. Kini, wanita berpakaian seksi navy selutut itu sedang menghadiri rapat dadakan yang di buat oleh Mateo. Pria muda di sampingnya geram, karena terganggu dengan suara notifikasi yang masuk ke dalam ponsel Aca. "Ca, mohon untuk
Ezra, Aca, dan Mateo semakin di buat panik karena Helena tidak lagi mengeluarkan suara di balik kamar mandi. "Mateo, kita dobrak!" Mateo mengangguk. Ia melangkah mundur mengambil ancang-ancang. "Satu ... dua ... tiga!' Brugh! Benar saja, Helena sudah tergeletak di lantai, dengan percikan air shower yang terus keluar. Ezra segera mengangkat sang Istri berlari ke dalam kamar. Membaringkannya ke ranjang, tak peduli kasurnya menjadi basah."Istriku, kamu kenapa?" Ezra menggoyang-goyangkan tubuh Helena yang masih tidak tersadarkan diri."Mungkin karena ini!" Aca memberikan sebuah kertas panjang kecil kepada Ezra, ternyata ia fokus memungut benda yang di genggam Helena tadi. "Apa artinya?" tanya Ezra, ia terus memperhatikan benda di genggamnya. Aca kembali lagi mengambil benda itu, ternyata sebuah testpack garis merah dua membuat Aca tercengang. "Selamat, Zra! tante Helena hamil." "Ha-hamil?" tanya Ezra dan Mateo kompak. "Dua garis merah menandakan Tante sedang hamil." "Tapi aku tidak
Tak tega melihat sang istri ketiduran di mobil, Ezra menggendongnya ke dalam kamar. Kesedihannya tak sanggup diluapkan kepada Helena, karena pastinya sang istri mengalami hal yang sama. Dibelai lembut peluh yang membasahi kening istrinya dengan tatapan binar. Hatinya kembali sakit, karena mengingatnya harus berkorban menghidupkan janin yang semestinya tidak ada di dunia ini."Maafkan aku, Istriku!" Dikecupnya kening Helena dengan lembut, bahkan bulir air mata Ezra tak sengaja menetes di pipi Helena. Ezra bangkit, memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Saat beberapa langkah ia berniat pergi dari sang istri, kakinya terasa berat untuk meninggalkannya. Pria yang sudah mengganti pakaiannya dengan jas hitam, menoleh ke belakang. Memerhatikan istrinya kembali yang masih tertidur pulas. "Tenang saja, Istriku. Kekejaman yang sudah di perbuat oleh Ayahku, akan ku balas sekarang!"Ezra menghela napas panjang. Ia memaksakan diri untuk pergi keluar. Derai air matanya sudah berhenti, ia m
Hari demi hari dilalui tanpa keberadaan sang suami. Entah ke mana saat ini keberadaan Ezra, yang pastinya Helena begitu cemas. Karena menghubunginya lewat ponsel nomornya tidak aktif. Bahkan Helena mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang hari kemarin ia sempat datang ke perusahaannya, tetapi mereka kompak menjawab tidak tahu."Mamah sudah makan?" tanya Mateo. Pagi ini ia mendapati Helena yang sedang melamun, duduk di kursi depan meja makan.Helena menggeleng. "Gak berselera."Mateo menghela napas panjang seraya duduk di sofa. Melihat Helena begitu lesu, ia pun tidak bersemangat pergi ke kantor. Padahal Mateo sudah menggunakan pakaian formal dengan rambut yang sudah tertata rapi. "Tunggu besok, ya? Kalau sampai Ezra belum datang juga. Kita pergi dari sini." Helena mengangguk."Kekayaan ini semuanya milik Ezra. Kita harus tahu diri. Untuk apa pemiliknya sudah tidak membutuhkan kami di sini, tetapi kita malah menguasai hartanya." "Benar. Aku pun akan menitipkan perusahaannya kepada A