Ezra, Aca, dan Mateo semakin di buat panik karena Helena tidak lagi mengeluarkan suara di balik kamar mandi. "Mateo, kita dobrak!" Mateo mengangguk. Ia melangkah mundur mengambil ancang-ancang. "Satu ... dua ... tiga!' Brugh! Benar saja, Helena sudah tergeletak di lantai, dengan percikan air shower yang terus keluar. Ezra segera mengangkat sang Istri berlari ke dalam kamar. Membaringkannya ke ranjang, tak peduli kasurnya menjadi basah."Istriku, kamu kenapa?" Ezra menggoyang-goyangkan tubuh Helena yang masih tidak tersadarkan diri."Mungkin karena ini!" Aca memberikan sebuah kertas panjang kecil kepada Ezra, ternyata ia fokus memungut benda yang di genggam Helena tadi. "Apa artinya?" tanya Ezra, ia terus memperhatikan benda di genggamnya. Aca kembali lagi mengambil benda itu, ternyata sebuah testpack garis merah dua membuat Aca tercengang. "Selamat, Zra! tante Helena hamil." "Ha-hamil?" tanya Ezra dan Mateo kompak. "Dua garis merah menandakan Tante sedang hamil." "Tapi aku tidak
Tak tega melihat sang istri ketiduran di mobil, Ezra menggendongnya ke dalam kamar. Kesedihannya tak sanggup diluapkan kepada Helena, karena pastinya sang istri mengalami hal yang sama. Dibelai lembut peluh yang membasahi kening istrinya dengan tatapan binar. Hatinya kembali sakit, karena mengingatnya harus berkorban menghidupkan janin yang semestinya tidak ada di dunia ini."Maafkan aku, Istriku!" Dikecupnya kening Helena dengan lembut, bahkan bulir air mata Ezra tak sengaja menetes di pipi Helena. Ezra bangkit, memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Saat beberapa langkah ia berniat pergi dari sang istri, kakinya terasa berat untuk meninggalkannya. Pria yang sudah mengganti pakaiannya dengan jas hitam, menoleh ke belakang. Memerhatikan istrinya kembali yang masih tertidur pulas. "Tenang saja, Istriku. Kekejaman yang sudah di perbuat oleh Ayahku, akan ku balas sekarang!"Ezra menghela napas panjang. Ia memaksakan diri untuk pergi keluar. Derai air matanya sudah berhenti, ia m
Hari demi hari dilalui tanpa keberadaan sang suami. Entah ke mana saat ini keberadaan Ezra, yang pastinya Helena begitu cemas. Karena menghubunginya lewat ponsel nomornya tidak aktif. Bahkan Helena mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang hari kemarin ia sempat datang ke perusahaannya, tetapi mereka kompak menjawab tidak tahu."Mamah sudah makan?" tanya Mateo. Pagi ini ia mendapati Helena yang sedang melamun, duduk di kursi depan meja makan.Helena menggeleng. "Gak berselera."Mateo menghela napas panjang seraya duduk di sofa. Melihat Helena begitu lesu, ia pun tidak bersemangat pergi ke kantor. Padahal Mateo sudah menggunakan pakaian formal dengan rambut yang sudah tertata rapi. "Tunggu besok, ya? Kalau sampai Ezra belum datang juga. Kita pergi dari sini." Helena mengangguk."Kekayaan ini semuanya milik Ezra. Kita harus tahu diri. Untuk apa pemiliknya sudah tidak membutuhkan kami di sini, tetapi kita malah menguasai hartanya." "Benar. Aku pun akan menitipkan perusahaannya kepada A
Tiga hari kemudian ..."Bagaimana ini? Aku takut Mateo marah!" keluh Aca kepada Ezra yang sedang melajukan mobil di sampingnya.Ezra terkekeh. "Kamu lupa, siapa pemilik perusahaan itu sesungguhnya?" "Ya, tapi aku di tugaskan Mateo, bukan sama kamu!" Aca mendengus kesal, melipat tangannya di dada. "Terima saja kontrak kerja sama itu. Aku kenal dengan klien itu. Ia adalah pemilik butik terkenal di Surabaya," jawab Ezra santai. Meskipun baru beberapa bulan terakhir Ia menjadi CEO di perusahaan sang Ayah, karena ramah Ia mudah mencari informasi beberapa klien yang memintanya untuk bekerja sama. Bisnis yang di gauli adalah memproduksi pakaian dengan brand yang sudah terkenal. Dengan begitu banyak yang memburu kualitas terbaik dari perusahaannya."Bagaimana ke depannya tuan Nico marah dengan perbuatanmu?" tanya Aca mendadak panik. Mengingat beberapa hari yang lalu ia menjadi saksi bagaimana Ezra mengancam ke tiga istri Ayahnya."Itu bukan masalah untukku. Lagian dia duluan yang mencari m
"Bagaimana keadaan anakku, Dok?"Melihat seorang wanita berbaju jas putih keluar dari ruangan IGD, Helena bergegas menemuinya yang sudah menangani Mateo."Luka di bagian tangannya lumayan parah, mendapat 8 jahitan. Memangnya luka itu karena apa?" tanya dokter kebingungan."Ke gigit tokek, Dok. Apakah Mateo sudah bisa di bawa pulang?" tepis Ezra tiba-tiba. Karena Ezra berhasil mengambil peluru di tangan sahabatnya.Tidak mungkin Ezra membiarkan Helena menjelaskan kepada Dokter apa yang sudah ia lakukan. Bisa-bisa sel penjara mengakhiri hidupnya.Dokter yang tidak menaruh kecurigaan karena ucapan Ezra terdengar masuk akal, ia menggeleng. "Penanganan khusus harus di lakukan. Karena sampai saat ini Mateo belum tersadarkan diri." Helena melirik kepada Ezra dengan tatapan tajam, membuat Ezra hanya bisa menyeringai. Sang Istri ternyata masih marah padanya."Baiklah. Tangani anakku dengan baik." Dokter itu mengangguk. Ia pun kembali lagi ke dalam ruangan IGD.Aca yang memerhatikan Dokter itu
Begitu sulit menjelaskan bagaimana ia Aca jika sebenarnya ia memang mencintai gadis itu sedari dulu, tetapi Mateo tidak percaya diri dengan keadaannya yang jauh berbeda dengan Ezra yang dikelilingi harta."Aku takut kamu menolak ku karena miskin, tapi itu dulu. Sekarang aku sedang berjuang mengumpulkan banyak uang untuk kita habiskan di masa tua nanti." Mateo menyeringai, pemuda yang masih berbaring di atas brankar itu mencoba meyakinkan hati Aca."Hmm ... jika berkenan, maukah kamu menikah denganku?" "Hayoh, lagi pada ngapain?" Kedatangan Ezra dan Helena mengejutkan pasangan muda itu terutama Aca.Ia menepis jemari lentiknya yang di genggam oleh Mateo. Jantungnya berdegup kencang kali ini. Sulit percaya jika pujaan hatinya sudah mulai berani mengatakan cinta padanya. "Hei, pemuda gila. Bisa-bisanya kamu baru datang sudah tega menembakkan peluru padaku?" gerutu Mateo. Ternyata kekesalan di hatinya masih terpendam."Kamu yang pahlawan kesiangan. Datang langsung membela pak Tua itu," j
Sial, pesan yang sengaja mengelabui pikiran Mateo, membuat pria muda itu tidak bisa tenang untuk tidur. Bahkan kedekatan Ezra dan Aca masuk ke dalam mimpi Mateo. Saat bangun, entah kenapa Mateo mendadak benci kepada kekasihnya yang masih tertidur pulas di sofa."Ca, bangun, Ca. Ini sudah pagi." Merasa tubuhnya terguncang-guncang, gadis itu perlahan membuka netranya. Ia sedikit terperanjat bangkit, sadar jika ia berada di rumah sakit."Kamu lapar?" Mateo menggeleng, ia memasang raut wajah sinis pada Aca.Aca yang belum begitu sadar dari tidurnya merasa aneh dengan perilaku pemuda yang tadi malam menyatakan cinta padanya. Tak berpikir jauh, Aca masuk ke kamar mandi untuk membasuh muka. 'Ada apa dengan Mateo, apa tadi malam ia kesurupan? Kenapa jutek dan cuek lagi?'Aca bertanya di depan cermin. Menatap wajahnya yang masih terlihat cantik. Ia mengulas senyumnya. 'Huhft! Mungkin sudah dari lahir sikapnya memang jutek seperti itu.'Tak lama ia pun kembali menemui kekasihnya. "Kenapa suste
Perasaan Mateo mendadak gusar. Ia tidak mau kehilangan Aca– gadis yang bertahun-tahun ia kagumi. Karena kesalahannya. "Astaga ... Mateo!" pekik Helena. Melihat Mateo menahan sakit mencabut selang infusan begitu saja. "Stop, Mateo. Kenapa kamu memberontak seperti ini?"Helena menahan tangan Mateo, tetapi tenaganya tidak sekuat Mateo yang kini berhasil berlari dengan tangannya yang meneteskan darah.Ezra menggeleng. "Dasar pemuda gila.""Suamiku, ayo kita kejar Mateo!" Helena cemas bukan kepalang, ia takut terjadi yang tak terduga padanya.Tidak dengan Ezra yang bersikap santai. "Jika pergi pun Mateo pasti akan kembali menemui kami. Ia tidak ada kendaraan di sini. Nantinya ikut di mobil kami juga, 'kan?."Helena menggeleng. "Dipikir hanya kamu yang punya mobil? di luar banyak Taksi. Ayo cepetan!" Helena dan Ezra mengejar Mateo yang entah ke mana perginya. Setelah membayar administrasi penginapan Mateo, Ezra bergegas menemui Helena yang sudah lebih dulu di parkiran. "Di mana?" Helena m