Perjuangan Mateo dan Aca pun tidak main-main kepadanya. Ezra tidak mungkin membiarkan keduanya mengalami kesulitan. Akhirnya Ezra— pemuda yang saat ini menjadi ayahnya Mateo mengambil tindakan."Ca, beri alamat rumahmu padaku!" Aca menggeleng cepat. "Mau ngapain?""Aku sendiri yang akan membujuk kedua orang tuamu!" Lagi-lagi Aca menggeleng. "Biar aku dan Mateo saja yang menghadapi keduanya."Mengingat mamah tirinya yang rakus akan harta, ia takut jika nantinya melihat Ezra yang terlihat kaya raya di manfaatkan olehnya."Tidak papa, Ca. Agar kamu bisa menemani Tante setiap saat," celetuk Helena. Hanya wanita sendiri di rumah besar itu, membuatnya jenuh. Ada asisten pun menjaga di luar sebagai satpam."Tetapi jika beliau meminta sesuatu darimu, jangan sampai kamu memberikan apa pun padanya!" ancam Aca. Perjuangan merantau di kota Jakarta pun sudah raib hasilnya oleh mamah tirinya itu. Begitu kejam saat meminta uang, tidak memikirkan Aca bagaimana sulitnya mengatur keuangan."Tenang saja
Benar saja, dua jam setelah Ezra menempuh perjalanan ke kota Sukabumi, baru sampai kota Bogor ia menghentikan laju mobilnya. Bukan karena lapar, tetapi lagi-lagi ia kasihan kepada Helena. Sebelumnya sang istri berkata, jika ia lebih baik tidur dari pada membuka mata karena terasa mual. Membuat Ezra membiarkan Helena tidur, tetapi terlihat tidak nyaman. Balik kanan dan kiri seperti mencari posisi nyaman.Kreek!"Loh, berhenti lagi?" tanya Helena. Ezra mengangguk seraya menyeringai.Helena yang mendengar suara tarikan rem tangan bergegas membuka mata. Ia takut sang suami memesan kamar hotel lagi untuknya. "Terlihat kamu tidak nyaman tidurnya. Tak mungkin aku membiarkan kamu tidur dalam keadaan gelisah. Kamu tidur dulu saja." Helena menggeleng cepat. "Kita lanjut perjalanan. Kalau begini, kita lama sampainya, suamiku. Tidur meringkuk di mobil itu wajar. Jika terus seperti ini, perjalanan dari Jakarta ke Sukabumi yang hanya memakan waktu 4-5 jam, kita bisa sampai 24 jam!" Senyaman-nyam
Di desa itu bukan lagi rahasia umum yang masih berkeliaran bank-bank keliling yang menawarkan uang. Penampilan rapi seperti Helena dan Ezra, Membuat seorang pria paruh baya menganggapnya mereka adalah karyawan bank yang menawarkan pinjaman uang."Perkenalkan." Ezra mengulurkan tangan, jemari kekarnya di terima oleh pria paruh baya itu. "Saya Ezra. Daddy nya Mateo. Bapak ini Papahnya Aca, ya?"Dari ujung kaki sampai ujung kepala beliau tatap Ezra dengan tercengang. Wajah tampan Ezra sama sekali tidak menandakannya seperti seorang Ayah pemuda yang kemarin menemuinya."Jangan berbohong. Kami tidak menerima penipu seperti kalian." "Pak, ini memang benar adanya. Saya mamahnya Mateo." Kali ini, Helena yang berada di samping Ezra membuka suara.Sulit di percaya untuk pria paruh baya itu, karena dari raut wajah Helena sampai penampilannya sama seperti Aca."Loh, ada tamu, Pah?" Seorang wanita berbaju daster, dengan poninya dipasangkan roll menemui Ezra dan Mateo. Setelah mendengar ruangan uta
Ezra dan Helena saling pandang. Mendengar ucapan darinya, dapat menyimpulkan jika wanita itu meminta fasilitas lebih dari mereka.“Istri saya sedang hamil. Saya tidak akan membiarkan banyak orang berada di dalam mobil. Itu terserah Bapak dan Ibu. Jika keberatan hadir di hari pernikahan Aca dan Mateo, kami tidak akan memaksa!” sahut Ezra. Merasa gerah sekali berada di rumah sederhana itu, apalagi keringat Helena terus bercucuran membasahi wajahnya. Ezra meraih tangan Helena untuk bangkit. “Semoga Ibu dan Bapak bersedia datang untuk menghadiri pesta pernikahan anaknya sendiri. Terima kasih!” pamit Helena.Ezra dan Helena bergegas pergi. Meskipun keduanya di sambut baik, tetapi perilaku ke dua orang tua Aca terlalu mengiba. Membuat Ezra dan Helena justru merasa jijik. Ibunya Aca mendengus kesal. Setelah kepergian Ezra dan Helena. Pasangan suami-istri itu berdebat. “Pak. Seharusnya Bapak tidak semudah itu merestui hubungan Aca dan pemuda kemarin. Minimal mereka menjanjikan membelikan
Mungkin tepatnya pukul 23.56 WIB, Ezra dan Helena baru saja tiba di kediaman rumahnya. di bukannya pedal pintu dengan perlahan oleh Ezra, agar Mateo tidak menyadari kedatangannya."Ekhem!" Ezra yang sudah berada di dalam rumah menyeringai, mendapati Mateo yang mendehem seraya bangkit dari sofa merah. Helena yang berada di belakang Ezra cekikikan. Karena sebelumnya Mateo mengatakan via pesan, jangan memberitahukan kepada Ezra jika dirinya setia menunggu kedatangannya. "Apa kamu pikir dengan caramu itu semua berjalan sempurna, Pak?" sindir Mateo, karena sampai saat ini pujaannya hatinya masih sulit di hubungi, yang mungkin masih kesal kepada aduan Ezra kepada kedua orang tuanya.Ezra yang bersikap biasa saja, begitu santai duduk di sofa. tanpa menyimpan rasa bersalah, karena kini ia malah menikmati sebatang rokok yang baru saja dibakar."Zra! apa maksudnya, sih!" Gerutu Mateo yang kini duduk di depannya. Sedangkan Helena yang sudah kelelahan di perjalanan, wanita itu memilih untuk ber
Mateo bergegas mengantarkan Aca pulang, setelah Ezra berhasil mengusir keduanya, tanpa menjelaskan apa yang akan ia lakukan. hati Aca semakin tidak tenang, mengingat saat meminta restu, Ezra malah menuduhnya tidak benar. "Apa yang harus aku lakukan menghadapi ke kekonyolan Ezra, Mateo?" keluh Aca sembari memijit keningnya karena pening.Mateo yang duduk di kursi supir, menggunakan tangan kirinya perlahan mengusap punggung Aca. "Aku ada di sini. Kamu tenang saja."Mendengar penuturan Mateo, wanita yang kini penampilannya sudah kusut membulatkan matanya dengan sempurna. "Kamu hanya diam. buktinya, kamu tidak bisa berbuat apa-apa saat Ezra mengatakan aku menjadi wanita murahan di sini!" Mateo tertegun seraya melepas pergelangan tangannya dari punggung sang pujaan hati. ia memilih pokus kembali melajukan mobil di perjalanan malamnya. "Perbuatan Ezra itu betul-betul di luar nalar, Mateo. Kita harus antisipasi dengan kelakuannya. minimal kamu terus dampingi Ezra kemana dia pergi!" gerutu
Helena menghela napas panjang, ia berdiri ditengah-tengah antara Mateo dan Ezra. "Mateo, dari kemarin juga Ezra dengan Mamah. Dia gak kemana-mana!"Ezra memicingkan bibirnya, mendapatkan pembelaan dari sang istri. membuat Mateo mendecih, karena tahu kebusukan sahabatnya yang melakukan kejahatan dengan cukup cerdik."Cukup, Zra. beri aku ketenangan dengan Aca. kamu bukannya membantu kami, nyatanya malah mempersulit keadaan!" Mateo mendengus kesal, ia tatap netra Ayah tirinya dengan tajam.Helena yang tak mungkin membiarkan keduanya berkelahi, mendorong tubuh Mateo untuk masuk ke kamar. Ezra yang semakin puas melihat emosi Mateo yang membeludak karena membanting pintunya kencang, ia tertawa terbahak-bahak, membuat Helena menggeleng keheranan. "Apaan, sih. gak lucu, tau!""Bagiku lucu. Kenapa selalu aku yang disalahkan jika Mateo dan Aca mendapatkan kesusahan? Masih banyak ribuan orang di luar yang pantas di salahkan. Contohnya kamu." Helena terbelalak, mendapati Ezra yang menuduhnya sam
Aca hanya bisa melamun duduk bersila di atas ranjang. Ruangan bercat putih itu menjadi saksi, bagaimana dilemanya Aca menentukan pilihan yang menekannya. Tepat pukul 12 malam, Aca memutuskan kepastian. Ia akhirnya memilih untuk melanjutkan susunan acara yang dua hari lagi dilangsungkan. Jika menolak, sudah pasti ia kalah memperjuangkan cinta yang sedari dulu ia dambakan. Meskipun hatinya masih terasa gelisah karena sang Ayah belum juga ditemukannya. “Ca ...” Merasa terpanggil, Aca menghela napas panjang. Ia bangkit, bergegas menghampiri sumber suara yang berada di balik pintu rumahnya. Tak lain pria itu adalah Mateo, pagi ini ia sengaja mendatangi pujaan hatinya untuk membeli keperluan resepsi pernikahan yang belum lengkap. “Kamu belum siap?” tanyanya. Aca menggeleng. “Silakan masuk! Aku siap-siap dulu.” Setelah pintu terbuka lebar tanpa di tutup kembali, Aca masuk ke kamar meninggalkan Mateo yang setia duduk di sofa menunggunya. Sambil menunggu Aca, Mateo memainkan ponselnya.