Sial, pesan yang sengaja mengelabui pikiran Mateo, membuat pria muda itu tidak bisa tenang untuk tidur. Bahkan kedekatan Ezra dan Aca masuk ke dalam mimpi Mateo. Saat bangun, entah kenapa Mateo mendadak benci kepada kekasihnya yang masih tertidur pulas di sofa."Ca, bangun, Ca. Ini sudah pagi." Merasa tubuhnya terguncang-guncang, gadis itu perlahan membuka netranya. Ia sedikit terperanjat bangkit, sadar jika ia berada di rumah sakit."Kamu lapar?" Mateo menggeleng, ia memasang raut wajah sinis pada Aca.Aca yang belum begitu sadar dari tidurnya merasa aneh dengan perilaku pemuda yang tadi malam menyatakan cinta padanya. Tak berpikir jauh, Aca masuk ke kamar mandi untuk membasuh muka. 'Ada apa dengan Mateo, apa tadi malam ia kesurupan? Kenapa jutek dan cuek lagi?'Aca bertanya di depan cermin. Menatap wajahnya yang masih terlihat cantik. Ia mengulas senyumnya. 'Huhft! Mungkin sudah dari lahir sikapnya memang jutek seperti itu.'Tak lama ia pun kembali menemui kekasihnya. "Kenapa suste
Perasaan Mateo mendadak gusar. Ia tidak mau kehilangan Aca– gadis yang bertahun-tahun ia kagumi. Karena kesalahannya. "Astaga ... Mateo!" pekik Helena. Melihat Mateo menahan sakit mencabut selang infusan begitu saja. "Stop, Mateo. Kenapa kamu memberontak seperti ini?"Helena menahan tangan Mateo, tetapi tenaganya tidak sekuat Mateo yang kini berhasil berlari dengan tangannya yang meneteskan darah.Ezra menggeleng. "Dasar pemuda gila.""Suamiku, ayo kita kejar Mateo!" Helena cemas bukan kepalang, ia takut terjadi yang tak terduga padanya.Tidak dengan Ezra yang bersikap santai. "Jika pergi pun Mateo pasti akan kembali menemui kami. Ia tidak ada kendaraan di sini. Nantinya ikut di mobil kami juga, 'kan?."Helena menggeleng. "Dipikir hanya kamu yang punya mobil? di luar banyak Taksi. Ayo cepetan!" Helena dan Ezra mengejar Mateo yang entah ke mana perginya. Setelah membayar administrasi penginapan Mateo, Ezra bergegas menemui Helena yang sudah lebih dulu di parkiran. "Di mana?" Helena m
"Bagaimana, kamu suka?" Aca mengangguk."Terima kasih." jawab Aca malu-malu.Mateo dan Aca, pasangan kekasih yang diberi kesempatan oleh Ezra untuk pergi liburan. Pastinya, pemuda yang menikahi Ibu sahabatnya itu tidak keberatan memberi uang sekitar 20jt untuk kebahagiaan mereka.Mengingat Mateo dan Aca adalah sahabat sekaligus penolongnya saat keadaan genting. Terutama Aca, gadis yang sudah beberapa tahun mengabdi dengannya.Kini keduanya sedang berapa di sebuah restoran elit. Lelah karena sudah pergi ke zoo rekreasi yang berada di daerah Bogor."Setelah ini kita mau pergi ke mana?" tanya Mateo, kepada gadis di depannya."Lebih baik uang itu di simpan untuk kebutuhan yang lain," jawab Aca. Gadis yang berjuang hidup sebatang kara itu tahu betul bagaimana jaman sekarang sulit mencari penghasilan. Saking giatnya, kadang kala ia rela lembur bekerja untuk mengejar setoran rumah sederhana yang ia sewa. Namun, Aca adalah gadis tangguh. Ia tidak pernah mengeluh kepada siapa pun untuk di kasih
Beberapa hari kemudian ..."Ha-ha-ha ... terus sekarang Sapinya ditaruh di mana?" tanya Aca tertawa terbahak-bahak."Di halaman belakang. Malamnya Tante dan Ezra menghadiri acara pernikahan temannya. Jujur, Tante sangat tidak percaya diri. Banyak sekali yang tidak menyangka kalau aku adalah istrinya Ezra," keluh Helena.Kejadian beberapa hari yang lalu, ia ceritakan semuanya kepada Aca. Calon menantu yang baru saja pulang dari liburannya dengan sang Anak. "Apa di sana banyak yang menggoda Ezra?" Helena mengangguk antusias."Ada yang memanggilnya beiby ... darling. Ah, pokoknya Tante kesal dan langsung pergi dari gedung yang megah itu!" Kejadian malam lalu, Ezra yang tidak mungkin meninggalkan Helena sendirian memutuskan untuk membawanya ke suatu tempat. Entah lupa atau bagaimana, rekan kerja Ezra menggodanya di depan Helena. Padahal beberapa wanita itu ia undangan saat pesta pernikahannya dulu."Mungkin mereka sirik, karena tante Helena terlalu cantik," puji Aca. Gadis yang bisa saja
"Bakar sekali lagi. Jangan terlalu banyak, nanti gak habis," perintah Mateo kepada Aca. Aca hanya mengangguk tanpa berkomentar. Melihat raut wajah Mateo yang masih murung, ia semakin merasa bersalah."Mateo ..." Aca meraih tangan pemuda yang baru saja akan melangkah pergi. Mateo menoleh."Ada apa?""Kamu masih marah?" tanya Aca netranya berkaca-kaca, membuat Mateo menggeleng."Tidak. Aku tidak mungkin marah padamu." "Maafkan kedua orang tuaku," celetuk Aca lirih. Air matanya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Ia menangis di depan Mateo."Tidak masalah. Aku mengerti. Jangan menangis, nanti cantiknya hilang." Mateo berusaha tegar, ia mencolek dagu Aca agar sedikit terhibur. Meskipun hatinya rapuh.Saat pergi ke rumah kedua orang tua Aca, pemuda itu ditolak untuk menikahi anak kedua gadisnya. Mereka bersikeras untuk tidak menyetujui Aca dan Mateo menikah secepat mungkin, karena kakaknya Aca belum menikah. Adat istiadat yang menyatakan adik perempuan tidak boleh melangkahi kakaknya, itu
"Jadi, bagaimana? Kamu setuju?" tanya Mateo. Keduanya sedang berada di ruangan pribadi yang sedang mendiskusikan peraturan baru di perusahaan itu. Meskipun jabatan Mateo lebih rendah dari Ezra, tetapi pemuda itu sudah mempercayakan seluruh kebutuhan perusahaan padanya. Ezra tidak mungkin keberatan apa yang dilakukan Mateo, karena dengan adanya Aca di sampingnya. Jelas saja apa yang dilakukannya di pikir secara matang oleh Aca. Mengingat gadis itu sudah sangat lama mengabdi di perusahaannya."Menurutku baik, tetapi sebagai kepala divisi di sini, jujur aku keberatan jika waktu lembur di tiadakan.""Loh, bukannya itu lebih bagus? Dengan begitu, karyawan lebih giat lagi dalam bekerja di jam waktunya?" tanya Mateo."Bukan hanya melanjutkan pekerjaan yang terbengkalai, tetapi jam lembur ada karena kita butuh bonus dari perusahaan ini." "Kan ada bonus tambahan. Siapa yang lebih cepat mengerjakan pekerjaan, gaji ditambah 30%. Sama saja, 'kan?" Bagaimana pun Mateo sudah berpikir seribu kali
Keadaan semakin ramai di perusahaan itu, pergantian sift mulai dilakukan. Kini hampir seluruh karyawan berada di tempat kerjanya."Kila ... ikut saya!" Saat Ezra dan Helena berpapasan dengan gadis berambut kartun Dora itu, Ezra memanggilnya untuk mengikutinya masuk ke ruangan pribadi.Gadis bernama Kila, terus menundukkan kepala. Pikirannya masih berbelit bingung, karena Hanya masalah sepele baginya ia sampai di panggil atasan."Ada apa, Pak?" tanya Kila berdiri di depan Ezra yang di sampingnya ada Helena. "Duduk!"Tubuhnya gemetar. Karena ini kali pertamanya Kila mendapati Ezra memasang raut wajah garang. "Saya perhatikan, kamu jarang masuk kantor, tetapi data kehadiranmu berwarna hijau selama sebulan," ujar Ezra tanpa berbasa-basi. Warna hijau dalam presensi di layar laptop menandakan karyawan full masuk kerja.Ternyata, selain membantu Aca ia sendiri ingin tahu lebih dalam dari sosok Kila. Akhir-akhir ini sempat curiga dengan data absensi di perusahaannya. "Sa– saya tidak pernah
Perjuangan Mateo dan Aca pun tidak main-main kepadanya. Ezra tidak mungkin membiarkan keduanya mengalami kesulitan. Akhirnya Ezra— pemuda yang saat ini menjadi ayahnya Mateo mengambil tindakan."Ca, beri alamat rumahmu padaku!" Aca menggeleng cepat. "Mau ngapain?""Aku sendiri yang akan membujuk kedua orang tuamu!" Lagi-lagi Aca menggeleng. "Biar aku dan Mateo saja yang menghadapi keduanya."Mengingat mamah tirinya yang rakus akan harta, ia takut jika nantinya melihat Ezra yang terlihat kaya raya di manfaatkan olehnya."Tidak papa, Ca. Agar kamu bisa menemani Tante setiap saat," celetuk Helena. Hanya wanita sendiri di rumah besar itu, membuatnya jenuh. Ada asisten pun menjaga di luar sebagai satpam."Tetapi jika beliau meminta sesuatu darimu, jangan sampai kamu memberikan apa pun padanya!" ancam Aca. Perjuangan merantau di kota Jakarta pun sudah raib hasilnya oleh mamah tirinya itu. Begitu kejam saat meminta uang, tidak memikirkan Aca bagaimana sulitnya mengatur keuangan."Tenang saja
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu